Diksi pribumi dalam dua hari terakhir ramai diperbincangkan publik setelah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menggunakan kata tersebut dalam pidatonya di Balai Kota usai dilantik, Senin (16/10) kemarin. Saya jadi teringat bagaimana kedatangan orang-orang Arab ke Nusantara disambut hangat oleh rakyat Indonesia.
Banyak masyarakat salah persepsi tentang kedatangan orang Arab ke Nusantara. Pemerintah kolonial Belanda menyebutkan para imigran dari Hadramaut (Yaman Selatan) datang ke Indonesia pada abad ke-19. Lalu para orientalis, seperti Snock Hurgronye, menyatakan Islam masuk ke Indonesia bukan dari Arab, tapi Gujarat (India). Tujuannya adalah untuk menghilangkan pengaruh Arab di Indonesia, yang di mata Belanda sangat berbahaya bagi kelangsungan hidupnya di tanah jajahan.
Pendapat tersebut telah dibantah dalam seminar ‘Sejarah Masuknya Islam di Indonesia’ yang berlangsung di Medan (1973). Seminar yang dihadiri para sejarawan dan pemuka agama ini menegaskan Islam telah berangsur datang ke Indonesia sejak abad pertama hijriah (abad ketujuh Masehi) dibawa para saudagar Islam yang berasal dari Arab, diikuti orang Persia dan Gujarat.
Menurut hasil seminar itu, mereka bukanlah missionaris Islam sebagaimana diperkirakan dunia Kristen. Sebab, pada hakekatnya setiap orang Islam punya kewajiban menyampaikan missi. Malabar dan Koromandek (India) juga bukan tempat asal kedatangan Islam ke Indonesia, tetapi tempat singgah.
Pada masa terebut perjalanan dari Arab ke Indonesia dengan kapal layar memerlukan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih setahun. Karena itu, mereka harus singgah di Gujarat yang kala itu merupakan bandar yang ramai.
Berarti, sejak lama orang Arab telah datang ke Indonesia, Malaysia dan daerah lain di Nusantara. Penduduk menerima orang-orang Arab yang mereka anggap datang dari tanah suci (Mekah dan Madinah). Dapat dipahami pengaruh Arab di kedua negara tersebut relatif sangat besar.
Pada abad ke-18 dan 19, masyarakat Nusantara lebih dapat membaca huruf Arab daripada latin. Maka, mata uang di masa Belanda ditulis dengan huruf Arab Melayu, Arab Pegon atau Arab Jawi. Bahkan, pada masa itu, cerita-cerita roman termasuk tulisan pengarang Tionghoa juga ditulis dalam huruf Arab Melayu.
Mengingat sekitar 90 persen penduduk Indonesia adalah Muslim, seperti pernah dikatakan Rasulullah, ”Dicintai Arab karena tiga hal, karena aku seorang Arab, Alquran tertulis dalam bahasa Arab, dan percakapan ahli surga juga mempergunakan bahasa Arab.” (Hadis riwayat Ibnu Abbas).
Sehubungan dengan hal di atas, wajarlah bila Indonesia-Arab merupakan golongan yang sedemikian unik, karena status atau kedudukan mereka akibat perpaduan antara Islam dan budaya Arab, serta sejarah mereka. Kalau Belanda menyebut pribumi sebagai inlander (bangsa kuli) yang membuat Bung Karno marah besar, keturunan Arab memberikan penghargaan dengan sebutan ahwal(saudara dari pihak ibu). Mengingat, sebagian besar keturunan Arab yang datang ke Indonesia tanpa disertai istri.
Karena itu, orang Indonesia keturunan Arab menolak ketika Belanda ingin meningkatkan status mereka, sebagai usaha untuk menjauhkan mereka dengan pribumi. Mereka lebih memilih untuk berdekatan dengan saudara-saudaranya dari pihak ibu.