Hikayat Hari Merdeka

0
2619
Pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945.(Kemdikbud)
Hikayat Hari Merdeka
Mungkin, saat ini sudah tidak terlalu banyak orang yang mendapatkan cerita detail tentang hari-hari menjelang Kemerdekaan Indonesia. Di masa saya masih duduk di bangku sekolah pun, kisah tentang hari kemerdekaan yang saya dengar dan saya baca dari buku-buku teks sejarah seolah hanya sederhana, tak berliku, nyaris tanpa intrik, dan hitam putih. Seiring berjalannya waktu, saya semakin banyak membaca buku, mendengarkan penuturan pelaku sejarah, maupun dokumen. Maka, akhirnya saya pun mendapatkan berbagai cerita yang lebih detail dari sekadar apa yang tertulis di buku teks. Berbagai cerita itulah yang kemudian saya rangkai dalam tulisan panjang ini. Sebagian dari cerita ini sudah saya rangkai dalam Thesis saya, namun beberapa cerita yang saya dapat belakangan masih belum pernah muncul. Hikayat ini mungkin masih jauh dari sempurna. Mungkin masih banyak mozaik peristiwa menjelang Hari Merdeka yang belum saya temukan. Tapi saya berharap, tulisan ini bisa lebih memahamkan kita, bahwa hari-hari menjelang kemerdekaan negeri ini tidak sederhana. Merdeka tidak hanya sekadar mengepalkan tangan dan berteriak Merdeka! Merdeka tidak hanya sekadar mengibarkan bendera merah putih. Merdeka tidak hanya sekadar menyanyikan lagu Indonesia Raya.
===
Syahdan, kekuasaan Pemerintah Balatentara Pendudukan Jepang di Nusantara sudah mendekati masa akhirnya. Tanggal 6 Agustus 1945, Amerika Serikat telah menjatuhkan bom atom pertama di atas kota Hiroshima, Jepang. Tiga hari kemudian, pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom yang kedua dijatuhkan di atas kota Nagasaki. Akibatnya, moral seluruh balatentara Jepang pun semakin rontok. Sementara itu, pada tanggal 7 Agustus 1945, sehari setelah jatuhnya bom atom di Hiroshima, di Jakarta, BPUPKI telah berganti nama menjadi Dokuritsu Zyunbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada awalnya beranggotakan 21 orang. Soekarno diangkat sebagai Ketua, dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Sesungguhnya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) adalah penyederhanaan dari BPUPKI.[1]
Para anggota PPKI adalah tokoh-tokoh nasional yang mewakili rakyat seluruh Indonesia. Dari Jawa dipilih 12 orang tokoh, dari Sumatera ada 3 orang, Sulawesi 2 orang, Kalimantan 1 orang, Nusa Tenggara 1 Orang, Maluku 1 orang, dan mewakili golongan Tionghoa 1 orang.[2] Berbeda dengan BPUPKI yang dibentuk untuk daerah-daerah tertentu di Indonesia, wilayah kerja PPKI sudah meliputi seluruh Indonesia. Maka, setelah pembentukan PPKI, pada tanggal 9 Agustus 1945, dengan diantar oleh Letnan Kolonel Nomura dari Gunseikanbu, Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai bekas Ketua BPUPKI, diterbangkan ke Dalat, sekitar 30 kilometer di sebelah Utara Saigon, Vietnam. Di kota peristirahatan itu, ketiga orang tokoh senior pergerakan nasional Indonesia ini akan dipertemukan dengan pemimpin tertinggi balatentara Jepang di Asia Tenggara, Marsekal Hisaichi Terauchi.[3]
Dalam buku memoar yang dikutip Kasman Singodimedjo di dalam biografinya, Mohammad Hatta mengungkapkan bahwa saat itu, setelah mereka bertemu dan bersalaman, Marsekal Hisaichi Terauchi kemudian mengucapkan pidato yang pendek sekali. Isinya, Pemerintah Jepang di Tokyo memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sesudah itu, Sang Marsekal memberikan ucapan selamat kepada mereka bertiga, dan diikuti oleh stafnya. Ketika kue-kue telah dihidangkan dan mereka mulai menyantap hidangan itu, Soekarno pun bertanya lagi kepada Marsekal Terauchi, yakni tentang kapan putusan Tokyo tentang kemerdekaan Indonesia ini dapat diumumkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Dengan tegas Marsekal Hisaichi Terauchi menjawab, “Hal itu terserah kepada tuan-tuan anggota Panitya Persiapan. Kapan saja dapat. Itu sudah menjadi urusan tuan.”[4]
Kurang dari seperempat jam kemudian, mereka bertiga sudah boleh meninggalkan ruangan. Lalu, sebelum jam 12.00 tengah hari, ketiga pimpinan rakyat Indonesia itu telah meninggalkan Dalat dan terbang kembali ke Saigon. Hari itu juga, kira-kira pukul 16.30 sore, datang Letnan Kolonel Nomura ke tempat peristirahatan mereka. Saat itu Nomura memberitakan bahwa tentara Rusia telah menyerbu Manchuko (Manchuria, kini wilayah Korea). Setelah Sang Letnan Kolonel berangkat, Mohammad Hatta pun mengatakan kepada Soekarno, bahwa dirinya tidak percaya bahwa Jepang cukup pertahanannya. Mohammad Hatta memperkirakan, dalam waktu satu atau dua minggu lagi, Jepang sudah menyerah.[5]
