OLEH AENDRA MEDITA*)
Manusia pada dasarnya adalah binatang politik.
– Aristoteles
Awalnya saya melihat peristiwa politik ini sebagai sebuah gambaran dalam majunya demokrasi yang konteks kekiniannya adalah untuk negara menuju tatanan demokrasi yang hakiki. Nilai demokrasi dalam ruang besar menjadikan kekuatan tata negara di sebuah sistem negara menjadi berwibawa dan menunjukan rasa hak dan kewajibannya terukur dari parameternya. Lantas bagaimana antara media dan politik?
Jika bicara bubungan Media dan Politik maka ini jelas memiliki peranan penting. Media menentukan poilitik dan sebaliknya. Dalam perkembangan politik, media itu sebenarnya menjadi microphone besar dalam penyampaiannya.
Konteks kekinian pers atau media tanpa politik dalam tatanan bangsa Indonesia saat ini rasanya mustahil dan sangat tidak mungkin tidak punya peranan utama. Media sangat kuat perannya. Media juga punya kekuatan yang besar dalam politik Indonesia yang arahnya kemana dan tujuannya.
Ini sekadar gambaran, saat media menjadi corong atau microphone tadi, maka politik media menjadi bias. Ada yang diuntungkan? Jelas, namun konteksnya sangat beragam.
Saya tidak ingin membedah siap yang untung dan rugi namun bagiamana kata-kata diatas yang saya kutip: Manusia pada dasarnya adalah binatang politik dari Aristoteles yang mengunakan binatang politik bisa ditafsir sangat luas. Tafsir saya manusia sendiri adalah politik dan tak jauh beda bahwa bisa jadi menjadi binatang ketika manuisia berpolitik, karena politik ibarat buasnya binatang tak pandang bulu teman atau lawan yang ada hanya kepentingan. Binatang hanya punya kepentingan untuk kepuasan diri sendiri. Jadi jika tafsir begini maka yang lain boleh dan bisa jadi beda tafsir dengan saya.
Apa konteks dengan Media?
Jelas media adalah ruang dan politik ada dalam ruang itu. Media sebuah suara besar penyampai politik. Penyampai politik dalam arti luas adalah kekuatan yang bisa jadi mencengkram atau bahkan mengkubur kekuatan politik itu sendiri atau bahkan mencuatkan kekuatan kepentingan. Media-lah yang miliki peranan luas dan sakti dalam hal ini di tanah air saat ini.
Tapi apakah benar media dan politik sinergi saat ini? Jawabanya banyak juga. Saat ini media mainstream sangat nyata adanya. Dan kemana arahnya. Lalu media mana yang beda atau harapan independensi yang terjaga? Masih adakah media pengontrol (media watch)?
Media watch sebagai lembaga mungkin masih ada labelnya tapi kuatnya arus media social sehingga jalannya media pengontrol kelihtan keteteran. Lembaga media watch seolah tak bergeming. Atau mungkin juga bisa jadi saya salah melihat.
Lantas saya ingin membandingkan bahwa bisa jadi saat ini media itu adalah binatang politik yang kata Aristoteles itu. Media berpolitik dan sedang memainkan arus yang sebenarnya menyalahi hakekat media yang harusnya independen, kritis dan bahkan jika perlu melakukan masukan yang berimbang, cerdas dan berwibawa.
Kenapa saya mengatakan ada arus permainan media di politik karena media saat ini seragam, dalam pemberitaan, kompak dan beda sedikit mendapat bullying sehingga sebuah ironi muncul politik jadi dagelan yang di konsumsi sebagai sebuah peristiwa lucu. Ini menarik karena politik selama ini terlalu serius. Dan humor sudah tidak lagi lucu.
Karena yang lucu adalah politik sesuailah dengan kartun karya Jaya Suprana yang saya ambil sebagai ilustrasinya, dimana kartun yang dibuat tahun 1980an milik juragan Jamu itu sangat relevan di zaman now bahwa di dalam media yang ada ke redaksi an Desk Politik lebih suka tertawa dibanding Desk Humor yang mengerutkan kening.
Nah apakah ini sebuah peristwa Media politik yang sudah pada tingkat kedunguan politik atau binatang politik itu masuk dalam tatanan media di Zaman Now juga?
*) AENDRA MEDITA, KERJA PADA PUSAT KAJIAN KOMUNIKASI POLITIK INDONESIA (PKKPI)