Ada yang hangat dan sedap juga membesar karena isu ini digoreng. Keuntungan datang buakn untuk yang mengoreng bahkan lebih menciprat atau menyembur malu ke pembuat isu. Sudah kalah bikin isu yang tidak kuat langkahnya sehingga gagal melangkah bahkan menjadi panik dan hilang arah.
Adalah Pribumi, kata yang dalam pidato Anies Baswedan pada 16 Oktober 2017 itu ada 1744 Kata dimana rinciannya:
7 Kata MERDEKA, 8 kata PANCASILA, 3 kata GOTONG ROYONG, 40 kata JAKARTA, 5 Kata PERJUANGAN, 6 kata PERSATUAN, 5 kata BEKERJA, 4 kata PEMBANGUNAN, dan hanya 1 kata PRIBUMI. Kata pribumi dipadankan dengan mengajak untuk menjadi tuan di negeri sendiri. Dengan 1 kata itu membuat heboh. Jagat nusantara menguncang dan kini makin nyata siapa sebenarnya mereka itu. Pribumi ditembak nanmun salah arah menembaknya. Hikmahnya makin kokohah pribumi ini tak bisa dibendung, membumi dan kuat makin membumi.
Meributkan 1 kata pribumi padahal kata ini diucapkan sekali dalam pidato itu adalah keanehan. Sehingga gelegar kata itu menusuk rupanya ada yang menuduh segala macam. Macamnya banyak atau seolah-olah dimasukan bahwa kata Pribumi menjadi Rasial. Sejak kapan Pribumi Ras?
Pemikiran itu tentu dangkal dan tak berdasar. Namun demam ini makin menjadi-jadi. Bahkan dengan kata itu baru dilantik sehari Gubernur Jakarta — yang menang Pilkada mengalahkan petahana dengan dua digit itu — ada yang melaporkan ke polisi berdalih Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi. Konteks yang absurd sekaligus lucu.
Media ada juga yang mengiring seolah mneyudutkan Anies dalam Pidato berdurasi sekitar 22 menit 21 detik itu menyebut Anies tak Melek Aturan. Anehnya hanya selang beberapa jam media ini juga menulis lagi berbunyi:Tak Ada Konsekuensi Hukum untuk Menyebut Istilah Pribumi. Media itu media dunia yang afiliasinya ada di tanah air. Bahkan berita 2016 media ini menganti judulnya setelah 248 hari karena mengunakan kata Pribumi. Namun celakanya Permalink darl media ini luput, sejumlah orang yang memiliki dokumen data digital dikenakan spam saat di sahre di Media Social Facebook.
Pengamat Tom Pepinsky, dosen perbandingan politik program Asia Tenggara, Universitas Cornell, Amerika Serikat, disebut layaknya Pidato seorang Presiden. Ini pujian: “Dalam bagian lain pidatonya, ia (Anies Baswedan -red) juga mengutip peribahasa daerah dari seluruh Nusantara (Aceh, Batak, Banjar, Madura, Minahasa, Minang) dan mencoba menunjukkan ke setiap daerah Indonesia, dan mengatakan ‘saya juga berbicara kepada Anda’,” tulis Pepinsky. (BBC, 17/10/2017)
Pidato Anies yang heroik ini menjadi titik awal perubahan yang lebih baik bagi ibukota negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini.
Radhar Tribaskoro aktivis yang sempat mengkritik keras SMRC bahwa ada kejahatan intelektual dalam survei menulis bahwa serangan kepada Anies dengan alasan yang dibuat-buat saya kira tidak akan berhenti sekalipun penjelasan telah disampaikan.