Dari Saigon, Vietnam, pesawat yang membawa rombongan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat singgah di Singapura. Menurut catatan Mr. Teoekoe Moehammad Hassan, rombongan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat tiba di Singapura pada tanggal 13 Agustus 1945, dan ditempatkan di salah satu hotel internasional di kota bandar itu. Begitu tiba di hotel itu, Mr. Teoekoe Moehammad Hassan dan Dr. Mohammad Amir yang telah seharian menunggu kedatangan mereka dari Saigon, langsung datang menjumpai. Sehari sebelumnya, Teoekoe Moehammad Hassan dan Mohammad Amir, sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari Sumatera, telah tiba di Singapura dengan menumpang kapal terbang Jepang. Mereka kemudian ditempatkan di hotel yang sama dengan hotel yang disiapkan untuk menginap rombongan Soekarno, Mohammad Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat.[6]
Keesokanharinya, pada tanggal 14 Agustus 1945, Mohammad Amir dan Teoekoe Moehammad Hassan mengikuti rombongan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat untuk pulang ke Jakarta dengan menaiki sebuah pesawat terbang bomber Jepang. Di pelabuhan udara Singapura mereka dilepas oleh para pembesar Jepang di Singapura. Dalam perjalanan ke Jakarta, pesawat bomber Jepang itu sempat dikejar oleh kapal terbang pemburu Sekutu, namun dapat mengelak dan menyelamatkan diri. Akhirnya pesawat bomber Jepang itu tiba dan dapat mendarat dengan selamat di lapangan terbang Kemayoran, Jakarta.[7]
Ketika pesawat yang ditumpangi rombongan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat serta Teoekoe Moehammad Hassan dan Mohammad Amir itu mendarat di lapangan terbang Kemayoran, beberapa pejabat dari Gunseikan, Soomubucho dan beberapa orang pembesar Jepang lainnya, tampak menjemput kedatangan mereka.[8] Pada saat itu, banyak juga rakyat yang datang ke lapangan terbang Kemayoran untuk menyambut mereka. Para pemimpin Indonesia kemudian meminta Soekarno untuk menyampaikan sepatah dua patah kata tentang hasil kunjungan mereka ke Dalat. Soekarno pun bersedia dan hanya bicara pendek saja. Soekarno mengatakan: “Apabila dulu aku katakan, Indonesia akan merdeka sesudah jagung berbuah, sekarang dapat dikatakan, Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga.” Ucapan penuh makna itu langsung disambut oleh rakyat banyak dengan tepukan tangan dan bersorak, “Indonesia Merdeka”.[9]
Dari lapangan terbang Kemayoran, Soekarno, Hatta, dan Dr. Radjiman Wediodiningrat langsung menuju ke Istana Gunseireikan. Di bekas Istana Gubernur Jenderal Hindia-Belanda itu, mereka disambut oleh para pembesar Pemerintah Balatentara Pendudukan Jepang dengan gembira. Mereka pun memberi selamat. Jamuan makan tengah hari itu kemudian dibuka oleh Gunseireikan, dengan mengucapkan sebuah pidato pendek. Gunseireikan mengatakan, bahwa atas putusan Tokyo yang disampaikan kepada mereka bertiga oleh Marsekal Hisaichi Terauchi di Dalat, dalam hari-hari yang akan datang Panitya Persiapan Kemerdekaan dapat melaksanakan Indonesia Merdeka. Pidato itu disambut oleh hadirin dengan tepuk tangan riuh. Tatkala jamuan makan siang sudah selesai dan Gunseireikan masuk ke dalam, Soekarno, Hatta dan Dr. Radjiman Wediodiningrat pun pulang. Saat itu jam sudah hampir pukul 13.30 tengah hari. Mohammad Hatta kemudian pulang, dan sampai di rumah waktu sudah hampir pukul 14.00 siang. Ternyata di rumah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir sudah menunggu kira-kira setengah jam lamanya. Maka, setelah bersalam-salaman mereka kemudian saling duduk berhadapan, dan memulai pembicaraan.[10]
Sutan Sjahrir adalah seorang tokoh pergerakan kebangsaan yang memilih jalan non- kooperatif pada saat Balatentara Jepang menjajah Indonesia. Bersama para pengikutnya, Sutan Sjahrir terus memantau perkembangan dan informasi dari luar negeri dengan mendengarkan siaran-siaran radio asing secara sembunyi-sembunyi, dan kemudian menyebarkan informasi itu kepada jaringannya. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar kabar bahwa Jepang bakal bertekuk lutut, kalangan pemuda mendesak para tokoh golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.[11]
