OLEH Faizal Assegaf, Ketua Progres 98 *)
Sejumlah petinggi partai Gerindra semakin terlihat tidak kompak mengklarifikasi dugaan jual beli rekomendasi yang terjadi di Pilkada Jawa Timur. Hanya mengandalkan retorika akal-akalan demi menutupi ihwal bobroknya politik uang.
Mencuatnya dugaan pemerasan dalam proses rekomendasi di Jatim bukan kasus tunggal. Tapi skandal politik kotor tersebut jika ditelusuri lebih serius, hampir terjadi di sejumlah daerah lainnya. Namun pihak yang dikorban sejauh ini tidak berdaya untuk bersuara jujur ke ruang publik.
Tapi kini, La Nyalla Makaliti (LNM) tampil mewakili keresahan dan menjadi simbol perlawanan yang berpotensi menyatukan semua elemen dalam membongkar kejahatan politik uang. Kasus dugaan transaksional rekomendasi Gerindra di Jatim memberi pintu masuk bagi proses penyelidikan lembaga penegak hukum.
Apalagi Gerindra telah membenarkan informsi bahwa uang senilai Rp 40 miliar memang diminta kepada LNM untuk kebutuhan operasional, dana saksi. Di waktu yang sama, Sandiaga Uno yang diusung Gerindra dan PKS di Pilgub DKI mengakui pihaknya mengeluarkan uang dalam jumlah sangat besar Rp 100 miliar. Kenapa baru sekarang hal itu diungkap?
Di Jawa Tengah, beredar kabar Bahwa Sudirman Said mendapatkan rekomendasi dari Gerindra, PKB dan PAN karena diduga menyetor Rp 30 miliar. Apakah hal itu terkait juga dengan dana saksi?
Menariknya, Walikota Bandung, Ridwan Kamil yang diusung oleh Gerindra pada pilkada lima tahun lalu menegaskan bahwa dirinya tidak pernah dimintai setoran mahar politik alias dana saksi. Kalau benar demikian, mengapa LNM, Sandiaga Uno dan Sudirman Said diikat oleh kewajiban mahar politik yang dikemas dengan dalih dana saksi?
Ihwal mahar politik tersebut, pasca Pilgub DKI, Prabowo Subianto berpidato menegaskan bahwa dirinya dalam memberi rekomendasi atau merekrut calon kepala daerah yang diutamakan adalah faktor besaran uang dimiliki kandidat. Video Prabowo itu beredar luas di yuotube, WA dan fesbuk.
Kini, arahan Prabowo seputar kekuatan politik uang itu menjadi masalah serius yang menyebabkan prahara politik yang serius di Pilkada Jawa Timur. Beredar rekaman, oknum elite Gerindra yang disebut-sebut orang dekat Prabowo diduga mematok harga rekomendasi senilai Rp 170 miliar kepada LNM.
Dari penelusuran tim investigasi Progres 98, menemukan petunjuk soal bukti-bukti setoran uang muka senilai Rp 5,9 miliar yang telah disetor oleh bendahara LNM. Uang itu diminta oleh oknum terkait dengan dalih diserahkan kepada Ketum Gerindra Prabowo Subianto.
Lucunya, setoran itu tidak disebut sebagai dana saksi. Dari situ publik sudah dapat menyimpulkan, alasan elite Gerindra meminta uang dana saksi hanyalah sebuah kedok yang bisa diduga sebagai modus pemerasan.
Kalau benar Gerindra menerapkan kewajiban bagi LNM untuk menanggung dana saksi, mengapa hal itu tidak diumumkan secara terbuka dan dilakukan secara resmi melalui keputusan partai? Namun yang terjadi, perundingan dana saksi berlangsung secara tertutup di Hambalang dan hanya disaksikan oleh lingkaran terdekat Prabowo.
Kasus mahar politik yang menerpa Gerindra dan diduga kuat atas arahan Prabowo sebagai manana isi Pidatonya yang telah beredar luas, perlu dibuka seterang-terangnya di ruang publik. Bila fakta dan bukti-bukti yang tersedia sudah rampung, maka pilihan untuk masuk ke jalur hukum harus dilakukan.
Perlawanan kepada praktek politik tentu tidak hanya pada Gerindra, PAN dan PKS. Tapi partai manapun yang diduga melakukan hal terkutuk tersebut harus dibongkar. Sehingga demokrasi tidak dicemari oleh pemufakatan jahat elite partai berkedok dana saksi!
Faizal Assegaf, Ketua Progres 98