“Karena serangan itu bukan dalam rangka mengritik Anies, serangan itu dalam rangka pilpres 2019. Pada tanggal 4 September 2017 Jokowi telah mengeluarkan instruksi agar relawan mulai kampanye untuk pilpres 2019. Itu sebabnya kita melihat pergerakan yang signifikan dari kubu presiden dalam sebulan belakangan ini. Beberapa aksi permulaan bisa ditandai,’ tulis Radar
Radar juga menambahkan *1. Surveyor atau pollster Jokowi, yaitu SMRC (Syaiful Mujani Research Center) sudah bergerak melakukan framing negatif kepada calon lawannya, Prabowo Subianto.* Pada tanggal 29/9 SMRC merilis kesimpulan survei yang sangat tendensius. Mereka bilang, *”Prabowo adalah pengusung radikalisme yang telah memobilisasi orang-orang muda dengan isu itu untuk menyerang pemerintah. Walau begitu, Jokowi tetap politikus yang dicintai rakyat dengan elektabilitas 3 kali lipat pesaing Prabowo.”*
*2. Hendardi, aktivis HAM terkemuka dan penasehat Kapolri,* muncul dengan sigap merespon pidato Anies Baswedan yang pertama sebagai Gubernur DKI. Ia menuduh Anies rasis, karena menyatakan “pribumi harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri.” Tuduhan ini, tanpa ba-bibu, langsung disambut gegap gempita oleh para buzzer Jokowi dan menjadi viral. Hahaha…the commandante has spoken…”😅😅 Jasmev has to follow.
*3. Fajrul Rahman* yang lama hilang dari layar kaca sudah nongol lagi. Tgl 13/10 lalu ia muncul dalam talkshow Rosi “3 Tahun Jokowi”.
Para komandan sudah turun, kerangka isunya juga sudah disiapkan. Mesin kampanye Jokowi sudah bergerak. Mereka akan lakukan apapun untuk “membangun citra positif bagi Jokowi dan menjatuhkan citra Prabowo yang dianggap lawan terkuat”.
Dalam pertarungan pencitraan ini tidak penting benar-salah karena slogan seorang buzzer adalah *”salah-benar sebarkan!”*, dan *”untuk junjungan, jangankan benar, salah saja dibela.”*
Sosial media dalam waktu singkat akan dipenuhi lagi oleh buzzer-buzzer Jasmev. Wacana palsu, caci-maki, sumpah-serapah akan bertebaran lagi seperti 2014 lalu.
Radar mengunggapkan lagi, Saran saya agar pikiran tetap waras dan hati tetap dingin, batasi bacaan Anda. Hindarkan orang-orang yang hanya senang memprovokasi namun tidak suka berargumentasi. Mereka itu gampang disaring, kalau ditanya pasti yang keluar caci-maki dan pembusukan. Unfriend saja biar mereka saling cacimaki dengan teman sendiri. Buang postingan tidak berguna dari linimasa anda,”tulisanya.
Komentar lain soal Pribumi muncul dari tokoh yang sering keluar masuk Penjara, dan dikenal suka mengkritik. Sri Bintang Pamungkas (SBP) menulis apanjang yang isinya:
Pernyataan Gubernur Baru DKI Jakarta, Anies, tentang telah tiba waktunya bagi Pribumi mulai meniti untuk menjadi Tuan di Negeri sendiri menuai PROTES. Seakan-akan pernyataannya itu mengandung “rasisme” dan “diskriminasi”.
Salahsatu yang protes adalah kelompok Ahoker yang juga tidak tahu persis, apakah Anies melakukan tindak pidana. Tetapi LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta jelas mengatakan Anies telah melakukan tindak pidana yang bisa diancam hukuman 5 tahun.
Dulu LBH Jakarta sempat berjaya saat menangani Perkara Penghinaan terhadap Presiden Soeharto oleh Terdakwa SBP. Perkara yang ditangani oleh Pengacara-pengacara besar berkaliber internasional, seperti Adnan Buyung Nasution, Mohamaf Assegaf, Luhut Pangaribuan dan lain-lain itu, baru betul-betul Perkara yang memang menjadi kekhasan LBH untuk ditangani. Dalam kenyataannya, Perkara itu (1996) berpotensi menjatuhkan kredibilitas Presiden Soeharto, yang akhirnya benar-benar jatuh dari singgasana kepresidenan dua tahun kemudian.
Di bawah kepengurusan anak-anak muda yang tidak profesional sekarang, LBH Jakarta tidak diragukan lagi sedang bermain politik. Kalaulah Anies menyatakan orang BETAWI sudah saatnya menjadi Tuan di DKI Jakarta, orang-orang Jawa, Minang, Batak dan lain-lain, yang juga menjadi penduduk mayoritas DKI Jakarta tentu tidak akan tersinggung lalu PROTES atau MENGGUGAT.
Semata-mata karena para pendatang DKI Jakarta itu sadar, bahwa orang-orang Betawi yang menjadi miskin dan kehilangan tanah-tanah mereka akibat “terdesak” oleh para pendatang dari lain daerah itu, benar-benar membutuhkan pertolongan dan pembelaan dari Gubernurnya. Itu bukan rasis, dan bukan pula diskiriminatif.