Pada saat bertemu dengan Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir langsung menginformasikan bahwa Pemerintah Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Oleh sebab itu, kata Sjahrir, Pernyataan Kemerdekaan janganlah dilakukan oleh Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sebab Indonesia Merdeka yang lahir semacam itu akan dicap oleh Sekutu sebagai Indonesia buatan Jepang. Sjahrir menyarankan, agar sebaiknya Bung Karno sendiri saja yang menyatakannya sebagai pimpinan rakyat atas nama rakyat, dengan perantaraan corong radio.[12]
Hatta agak terperanjat setelah mendengar informasi itu. Sebab, kabar kekalahan Jepang ini lebih cepat terjadi dari dugaan Hatta sebelumnya. Hatta setuju dengan pendapat Sjahrir, agar pernyataan Kemerdekaan Indonesia diselenggarakan segera. Tapi Hatta sangsi, apakah Soekarno mau menyatakannya secara pribadi, sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat Indonesia. Sebab, Soekarno adalah Ketua PPKI. Soekarno tak dapat bertindak sendiri sekalipun atas nama rakyat Indonesia. Apabila bertindak begitu, maka Soekarno akan dianggap merampas, mengusurpasi, hak PPKI. Hatta khawatir, Soekarno tidak akan bersedia berbuat begitu.[13]
Setelah beberapa saat berbincang-bincang, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir kemudian berangkat ke rumah Soekarno, untuk melanjutkan pembicaraan tentang rencana Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Di rumah Soekarno, setelah mendengar penjelasan Sutan Sjahrir tentang menyerahnya Jepang kepada Sekutu dari radio asing, Soekarno berkata: “Memang di Saigon kami menduga, setelah Letkol Nomura melaporkan bahwa tentara Rusia telah menyerbu Manchuko, bahwa Jepang pasti akan bertekuk lutut. Tetapi bahwa begitu lekas terjadinya, aku belum percaya, sekalipun saudara Sjahrir mendengarkan berita dari siaran radio luar negeri yang kebanyakan dikuasi oleh Sekutu. Oleh karena itu aku ingin mencheck dahulu dari Gunseikanbu. Besok kami berdua, Bung Hatta dan aku, akan pergi ke sana.”[14]
Soekarno tidak setuju dengan usul Sutan Sjahrir bahwa, ia sendiri sebagai pemimpin rakyat memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Alasannya sama dengan apa yang diduga Hatta, dan telah disampaikan kepada Sutan Sjahrir. Soekarno menegaskan: “Aku tidak berhak bertindak sendiri, hak itu adalah tugas Panitya Persiapan Kemerdekaan yang aku menjadi ketuanya. Alangkah janggalnya di mata orang, setelah kesempatan terbuka untuk mengucapkan kemerdekaan Indonesia itu aku bertindak sendiri melewati Panitya Persiapan Kemerdekaan yang kuketuai.”[15]
Keesokanharinya, Soekarno dan Mohammad Hatta mencoba mendatangi kantor Pemerintah Balatentara Pendudukan Jepang (Gunseikan) di Koningsplein (Medan Merdeka) untuk memperoleh penjelasan tentang perkembangan situasi terakhir, dan kabar tentang penyerahan Jepang kepada Sekutu. Tapi kantor itu kosong, sehingga Soekarno dan Mohammad Hatta bersama Ahmad Soebardjo kemudian mendatangi kantor Bukanfu, Kantor Perwira Penghubung Antar Pemerintah Militer Jepang, di mana Laksamana Muda Tadashi Maeda berkantor, di Jalan Medan Merdeka Utara. Di kantornya, Laksamana Muda Maeda menyambut kedatangan Soekarno, Hatta dan Ahmad Subardjo dengan ucapan selamat, atas keberhasilan mereka bertemu Marsekal Hisaichi Terauchi di Dalat, Vietnam, beberapa hari sebelumnya. Namun, Laksamana Muda Maeda mengaku masih belum mendapatkan informasi perkembangan terakhir, dan masih menunggu instruksi selanjutnya dari Tokyo.[16]
Sepulang dari kantor Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan PPKI pada keesokan harinya, tanggal 16 Agustus 1945, pukul 10 pagi, di kantor PPKI Jalan Pejambon nomor 2. Dalam rapat itu rencananya PPKI akan membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Namun ternyata, rapat PPKI yang sudah dijadwalkan pada tanggal 16 Agustus 1945, pukul 10.00 itu tidak dapat dilaksanakan, karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.[17] Setelah dicoba untuk mencari keterangan dari berbagai sumber, ternyata tak seorang pun yang mengetahui ke mana kedua pemimpin itu pergi. Karena itu, rapat PPKI yang dimaksud tidak jadi dilangsungkan, dan hanya diadakan pertemuan ramah-tamah antara para anggota yang hadir.[18]
