OLEH Tony Rosyid
Direktur Graha Insan Cendikia
Kerja…kerja…kerja. Itulah “tagline” Jokowi yang paling populer. Soal membuat brand, ia jagonya. Soal ini, sulit ada yang bisa menandingi Jokowi.
Jokowi populer sejak jadi walikota Solo. Namanya melejid melalui mobil esemka yang sukses diperkenalkan ke publik. Kenyataan bahwa mobil tersebut tidak jadi diproduksi, itu soal lain. Mobil Esemka telah berhasil menjadi kendaraan yang mengantarkan Jokowi ke Jakarta.
Tidak hanya esemka, cara Jokowi menggusur pasar tradisional dengan kemampuan komunikasi ala solo yang “njawani” nyaris tanpa resistensi juga telah ikut melambungkan namanya. Peran media yang berhasil mengemas Jokowi sebagai “sosok ndeso” dengan packaging kesederhanaan dan keluguan benar-benar sangat efektif.
Begitu juga perseteruannya dengan Gubernur Jateng Bibit Waluyo saat itu berhasil memposisikan Jokowi sebagai representasi “wong cilik” melawan kekuasaan. Dan anglenya manis ketika Jokowi setelah menjadi Gubernur DKI datang kepada Bibit Waluyo dan mencium tangannya.
Soal branding, para politisi mesti belajar sama Jokowi. Ia adalah diantara sedikit orang yang “teliti dan detil” dalam kemampuannya memperhatikan hal-hal kecil yang membuat publik tertarik. Keahlian ini yang membuat Jokowi menjadi “spoke person” sejak masih menjadi walikota Solo.
“Blusukan” adalah kosa kata baru yang berhasil dipopulerkan oleh Jokowi dalam dunia politik. Meskipun semua politisi melakukan blusukan sebagai kebutuhan komunikasi dengan konstituen, tapi pilihan diksi ini hanya Jokowi yang punya. Dengan baju panjang yang lengannya digulung, Jokowi sukses mematenkan istilah “blusukan” di benak publik. Istilah ini dipilih untuk menguatkan kesan bahwa mantan walikota solo ini tipe pekerja dan dekat dengan “wong cilik”. Jika Barrac Obama pernah sukses dengan merek “change we need”, maka Jokowi punya segudang merek yang setiap saat bisa dipasarkan.
Bagi-bagi sepeda, main panco dengan sang putra, kereta kuda yang disiapkan untuk para tamu di acara resepsi pernikahan putra pertamanya adalah bagian dari keahlian branding Jokowi.
Namun, branding sebagai pemimpin yang sederhana, “ndeso” dan dekat dengan “wong cilik” mulai dipertanyakan oleh publik ketika Jokowi menggelar pesta pernikanhan yang meriah untuk putrinya Kahiyang Ayu hari rabu, 8 Nopember 2017 di Graha Saba Bawang Solo. Kemeriahan pesta ini telah memancing kritik publik, diantaranya dilontarkan oleh komisioner Komnas HAM Natalius Pigai. Menurut Pigai, pesta itu tergolong hedonis di saat daya beli rakyat lagi turun. Apakah ini artinya Jokowi sedang melakukan pergeseren branding?
Membicarakan “political branding” Jokowi seolah tak pernah akan ada habisnya. Karena setiap moment bisa diolah menjadi merek politik. Itulah kelebihan Jokowi dibanding politisi lainnya.
Tidak hanya Jokowi, setiap politisi, terutama calon kepala daerah dan presiden butuh brand yang mudah dillekatkan di hati konstituen. Ridwan Kamil ngebranding dirinya dengan taman kota, Dedi Mulyadi, bupati Purwakarta, mempopulerkan dirinya dengan budaya singkretik, dan Ahok dengan kegarangan.
Politik mutlak butuh pencitraan. Tanpa pencitraan, orang tidak akan mengenalnya. Pencitraan merupakan bagian dari kebutuhan branding bagi setiap orang yang butuh suara publik. Di era dimana partisipasi suara rakyat adalah penentu nasib para politisi, maka hukum yang berlaku adalah “tak kenal, maka tak terpilih”.
