PRIBUMINEWS.CO.ID – Ekonom muda progresif Salamuddin Daeng menegaskan, pemerintahan Joko Widodo mencanangkan Nawa Cita, pro-rakyat dan pro-job serta pro-poor dan pro-infrastruktur. Namun dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati malah mempraktikkan Neoliberalisme dengan jenis RUU PNPB (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang menggerus ekonomi rakyat, melemahkan daya beli rakyat dan merusak Nawa Cita serta mendistorsi Trisakti Jokowi.
”Menkeu Sri Mulyani harusnya malu dengan kebijakannya yang mendorong revisi UU tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” kata Daeng seusai diskusi .publik bertajuk ‘RUU PNPB Lolos, Rakyat Tambah Beban’ di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (1/11).
Peneliti dan ekonom muda progresif dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan secara filosofis, masyarakat membayar pajak agar negara melayani dengan sebaik-baiknya dalam segala urusan. Bukan menambah beban masyarakat dengan adanya PNBP.
“Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), itu skandal. Jadi menurut saya dari sisi latar belakang kenapa undang-undang ini dibuat, pemerintah mestinya malu ya,” ungkapnya.
Kebijakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani untuk merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP), diperkirakan memberi dampak buruk bukan hanya kepada sektor ekonomi dan tekanan daya beli masyarakat, tapi juga berdampak buruk kepada spek sosial dan moral.
Pasalnya pada rancangan UU ini pemerintah melakukan pungutan sektor pendidikan dan keagamaan yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar bagi warga negara.
Dalam Bap penjelasan pasal 4 ayat 3 rancangan revisi UU tersebut diuraikan bahwa yang dimaksud administrasi dan kewarganegaraan meliputi pungutan pelayanan pencatatan nikah, cerai, dan rujuk
Kemudian pada aspek pendidikan juga dipungut pendaftaran ujian penyaringan masuk perguruan tinggi, pelatihan dan pengembangan teknologi, pelatihan ketenagakerjaan, serta pelatihan kepemimpinan.
“Kitakan sudah bayar pajak, harusnya tidak dikenakan beban lagi karena sudah kewajiban pemerintah memberi layanan. Lalu kemana uang pajak yang kita bayar kalau layanan publik masih dikenakan pungutan? Jadi pajak kita itu lari ke pembayaran pokok dan bunga utang pemerintah yang begitu besar,” kata Ekonom Indonesia, Rizal Ramli di Jakarta, Rabu (1/11).
Salamuddin bilang harusnya bukan begitu cara pemerintah mengoptimalkan penerimaan pajak, melainkan dengan memaksimalkan penerimaan pajak di sektor sumber daya alam. Terlebih sampai saat ini, Indonesia masih sebagai eksportir batu bara, nikel, dan gas alam terbesar di dunia.
“(Juga) coba optimalkan negosiasi dengan Freeport. Empat poin negosiasi. Divestasi, pajak, smelterisasi, optimalkan royalti IUPK. Itu aja negosiasi dengan maksimal. Saya kira dapat, paling tidak tiga atau empat kali dari penerimaan yang ada sekarang,” ujar Salamuddin.
Lebih lanjut Salamuddin sepakat jika revisi UU PNBP mengarah kepada penerimaan negara di sektor sumber daya alam dibanding harus membebani rakyat.
Salamuddin menegaskan jika UU PNBP dibuat untuk membebani rakyat karena ketidakberhasilan kebijakan sektor pajak, maka sebaiknya Sri Mulyani bersikap jujur.
“Menteri Keuangan kalau tidak mau mundur ya mengakulah ke depan publik bahwa saya ini kurang mampu ternyata untuk merencanakan memanage dan mencapai apa yang dimau oleh Pak Jokowi terkait dengan target penerimaan negara. Jangan sampai orang mau ujian, pas orang mau bayar ujian kena PNBP. Gila benar ini,” ketusnya. |prb/konfr