Rupanya, pada malam hari tanggal 15 Agustus 1945, terjadi peristiwa yang menegangkan. Saat itu, kalangan pemuda revolusioner yang dekat dengan Sjahrir terus mendesak Soekarno dan Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan.[19] Sekitar pukul 21.30, ketika Hatta sedang mengetik naskah pernyataan Proklamasi yang akan dibacakan dan dibagi-bagikan kepada para anggota PPKI pada keesokanharinya, datanglah Mr. Ahmad Soebardjo ke rumah Hatta. Hatta kemudian diajak Soebardjo untuk pergi bersama-sama ke rumah Soekarno. Sebab, saat itu Soekarno sedang dikerumuni para pemuda revolusioner yang terus mendesaknya agar malam itu juga Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan melalui corong radio. Mereka kemudian bergegas pergi ke rumah Soekarno, dan tiba tak lama setelah kedatangan Dr. Buntaran Martoatmodjo.[20]
Pada saat itu, para pemuda revolusioner yang berkumpul di serambi rumah Soekarno di jalan Pegangsaan Timur nomor 56 itu, terus mendesak Soekarno dengan keras. Mereka menginginkan agar Soekarno segera memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia pada malam itu juga. Meskipun terus didesak, Soekarno tetap bertahan dan terus menolak desakan para pemuda itu, dengan alasan bahwa Jepang sudah mengambil keputusan untuk memerdekakan Indonesia. Soekarno juga beralasan bahwa, pada esok pagi tanggal 16 Agustus 1945, PPKI sudah akan memilih kepala pemerintahan di pusat dan berbagai daerah. Karena merasa desakan mereka tak mempan, maka para pemuda revolusioner itu kemudian mulai mengancam. “Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman Kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah,” kata Wikana.[21]
Mendengar ancaman Wikana itu, Soekarno pun menjadi naik darah. Sambil berjalan menuju ke arah Wikana dan menunjukkan batang lehernya, Soekarno berkata, ”Ini leherku. Seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku, malam ini juga. Jangan menunggu sampai besok.” Tentu saja Wikana sangat terperanjat melihat reaksi Soekarno yang tidak disangka-sangkanya itu. Wikana lalu agak melunak dan berkata, “Maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan kami mau memperingatkan, apabila Kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro Belanda, seperti orang-orang Ambon dan lain-lain.[22]
Berhubung suasana sudah begitu panas, maka diusulkan agar rapat itu diambil jeda barang 15 menit. Hatta lalu mengajak Soekarno, Soebardjo dan Boentaran mengundurkan diri sebentar ke dalam, ke tengah rumah. Keempat orang itu akhirnya sepakat, bahwa apabila para pemuda itu bersikap keras untuk memproklamasikan Indonesia Merdeka pada malam itu juga, lebih baik mereka mencari seorang pemimpin lainnya sebagai penyokong revolusi. Setelah rapat dengan para pemuda itu dimulai lagi di serambi muka, keputusan keempat orang itu pun disampaikan. Maka seketika itu pula perundingan macet karena pemuda tak mau mengambil jalan lain. Lalu rapat itu pun diputuskan bubar saja. Soekarno mengundurkan diri ke dalam, dan yang lain pulang ke rumah masing-masing.[23]
Namun, pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, para pemuda revolusioner itu, diantaranya Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana bersama Shodanco PETA Singgih dan beberapa anggota PETA lainnya, telah menculik Soekarno, bersama Fatmawati, dan anak sulungnya, Guntur Soekarnoputra yang baru berusia 9 bulan, serta Mohammad Hatta. Mereka kemudian dibawa ke sebuah kota kecil bernama Rengas Dengklok, di Karawang, Jawa Barat. Dalam penculikan yang kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Rengasdengklok ini, para pemuda revolusioner berusaha memaksa Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, dan tidak terpengaruh oleh Pemerintah Balatentara Pendudukan Jepang karena Kekaisaran Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Para pemuda mengaku siap berjuang untuk melucuti tentara Jepang, apa pun risikonya.[24]
Sementara itu, di Jakarta, kelompok pemuda yang dipimpin Wikana berunding dengan golongan tua yang diwakili Ahmad Soebardjo. Dalam perundingan itu Ahmad Soebardjo setuju untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka kemudian diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Kira-kira hampir pukul 18.00 Ahmad Soebardjo tiba di Rengas Dengklok menjemput Soekarno, Hatta, dan juga Syuchokan (Residen) Soetardjo yang juga ditangkap gerombolan pemuda itu, pada saat memeriksa persediaan beras di Karawang. Menurut Soebardjo, di Jakarta biasa saja, dan tidak terjadi peristiwa apapun juga, sebagaimana direncanakan para pemuda. Rapat PPKI pun batal dilaksanakan, karena Soekarno dan Hatta sebagai pengundang tidak juga hadir.[25]