Orang-orang Jawa, Minang, Batak, Sunda dan lain-lain itu dengan sukarela pula mendukung Program Gubernur menyejahterakan orang-orang Betawi untuk kembali menjadi Tuan di Wilayah DKI Jakarta, wilayah yang dulu adalah wilayahnya.
Jadi tidak ada soal dengan Betawi. Dan mestinya tidak ada soal dengan Pribumi. Hanya ada satu soal yang membedakannya. Orang-orang Jawa, Batak, Minang, Madura dan lain-lain itu samasekali tidak “menjahati” orang-orang Betawi. Sedang orang-orang Non-Pribumi telah menjahati para Pribumi di DKI Jakarta dan di mana-mana di Indonesia sejak lama, ratusan tahun.
Sehingga si Pribumi.menjadi compang-camping sampai mengais-ngais sampah. Lihat saja apa yang dilakukan oleh Gubernur Ahok yang membuldozer rumah-rumah para Pribumi begitu saja dengan kepala dingin dan rasa bangga telah berhasil, sehingga mau menjadi gubernur lagi.
Jadi apa yang disampaikan Anies itu sudah sangat sesuai dengan harapan para Pribumi, sudah dinanti-nanti, dengan setiap hari mendoakan datangnya “Tuan Penolong”, seorang Gubernur baru yang bisa kembali mengangangkat harkat dan martabat Pribumi, sementara Ahok telah menghancurkannya… dan Gubernur-gubernur terdahulu, selain Ali Sadikin, tidak mampu menghadapi para penjahat Non-Pribumi yang justru rasis dan rakus itu.
Presiden Habibie tidak sadar ketika melarang pengucapan kata “Pribumi”. Dia mengira, dengan begitu, maka tidak ada soal lagi dengan konflik Pribumi dan Non-Pribumi. Dia tidak melihat sejarah terbitnya PP 10/1959. Dia tidak menyaksikan Peristiwa Mei 1963 yang membakar kota Bandung. Dia juga tidak mendengar Peristiwa Nyala Api di Makasar pada September 1997. Lalu tiba-tiba menyuruh Pribumi menutup mulut hanya sebulan sesudah menjadi Presiden RI.
Juga SBY yang melarang mengucapkan kata “Cina” dan menggantinya dengan “Tionghoa” dan “Tiongkok”. Tidak itu saja… SBY mengeluarkan undang-undang yang memberi kesempatan kepada para Cina Mafia untuk menguasai tanah dan Sumberdaya Alam Republik dengan harga murah… Lalu memberi krsempatan mereka mendirikan Museum Kepahlawanan dalam Perang Kemerdekaan di TMII. Itulah wajah-wajah para pemimpin yang ditunggu-tunggu rakyat untuk memihak… tapi dengan penuh sia-sia!
Orang-orang di Eropa setuju dengan para Ahokers. Tapi saya bilang itu belum saatnya… terlalu Cepat! Di Eropa tidak ada kaya-miskin, di mana si KAYA adalah kelompok etnis tertentu dan si MISKIN adalah kelompok etnis tertentu lain. Di sana boleh dan silahkan PROTES, kalau ada gubernur yang berpikiran rasis.
Di Indonesia itu bukan rasis. Mungkin nanti 30 tahun dari sekarang, atau 100 tahun… sesudah para Pribumi sederajat dalam kekayaan, pendapatan dan kesejahteraannya dengan bagian penduduk lain, di mana tidak ada kelompok kaya dan kelompok miskin…
Apalagi yang kaya adalah etnis minoritas dan yang miskin etnis adalah mayoritas Pribumi. Silahkan menghapus kata Pribumi dan Non-Pribumi. Nanti 100 tahun lagi, kalau tidak ada lagi penjajahan atau kolonialisme yang menghasilkan pelanggaran terhadap peri keadilan, peri kemanusiaan dan peri kehidupan… ketika para Pribumi benar-benar menjadi Tuan di Negeri sendiri, bolehlah “kita semua menjadi bersaudara…”. Anies-Sandi sedang meniti ke arah situ.
Saya dan kawan-kawan pada 2011 pernah datang dan menyampaikan dengan resmi kepada Kapolri, tentang bahayanya memilih Jokowi-Ahok untuk menjadi Gubernur dan Wagub, karena belum saatnya… Mereka, para Jenderal Polisi, itu menertawakan kami!
