Menunggu “Laga Final” Jokowi vs Anies
OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Blunder! Kata ini cukup tepat untuk menggambarkan kondisi Jokowi. Mirip Ahok, kekalahan Ahok karena langkah-langkahnya sendiri yang selalu blunder. Jokowi.punya potensi sama dengan Ahok. Bukan senata-mata karena kuatnya kompetitor. Tapi, tim Jokowi hobi melempar umpan kepada para calon rival. Bahasa sederhananya: “senang mengundang musuh.”
Khususnya dengan Anies. Gubernur DKI sedang konsentrasi kerja untuk Jakarta. Fokus menyelesaikan 23 janji politiknya. Tak pernah bicara tentang pilpres 2019. Tapi, selalu digoda-goda. Ditarik-tarik ke gelanggang politik. Akhirnya, publik pun mendorong Anies turun ke lapangan. Menerima tantangan tim Jokowi untuk maju di pilpres 2019. Dan, elektabilitas Anies pun merangkak naik. Meski Anies belum pernah mendeklarasikan diri.
Anies vs Jokowi memang punya jejak sejarahnya sendiri. Ada sejumlah tragedi politik dalam beberapa episode. Dan belum berakhir hingga hari ini. Kalau akhir-akhir ini Jokowi berupaya mendekati Anies, tentu akan dibaca publik sebagai upaya untuk menahan benteng elektabilitas Jokowi agar tidak terus turun. Sudah mendekati kartu merah.
Sejumlah tragedi Anies vs Jokowi diantaranya adalah pemberhentian Anies jadi menteri. Sedang asyik menjalankan tugasnya sebagai mendikbud, Anies dicopot. Kenapa dicopot? Kabar yang beredar pertama, Anies kena imbas peralihan kebijakan dari “kabinet kerja” menjadi “kabinet koalisi.” Anies tak punya partai. Tak punya posisi tawar. Lemah dalam negosiasi. Kebijakan ini diambil untuk memperkuat posisi Jokowi di dewan. Ternyata sukses, partai politik dan dewan dikuasai.
Kedua, rumor di pegawai kemendikbud, heroisme Anies mulai mendapatkan respon dan magnet publik. Ini terasa ketika Anies melakukan kunjungan ke daerah-daerah. Anies disambut dan dielu-elukan layaknya kepala negara. Padahal, “de jure” presidennya adalah Jokowi. Anies dicopot kabarnya karena takut ada matahari kembar. Boleh jadi.
Setelah dicopot, nasib keberuntungan menghampiri Anies. Anies didaulat untuk nyagub di DKI dan jadi. Upaya yang “transparan” Jokowi menghadang Anies dengan memberi dukungan masif kepada Ahok justru menjadi blunder kedua. Karena keberpihakan ini, Jokowi kehilangan banyak simpati dan empati. Justru sebaliknya, muncul solidaritas anti Jokowi yang semakin besar dan masif. 65% rakyat tidak/belum mendukung Jokowi melanjutkan jabatannya. Survey Median, elektabilitas Jokowi tersisa 35%. Survey Indobarometer, elektabilitas Jokowi malah tinggal 32%. Padahal, secara masif Jokowi telah melakukan branding. Hasil survey ini menyimpulkan Jokowi makin sullit posisinya.
Tidak sampai disitu, tragedi politik Anies vs Jokowi berlanjut di kasus reklamasi. Setelah dilantik jadi gubernur, Anies menghentikan proyek reklamasi. Proyek raksasa milik Taipan. Melalui Luhut Binsar Panjaitan, pemerintah pusat bersikeras menghadang. Tapi jebol juga pertahanannya. Sikap Luhut semakin menegaskan perseteruan antara Jokowi vs Anies.
Kesan penguasa lebih berpihak kepada taipan dan konglomerat semakin jadi perbincangan rakyat. Apalagi kemudian banyak fakta penangkapan pekerja Cina ilegal di berbagai tempat telah diramaikan media. Kekayaan para taipan papan atas yang “wow banget” naiknya ditengah rakyat Indonesia yang semakin sulit ekonominya membuat pemerintahan semakin terpojok. Disisi lain, pengangguran bertambah. Harga barang-barang naik. Subsidi satu persatu dikurangi. Ini semua tak menguntungkan bagi upaya Jokowi menaikkan elektabilitas.
Perseteruan terbaru Anies-Jokowi adalah penghadangan Anies oleh Paspampres di acara penerimaan piala Presiden di lapangan GBK. Nama Anies dicoret sebagai tokoh yang naik podium. Rakyat marah. Betul-betul marah. Instalgram dan facebook Jokowi kebanjiran komentar. Lebih dari setengah juta. Isinya? Menyindir Jokowi dan mendukung Anies.
Belum lupa daya ingat rakyat terhadap tragedi GBK, publik lagi-lagi digegerkan oleh isu rapat PSI dan Jokowi di istana. Temanya tentang dukungan pilpres. Ramai pertanyaan publik: kenapa istana dipakai untuk menfasilitasi timses Jokowi? Kenapa fasilitas negara digunakan untuk urusan pribadi?
Yang jelas, sikap istana dan tim yang berada di lingkaran istana tergolong paling rajin menciptakan gol bunuh diri. Terutama ketika berhadapan dengan Anies. Sudah tak terhitung jumlahnya. Dan berpotensi terus terjadi lagi dan lagi.
Gol bunuh diri terjadi akibat kesalahan strategi. Pertama, pilihan “pola menyerang” tidak sepenuhnya efektif. Tidak cocok untuk psikologi masyarakat Indonesia. Kedua, lemahnya kontrol terhadap banyak kepentingan. Banyak pemain di sekitar istana yang tak terkontrol. Terjadi friksi dan persaingan yang banyak merugikan Jokowi.
Dua hal di atas menjadi bagian dari faktor yang menghambat istana mengumpulkan poin. Ikhtiar menaikkan elektabilitas makin sulit. Di sisi lain, Anies yang semula tertinggal suaranya dari Jokowi terus menambah poin. Kinerja Anies di panggung DKI menjadi sarana alamiah yang konsisten mendongkrak suara. Apalagi para pendukung “die hard” Anies di lapisan bawah yang terus bersemangat menjadi media promosi.
Belum ada survey terbaru pasca tragedi GBK dan rapat PSI di istana. Publik sedang menunggu elektabilitas kedua matahari kembar ini. Apakah elektabilitas Jokowi mampu bertahan? Sejauhmana trend elektabilitas Anies terus mengejar? Semua partai, terutama PKS, Gerindra dan PAN sedang menunggu dan mengikuti trend hasil survey. Prabowo, Sang Begawan dan Bapak Bangsa sedang serius dan cermat mengkalkulasi. Tokoh spesialis “King Maker” ini biasanya memiliki hitungan dan politik yang jitu. Sering sukses dan tak diragukan kemampuannya sebagai arsitektur politik.
Jika tak ada masalah di formalitas tiket, Anies vs Jokowi akan bertemu di laga final 2019. Laga ini mirip pertarungan SBY vs Megawati di 2004. Siapa akan menjadi pemenangnya? Anies atau Jokowi? Kita tunggu.
Bursa, Turkey, 3/3/2018