Malam harinya, sekitar pukul 20.00, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo yang diantarkan oleh Soekarni, baru tiba di Jakarta. Mereka langsung ke rumah Hatta untuk mengatur cara bagaimana meneruskan rapat PPKI yang tidak jadi diselenggarakan pada pagi harinya. Soebardjo kemudian mengusulkan untuk menelpon Laksamana Muda Tadashi Maeda untuk meminjam ruang tengah rumahnya untuk rapat, dan keduanya pun setuju. Setelah Soebardjo menelepon, Laksamana Muda Maeda pun menerima permintaan itu dengan senang hati. Lalu Hatta meminta Soebardjo untuk menelepon para anggota PPKI. Saat itu, dalam rangka mengikuti rapat tanggal 16 Agustus 1945 pagi, semua anggota PPKI sudah menginap di Hotel des Indes. Para anggota PPKI itu diminta untuk datang ke rumah Laksamana Muda Maeda pada pukul 12 tengah malam tepat, untuk meneruskan rapat yang tidak jadi pada pagi harinya. Para anggota PPKI itu akan ditelepon oleh Soebardjo dari rumahnya. Kemudian Soekarno dan Soebardjo pulang sebentar ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri. Sementara itu, karena Soekarni takut ditangkap Kenpetai (Polisi Rahasia Jepang) gara-gara memakai seragam PETA, maka sambil tertawa Hatta akhirnya meminjamkan satu stel pakaian miliknya untuk pemuda yang telah menculiknya seharian ke Rengas Dengklok itu, meski agak kekecilan.[26]
Setelah mereka selesai berunding, pada malam itu juga, pukul 22.00, Soekarno dan Hatta dipanggil oleh Soomobucho Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, lewat pesan telepon tuan Miyoshi –juru bicara Pemerintah Balatentara Pendudukan Jepang. Setelah terlebih dahulu singgah ke rumah Laksamana Muda Maeda, bersama-sama sang Laksamana Muda yang bersimpati kepada bangsa Indonesia itu, Soekarno dan Hatta berangkat ke rumah Mayor Jenderal Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum Pemerintahan Balatentara Pendudukan Jepang, yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah Laksamana Muda Maeda.[27] Adapun Ahmad Soebardjo dan Soekarni tetap berada di rumah Laksamana Muda Maeda untuk mempersiapkan rapat PPKI yang akan diselenggarakan malam itu.[28]
Menurut kesaksian Teoekoe Moehammad Hassan, malam itu, tanggal 16 Agustus 1945, para anggota PPKI tiba-tiba mendapat surat undangan untuk menghadiri rapat Panitia di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, kini jalan Imam Bonjol nomor 1, Jakarta, mulai pukul 00.00, tengah malam. Pada waktu yang telah ditetapkan, banyak di antara anggota PPKI yang sudah hadir di rumah Laksamana Maeda. Namun, Sang Ketua dan Wakil Ketua, Soekarno dan Mohammad Hatta, belum juga muncul. Para hadirin kemudian mengadakan pertemuan ramah-tamah sambil menunggu kedatangan kedua tokoh itu. Tapi sampai lewat pukul satu dini hari, Soekarno dan Mohammad Hatta belum juga tiba. Hingga pukul dua pagi, beberapa orang di antara anggota PPKI yang hadir di rumah Laksamana Maeda sudah mulai mengantuk dan ada pula yang berusaha keras untuk tidak mengantuk dengan bermacam-macam cara seperti berjalan dan sebagainya.[29]
Sementara itu, di rumah Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, perundingan Soekarno dan Hatta dengan Nishimura berlangsung alot. Pokok perundingan mereka adalah bahwa Soekarno dan Hatta menjelaskan, bahwa malam itu juga mereka akan meneruskan rapat PPKI yang paginya tidak dapat dilaksanakan, karena mereka diculik pemuda, dan dibawa ke Rengas Dengklok. Namun, Nishimura mengatakan bahwa sekarang sudah lain keadaannya. “Kalau tadi pagi masih dapat dilangsungkan, tapi mulai pukul 1 tadi siang, kami tentara Jepang di Jawa menerima perintah dari atasan, bahwa kami tidak boleh lagi mengubah status quo. Pimpinan tentara Jepang sangat sedih, bahwa apa yang dijanjikan terhadap Indonesia Merdeka, tidak dapat kami tolong untuk menyelenggarakannya. Dari mulai tengah hari tadi tentara Jepang di Jawa tidak mempunyai kebebasan bergerak lagi. Ia semata-mata alat Sekutu dan harus menurut segala perintah Sekutu.”[30]