Belum habis ini ada juga Jaya Suprana menulisa panjang dan menjadi hal menarik karena pisau bedahnya berbeda: Mencuatlah istilah baru CariCarisme:
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pribumi” adalah sebuah kata benda bermakna “penghuni asli ; yang berasal dari tempat yang bersangkutan”. Anonim “pribumi” dalam bahasa Melayu adalah “bumiputera” yang di Indonesia tidak pernah dihebohkan, bahkan sejak 1912 lestari diabadikan sebagai nama AJB Bumiputera.
Di alam akademis, kata “pribumi” yang lazim digunakan oleh para antropolog sebagai identitas para penduduk asli, seperti Maya, Inka, Apache, Comanche di Benua Amerika, Aborijin di Benua Australia, Maori di Selandia Baru, Eskimo-Aleut di Alaska.
Bahkan pada bulan Agustus 2016, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen telah resmi meminta maaf kepada kaum Austronesia sebagai pribumi Taiwan yang teraniaya selama berabad-abad.
Setelah cermat menelaah makna kata “pribumi”, alih-alih tercerahkan saya malah makin gagal paham mengenai kenapa kata “pribumi” yang diucapkan Gubernur Anis sampai sedemikian digaduhkan di persada Nusantara masa kini.
“De facto” sekaligus “de jure” saya adalah seorang warga Indonesia sama halnya dengan Anies Baswedan adalah seorang warga Indonesia.
Namun secara sosiobiologis atau etnis atau ras, kebetulan saya keturunan China, sementara Anies keturunan Arab maka kami berdua secara sosiobiologis tidak tergolong kaum pribumi di Indonesia.
Kebetulan kami berdua saling bersahabat sejak saya sempat mewawancara Anies Baswedan ketika mulai bergabung ke bursa Calon Presiden.
Sejauh saya pribadi mengenal kepribadian dan budi pekerti Anies Baswedan, saya berani mengambil kesimpulan bahwa Anies Baswedan bukan seorang rasis yang tega merendahkan sesama manusia berdasar latar belakang ras, etnis dan suku.
Secara keturunan atau trah, nasionalisme Anies Baswedan juga tidak perlu diragukan lagi sebab putera terbaik Indonesia kelahiran Kuningan ini merupakan cucu pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, Abdurrahman Baswedan.
Sebagai pihak yang mengenal kepribadian dan budi pekerti Anies Baswedan, saya pribadi menyimpulkan bahwa dalam menggunakan istilah “pribumi” sebenarnya Gubernur Anies tidak berniat negatif apalagi destruktif seperti rasisme.
Caricarisme
Kepada mas Anies, saya sampaikan saran agar selama menjabat sebagai Gubernur Jakarta setelah melewati kemelut pilkada paling panas dalam sejarah Pilgub Jakarta sebaiknya menghindari penggunaan kata “pribumi” secara terbuka ke publik Indonesia era reformasi yang pluralis dalam daya kreativitas tafsir luar biasa beraneka ragam seolah tak kenal batas.
Di tengah suasana paranoid beraroma kebencian yang sedang merundung panggung politik Indonesia masa kini, apa boleh buat sesuatu yang bagi diri kita bukan merupakan masalah memang bisa ditafsirkan oleh orang lain sebagai masalah.
Akibat manusia tidak ada yang sempurna maka apabila dicari apalagi dicari-cari pasti akan ditemukan ketidak-sempurnaan.
Kalau perlu bahkan sengaja kreatif diciptakan kesalahan yang sebenarnya bukan kesalahan demi kepuasan para penganut aliran caricarisme yang memang kegemarannya adalah mencari-cari kesalahan orang lain.
Jika mengutip banyak lainnya atas pidato Anies banya banyak sekali jadi saya tutup tulisanya ini dengan harapan bahwa PRIBUMI MEMBUMI wajarlah, toh jika ada yang memasalahkan Anies apa pribumi atau bukan suruh buka sejarah lagi saja, terutama bukan atau baca video Sukarno 1948 di Semarang. Begitulah kira-kira. Dan saya menlihat sependapat bahwa ini mungkin juga karena makin dekat ke 2019, jadi ada yang panik, karena saat ini Islam sudah dan kini Pribumi sudah makkin membumi. Hmm silakan tafsir sendiri. |RHENOZ