MEIKARTA: Itu Bukan Penjualan, Cuma Booking Fee. Hehe!
By Asyari Usman
Judul tulisan ini adalah inti dari isinya. Dan, layak dibuat dalam format komunikasi medsos yang sering disertai “Hehe”. Sebab, kutipan-kutipan yang akan Anda baca di bawah nanti adalah rangkaian buah pikiran yang memang cukup pantas disebut banyolan. Lawakan. Hehe!
Ada yang mau membodohi, dibodohi, terbodohi, pembodohan, pura-pura bodoh, dan menyangka semua orang bodoh. Itulah hasil diskusi antara Ombudsman RI dan Lippo Group berkenaan dengan proyek Meikarta yang dikatakan melakukan pelanggaran hukum. Kota baru di Cikarang ini dibangun tanpa izin lengkap. Hehe!
Jumat, 8 September 2017, Ombudsman RI, yang diwakili oleh Ahmad Alamsyah Saragih, mengadakan acara ini untuk menanyakan langsung kepada manajemen Lippo Group tentang banyak hal terkait ke
giatan pembangunan di areal kota baru itu. Sekaligus juga memberikan peringatan bahwa mereka melanggar peraturan-perundangan kalau menjual properti yang dibangun tanpa izin.
Ada penjelasan yang sangat melecehkan nalar orang-orang yang mendengarkannya, bahkan nalar yang terendah sekali pun. Di pertemuan diskusi ini, Direktur Komunikasi Lippo Group, Danang Kemayan Jati, menolak anggapan bahwa Lippo melakukan pemasaran (penjualan). Hehe!
Dia membantah telah melakukan transaksi jual beli di Meikarta. Dikatakannya, seperti dikutip sejumlah media cetak dan online, sejauh ini yang diambil hanya “booking fee” atau uang tanda pemesanan dari konsumen. Uang tersebut tidak digunakan untuk kegiatan pembangunan, namun disimpan khusus di rekening berbeda dan sewaktu-waktu bisa dikembalikan ke konsumen.
“Booking fee itu normal dalam bisnis properti. Itu belum transaksi, masih pemesanan. Supaya antriannya tertib dan bisa dikembalikan,” kata Danang. Hehe!
Waduh, Pak Danang, “booking fee” bukan transaksi? Anda anggap ini bukan bagian dari proses jual-beli? Luar biasa! Kamilah yang bodoh. Hehe!
Anda tidak salah juga, sebenarnya. Sebab, divisi komunikasi di mana pun juga memang berusaha melakukan macam-macam cara agar orang menjadi terbodohkan, tanpa sadar. Hehe!
Dan, memang ada pula orang yang rela dibodohi. Atau, terbodohi. Bisa jadi juga pura-pura bodoh. Hehe!
Sebagai contoh, begini jawaban komisaris Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, setelah mendengarkan penjelasan Pak Danang. “Syukur, di Lippo ini belum ada transaksi. Jadi yang sekarang dibayarkan ini hanya booking fee. Belum ada transaksi jual beli.”
Komisaris Saragih kelihatan pura-pura bodoh mengulangi pernyataan yang bersifat pembodohan oleh pihak Danang. Pak Ombudsman, yang semula mengeluarkan peringatan bahwa Meikarta bisa dikenai pasal pidana kalau menjual properti yang tidak punya izin, malah terkesan akan “membantu” Meikarta agar bisa mendapatkan izin secepatnya. Hehe!
Alamsyah Saragih akan menanyakan kepada Pemprov Jawa Barat dan Pemkab Bekasi tentang mengapa izin Meikarta terlalu lama terbitnya.
Seperti disebutkan tadi, Danang Kemayan Jati cukup piawai melaksanakan tugasnya sebagai direktur komunikasi Lippo. Secara umum, jabatan seperti ini memang selalu berfungsi untuk membolak-balik persoalan. Sampai orang lain terbodoh-bodoh. Hehe!
Tetapi, di dalam setiap proses pembodohan, rupanya tetap ada saja orang yang luput dari kebodohan. Karena, memang, tidak semua orang bodoh. Hehe!
Sebelum “closing statement” (hehe, supaya agak keren sedikit, dan tak kelihatan bodoh meskipun ikut juga terbodohkan), saya ingatkan Anda sekalian tentang dua berita yang dimuat di Kompas.com, edisi 6 Juli 2017, segmen “Properti”.
Begini judulnya, “Dari Penjualan 16,800 Apartemen Meikarta, Lippo Raup Rp8 Triliun”. Barangkali Pak Danang sudah lupa berita ini. Atau, bisa jadi beliau punya tafsiran sendiri tentang judul berita ini. Hehe!
Kemudian, pada 17 Agustus 2017, di segmen yang sama, Kompas.com membuat judul “Penjualan Meikarta Tembus 99,300 Unit”. Media lain juga rata-rata menggunakan kata “penjualan”. Kata yang saat ini sedang tidak disukai oleh Meikarta.
Agaknya, kata “penjualan” di sini beliau tafsirkan menjadi “booking deal”. Atau, boleh jadi Pak Danang lupa berpesan kepada para penulis berita agar tidak menggunakan kata “penjualan”. Atau, bisa juga beliau tak menyangka “penjualan” produk Meikarta yang tak lengkap izin itu, bakal dipesoalkan di kemudian hari, sekarang ini. Hehe!
Itulah, kawan! Kalau dalam satu misi pembodohan ternyata didapati tidak semua orang bodoh, maka seperti kata orang tua-tua, “kebodohan” itu biasanya akan kembali kepada orang-orang yang menyangka orang lain bodoh. Kata orang Australia, “boomerang”.
(Penulis adalah wartawan senior)