Soekarno dan Hatta lalu mengingatkan Nishimura, bahwa Pemerintah Tokyo sudah mengakui Kemerdekaan Indonesia dengan perantaraan Marsekal Terauchi pada saat mereka bertemu di Dalat, sementara itu, menurut Marsekal Terauchi, pelaksanaan pernyataan kemerdekaan itu telah diserahkan kepada PPKI. Adapun PPKI, pada pukul 12 malam itu juga, akan memulai rapatnya di rumah Laksamana Maeda. Menurut Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, jika rapat itu berlangsung tadi pagi mereka bisa membantu, tapi karena sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945, mereka sudah menerima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, maka mereka kini terpaksa melarang rapat PPKI itu.[31]
Tentu saja Soekarno dan Hatta sangat menyesalkan keputusan itu. Hatta yang naik darah bahkan sempat menyindir Nishimura dengan pernyataan, apakah sikap itu adalah sikap seorang Samurai yang bersemangat Bushido, karena telah mengingkari janji hanya agar dikasihani oleh Sekutu. Karena tajamnya kalimat Hatta, sampai-sampai Miyoshi sang penerjemah terkaget-kaget, dan terpaksa memperhalus terjemahannya. Selama dua jam berdebat, tak ada kata sepakat di antara mereka. Soekarno dan Mohammad Hatta kemudian sepakat untuk meninggalkan rumah Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, dan kembali ke rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. Ternyata, pada saat itu Laksamana Maeda diam-diam telah meninggalkan rumah Nishimura tanpa sepengetahuan Soekarno dan Hatta.[32]
Dari rumah Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Soekarno dan Hatta menuju ke rumah Laksamana Muda Maeda bersama Miyoshi untuk menggelar rapat penyiapan teks Proklamasi. Menurut Teoekoe Moehammad Hassan, pada jam 3 lewat (dini hari) tibalah beberapa buah mobil di rumah Laksamana Maeda, dan baru tampak Soekarno dan Hatta serta seorang opsir Jepang.[33]
Di rumahnya, Laksamana Muda Maeda menyambut Soekarno dan Hatta sambil geleng-geleng kepala. Saat itu, di ruang tamu rumah Laksama Muda Maeda yang luas sudah lengkap hadir anggota PPKI, pemimpin-pemimpin pemuda, dan beberapa orang pemimpin pergerakan, dan anggota Tjuoo Sangi In yang berada di Jakarta. Semua kira-kira ada 40 sampai 50 orang terkemuka. Karena semua sudah siap, maka Laksamana Muda Maeda kemudian mempersilakan mereka untuk memulai rapat, sementara dia sendiri mengundurkan diri ke kamarnya, dan tidak mengikut rapat itu. Di jalan banyak pemuda yang menonton dan menunggu hasil pembicaraan.[34]
Menurut Teoekoe Moehammad Hassan, semula para undangan yang sudah hadir di rumah Laksamana Maeda menyangka, rapat akan langsung dimulai begitu kedua tokoh yang ditunggu itu tiba. Namun ternyata Soekarno dan Hatta mengadakan pertemuan dulu, sehingga hadirin dalam ruangan rapat terpaksa menunggu hampir satu jam lagi sebelum diadakan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.[35] Kasman Singodimedjo pun menceritakan, bahwa setelah duduk sebentar dan menceritakan hal-hal yang diperdebatkan dengan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Soekarno dan Hatta meminta izin untuk mengundurkan diri ke sebuah ruang makan kecil bersama-sama dengan Ahmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. Di ruang makan kecil itu mereka berlima duduk di sekitar sebuah meja makan dengan maksud untuk membuat sebuh teks ringkas tentang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. “Saat itu, tidak ada seorang pun di antara mereka yang membawa dalam sakunya, teks proklamasi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut sebagai Piagam Jakarta,” kata Mohammad Hatta yang dikutip Kasman Singodimedjo dalam buku memoarnya.[36]
Penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, pada pukul 02.00 – 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di rumah itu. Konsep teks proklamasi ditulis tangan dengan pensil oleh Soekarno.[37]
Lebih kurang pukul empat pagi, Soekarno sebagai Ketua PPKI membuka rapat PPKI. Walaupun berlangsung di rumah Laksamana Tadshi Maeda, rapat tidak dihadiri oleh seorang pembesar Jepang pun. Pada mulanya Soekarno menyatakan bahwa Balatentara Jepang telah menyerah kalah kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, dan pemuda-pemuda Indonesia telah mendesak supaya segera diroklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Jika tidak, akan timbul revolusi yang tidak terpimpin dan tidak teratur.[38]