Jika anda ingin terjun di dunia politik, integritas dan kapabilitas tidak cukup. Orang perlu kenal siapa anda sehingga orang tertarik kepada anda. Tidak semua orang mampu mengenalkan dirinya kepada publik dengan kesan yang menarik. Disinilah para politisi butuh keahlian orang/team yang menguasai bidang piar ini. Dalam konteks politik, para ahli ini sering disebut dengan istilah “konsultan politik.” Tugas konsultan politik pertama-tama adalah melakukan survey tentang popularitas, kedisukaan dan kemudian elektabilitas tokoh yang akan dibranding. Pensurvey akan membaca dan menganalisis tentang faktor apa saja yang membuat masyarakat suka sehingga mereka menjatuhkan pilihan kepada sosok yang akan dibranding. Inilah dasar yang digunakan para konsultan politik untuk “mendandani” sang sosok yang sedang dijagokan.
Untuk menjadi konsultan politik tidak gampang. Keahlian ini butuh kemampuan akademik, terutama penguasaan metodologi kuantitatif dan pengalaman yang terukur. Karena itu, keahlian ini dibeli dengan harga yang fantastis. Kabarnya, konsultan politik bisa dibayar 50 milyar sekali musim untuk satu kandidat. Soal layak atau tidak calon yang dijagokan itu bukan prioritas. Yang terpenting adalah kecocokan harga. Harga deal, kesepakatan dibuat. Prinsip dasarnya adalah “profit motif” yaitu orientasi keuntungan finansial.
Mereka menyebut dirinya sebagai kelompok profesional yang harus melayani semua kliennya. Malaikat dilayani, setan dan iblispun mendapat perlakuan yang sama. Masa depan bangsa bukan urusan mereka. Tanggung jawab mereka sudah ditetapkan di pasal dan ayat yang ada di perjanjian, bukan di kitab suci atau di hati nurani.
Tugas utama konsultan adalah membuat “si jagoannya” punya citra menarik di mata publik, sehingga publik suka dan akhirnya menjatuhkan pilihannya. Prosesi ini sering orang sebut dengan istilah “pencitraan.”
Pencitraan tidak selalu berarti negatif. Pencitraan adalah kebutuhan politik yang tidak bisa dihindari. Hanya saja, sebagai bangsa yang bernurani pancasila, pencitraan mesti dihindarkan dari praktek-praktek manipulatif dan kebohongan. Jika pencitraan itu dijadikan sebagai proses untuk memperkenalkan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan maka itu namanya penipuan. Faktanya antara pencitraan dengan penipuan itu memang beda-beda tipis.
Banyak orang bilang bahwa rakyat kita sudah cerdas, tidak mungkin bisa dibohongi. Ini ungkapan yang berlebihan. Buktinya, rakyat sering gagal memilih pemimpin yang baik. Baik artinya punya kapasitas dan integritas. Kapasitas diukur dari perbaikan (adanya perubahan terukur ke arah yang lebih baik) yang sudah dibuat oleh seorang pemimpin buat rakyatnya. Dan integritas artinya komitmen hukum, moral dan loyalitas terhadap kebenaran selama memimpin. Masih banyaknya pemimpin daerah yang berurusan dengan penegak hukum, terutama KPK, adalah bukti kegagalan rakyat memilih pemimpinnya. Fakta ini membuktikan bahwa rakyat masih mudah dijadikan korban pencitraan.
Pencitraan bisa dijauhkan, dan mestinya demikian, dari praktek kebohongan publik melalui dua syarat: pertama festival ide dan gagasan yang tertuang dalam program mesti rasional dan realistis. Ada jaminan bahwa program-program yang ditawarkan itu tidak saja menarik, tapi akan mampu dijalankan untuk memberi perubahan dan menjadi solusi bagi problem yang selama ini dihadapi oleh rakyat.
Kedua, kepastian track record calon pemimpin, yang dilihat dari latar belakang/jejak integritas dan kapabiltasnya. Kualitas pendidikan dan Jejak pengalaman menjadi hal penting yang bisa dijadikan alat ukur untuk menilai seorang calon pemimpin itu mampu tidak merealisasikan program-program yang ditawarkan. Demikian pula jejak hukum dan sosialnya harus menjadi perhatian serius, karena ini menyangkut nasib masa depan banyak orang yang akan dipimpinnya.
Dua persyaratan di atas mesti menjadi ukuran rakyat dalam menilia pemimpin agar pencitraan tidak lagi menjadi festival kebohongan publik yang akhirnya akan membuat bangsa ini semakin terpuruk.
THE END
7/11/2017