Hadirin pun setuju segera diproklamirkannya kemerdekaan bangsa Indonesia. Selanjutnya rapat membicarakan susunan kata-kata proklamasi kemerdekaan. Soekarno mengambil naskah yang telah dibuat lebih dahulu dari kantong bajunya, dan sesudah bertukar pikiran diadakan perubahan seperlunya pada naskah itu, dan ditetapkanlah susunan kata-kata proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.[39]
Setelah sempat berdebat tentang siapa yang harus menandatangani naskah Proklamasi Kemerdekaan itu, Soekarni mengusulkan agar penandatangan naskah Proklamasi cukuplah Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti Melik menyalin dan mengetik naskah itu. Setelah dibacakan di muka hadirin, Soekarno dan Hatta menandatangani naskah Proklamasi itu, sementara konsep naskah proklamasi tulisan tangan Soekarno dibawa oleh B.M. Diah untuk disalin dan dibuat selebaran.[40]
Semula teks proklamasi kemerdekaan Indonesia itu akan dibacakan di Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) di Lapangan Monumen Nasional saat ini. Namun sejak pagi, pasukan Jepang bersenjata lengkap telah berjaga di lapangan itu untuk menggagalkan rencana proklamasi kemerdekaan Indonesia. Maka, dengan alasan keamanan, pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia dipindahkan ke rumah Soekarno, di Jalan Pegangsaan Timur 56. Sementara itu, karena perubahan tempat pembacaan Proklamasi yang sangat mendadak itu, beberapa orang pemuda yang ikut rapat di rumah Laksamana Maeda, seperti Soekarni, Chairul Saleh, dan B.M. Diah, justru tidak menghadiri Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.[41]
Maka, pada pagi hari tanggal, 17 Agustus 1945, di rumah Soekarno, di Jalan Pegangsaan Timur 56, beberapa tokoh telah hadir. Di antara mereka terdapat Soewirjo, Wilopo, Abdul Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Surastri Karma Trimurti. Setelah Hatta tiba, acara pun dimulai. Tepat pukul 10:00 Soekarno membacakan teks Proklamasi, kemudian disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta ketika itu dan Dr. Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor. Pada awalnya Surastri Karma Trimurti yang diminta untuk menaikkan bendera Merah Putih, namun wartawati dan salah satu tokoh pergerakan nasional ini menolak, dengan alasan pengibaran bendera Merah Putih sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh karena itu ditunjuklah Abdul Latief Hendraningrat, seorang Chudancho PETA, dibantu Chudancho Soehoed untuk mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Keduanya, dibantu seorang pemudi yang membawa nampan berisi bendera Merah Putih. Setelah bendera berkibar, massa yang hadir kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya.[42]
Menurut sejarawan Betawi, Ridwan Saidi, massa yang datang ke Pegangsaan Timur nomor 56, pada saat itu sesungguhnya adalah massa kaum muslimin yang dikerahkan oleh Rahmatullah Siddiq, seorang ulama dan tokoh pergerakan dari Betawi, serta M Ali Alhamidi, seorang tokoh Persatuan Islam di Matraman. Massa yang datang umumnya adalah para pedagang sayur dari kawasan Manggarai, Senen, dan Kebayoran Baru. Menurut Ridwan Saidi, fotografer IPPHOS, Frans Mendur sebenarnya sempat memotret para pedagang sayur yang datang itu. Namun foto-foto yang kemudian banyak dipublikasikan hanyalah suasana pada saat Soekarno dan Hatta membacakan proklamasi serta proses pengibaran Sang Saka Merah Putih. Foto-foto lainnya kini entah ke mana.[43]
Para pedagang sayur itu dikerahkan oleh Rahmatullah Siddiq dan M. Ali Alhamidi, karena massa yang tadinya akan disiapkan oleh Dr. Muwardi, pemimpin Barisan Pelopor, belum juga datang. Sebab, semula direncanakan proklamasi kemerdekaan akan dibacakan pukul 13.00 di lapangan Ikada. Namun karena pertimbangan keamanan, tentara Jepang konon telah bersiaga di Lapangan Ikada, maka pembacaan teks proklamasi dipercepat menjadi pukul 10.00 dan diselenggarakan di Pegangsaan Timur. Sementara itu, setelah upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia selesai berlangsung, 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S. Brata, datang terburu-buru karena tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Lapangan Ikada ke Pegangsaan. Rombongan Barisan Pelopor ini meminta agar Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Mohammad Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[44]
***
[1] Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. Hidup Itu Berjuang. hlm 127.
[2] Ibid. hlm 127.
[3] Ibid. hlm 81.
[4] Ibid. hlm 81.
[5] Ibid. hlm 81.
[6] Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta Ke-70. Bung Hatta. Mengabdi Pada Tjita-Tjita Perdjoangan Bangsa. Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta Ke-70. Djakarta. 1972. hlm 179.
[7] Ibid. hlm 179.
[8] Ibid. hlm 179.
[9] Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. Hidup Itu Berjuang. hlm 81.
[10] Ibid. hlm 82.
[11] Ibid. hlm 67.
[12] Ibid. hlm 82.
[13] Ibid. hlm 83.
[14] Ibid. hlm 83.
[15] Ibid. hlm 83.
[16] Ibid. hlm 67.
[17] Ibid. hlm 84 – 85.
[18] Dalam catatan Mr Teoekoe Moehammad Hassan, undangan rapat tanggal 16 Agustus 1945 itu akan berlangsung pada jam 09.00 pagi. Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta Ke-70. Bung Hatta. Mengabdi Pada Tjita-Tjita Perdjoangan Bangsa. Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta Ke-70. Djakarta. 1972. hlm 180.
[19] Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. Hidup Itu Berjuang. hlm 84 – 85.
[20] Ibid. hlm 86.
[21] Ibid. hlm 86.
[22] Ibid. hlm 86.
[23] Ibid. hlm 86.
[24] Ibid. hlm 87.
[25] Ibid. hlm 89.
[26] Ibid. hlm 90 – 91.
[27] Ibid. hlm 91.
[28] Ibid. hlm 101.
[29] Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta Ke-70. Bung Hatta. Mengabdi Pada Tjita-Tjita Perdjoangan Bangsa. hlm 180.
[30] Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. Hidup Itu Berjuang. hlm 91.
[31] Ibid. hlm 91 – 92.
[32] Ibid. hlm 92 – 93.
[33] Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta Ke-70. Bung Hatta. Mengabdi Pada Tjita-Tjita Perdjoangan Bangsa. hlm 180. Teoekoe Moehammad Hassan mengira opsir itu adalah Laksamanan Maeda. Sementara menurut Kasman Singodimedjo berdasarkan keterangan Mohammad Hatta, Laksamana Maeda sudah pulang duluan ke rumahnya.
[34] Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. Hidup Itu Berjuang. hlm 91.
[35] Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta Ke-70. Bung Hatta. Mengabdi Pada Tjita-Tjita Perdjoangan Bangsa. hlm 181.
[36] Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. Hidup Itu Berjuang. hlm 91.
[37] B.M. Diah. Angkatan Baru ’45. Sejarah Lembaga Perjuangan Pemuda Menentang Jepang, Mendorong Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Masa Merdeka. Jakarta. 1983. hlm 247 – 249.
[38] Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta Ke-70. Bung Hatta. Mengabdi Pada Tjita-Tjita Perdjoangan Bangsa. hlm 181.
[39] Ibid. hlm 181.
[40] B.M. Diah. Angkatan Baru ’45. Sejarah Lembaga Perjuangan Pemuda Menentang Jepang, Mendorong Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Masa Merdeka. Jakarta. 1983. hlm 247 – 249.
[41] Ibid. hlm 252 – 253.
[42] Wawancara dengan H. Ridwan Saidi, Kamis, 13 Desember 2012.
[43] Ibid.
[44] Ibid.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.