OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Saat berkunjung di salah satu wihara, seorang pemuka agama berbisik: baru Pak Anies dan Pak Sandi yang berkunjung kemari. Sebelumnya, tak ada Gubernur dan Wagub yang kemari. Spontan Anies-Sandi terhenyak. Sedikit kaget. Heran? Wajar, karena itu salah satu wihara terbesar di Jakarta. Tapi, nyaris tak ada kaki Gubernur dan Wagub sebelumnya menginjak lantai di wihara itu.
Indonesia adalah negaranya umat beragama. Dan Jakarta adalah ibu kotanya masyarakat beragama. Sudah semestinya agama diberikan perhatian memadai. Agama apapun. Sebab, Indonesia dihuni oleh rakyat multi agama.
Indonesia bukan negara agama. Tapi, negara dan agama tak bisa dipisahkan di Indonesia. Pernah ada orang paling terkenal di negeri ini bilang: agama harus dipisahkan dari negara. Sekuler dong…? Itu dulu. Sekarang, pernyataan itu sudah diubah. Sudah insaf. Mungkin karena jadual pendaftaran pilpres sudah dekat. Banyak orang mendadak religius menjelang pileg, pilkada dan pilpres. Siapa orang itu? Ah, pakai nanya lagi.
Anies-Sandi pemimpin untuk seluruh masyarakat Jakarta. Dengan beragam etnis dan warna agama. Sudah semestinya, semua terlayani dengan baik. Tanpa diskriminasi.
Mendesign Jakarta lebih religius sangat bergantung pemimpinnya. Setidaknya ada tiga parameter. Pertama, komitmen personal pemimpin terhadap agamanya. Bagi orang Islam, shalat dan puasa kagak, gmn dibilang religius? Bagi orang Kristen, ke gereja jarang-jarang, gimana diklaim religius?
Kedua, komitmen sosial keagamaannya baik. Diantaranya memberikan perhatian terhadap lembaga/organisasi dan kegiatan keberagamaan. Membuka area publik sebagai sarana umat mengekspresikan keimanannya. Itu adalah sejumlah indikator yang bisa diukur.
Ketiga, mendorong kebagamaaan (sikap beragama) sebagai bagian penting dalam membangun komitmen berbangsa dan bernegara. Mengedepankan nilai egaliter, persatuan, inklusifitas, toleransi, kebersamaan dan semangat nasionalisme sebagai moralitas beragama.
Tiga indikatir tersebut akan jadi tolak ukur religiusitas seorang pemimpin. Termasuk untuk Gubernur dan Wakil Gubernur DKI.
Ketika Anies-Sandi membuka Monas untuk berbagai kegiatan sosial dan keagamaan, ada tanda-tanda perubahan dari mindset pemimpin sebelumnya Bagi Anies-Sandi, Monas milik warga Jakarta, karenanya terbuka untuk semua masyarakat Jakarta. Bisa untuk perayaan Paskah, Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj. Bahkan bisa dijadikan tempat doa bersama untuk kemerdekaan Palestina. Yang penting tertib, jaga keamanan dan tetap bersih. Begitulah kebijakan Gubernur dan Wakil Gubernur yang sudah ditetapkan dalam pergubnya.
Menjelang bulan suci Ramadhan, Gubernur memimpin langsung rapat persiapan. Salah satu pesan yang ditekankan adalah menyambut Ramadhan dengan merealisasikan nilai-nilai sosial kemanusiaan. Pemprov mesti hadir di tengah masyarakat yang membutuhkan. Wagub lalu mendesign program buka puasa bersama di tiap RW. Menjadikan Monas layaknya Masjid Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Memberikan pelayanan buka puasa gratis di Monas. Anies-Sandi seolah ingin menghadirkan wajah baru DKI dalam suasana Ramadhan. Suatu program yang layak menjadi inspirasi para pemimpin lainnya.
Dan hari pertama Ramadhan, Anies-Sandi melepas saham bir milik DKI. Dahsyat. Inilah wajah baru Ramadhan di DKI. No Bir, No Alexis, Buka Puasa Yes, Takbiran Yes.
Kita membayangkan, jika presiden yang membuat program Buka Puasa di setiap masjid dan alun-alun di Indonesia, menutup semua pabrik dan toko minuman keras di seluruh Indonesia, maka Ramadhan akan berdampak besar miritas bangsa dan negara. Apakah harus menunggu Anies Baswedan jadi presiden?
Pemprov kabarnya juga sedang mendesign program THR untuk seluruh masyarakat faqir miskin di DKI. Program yang sama juga sedang direncanakan untuk umat non muslim. Inilah komitmen Anies-Sandi untuk bersikap adil bagi warganya. Memperlakukan rakyat secara sama, tanpa diskriminasi etnis dan agama. Ini adalah prinsip dan moralitas kepemimpinan.
Tidak hanya Gubernur, Wagub DKI juga mendorong setiap umat beragama berkomitmen terhadap agamanya. Komitmen kepada agama akan membantu masyarakat dalam membangun moralitas sosialnya. Seolah Wagub ingin mengatakan, orang yang baik beragamanya, akan baik pula dalam hubungan sosial dan kebangsaannya. Makin jelas kontribusi kepada bangsa dan negaranya, itu salah satu indikator agamanya baik. Yang tidak baik adalah mengaku beragama, tapi tak berkontribusi kepada bangsa dan negara. Malah jadi beban dan ancaman bagi negara. Termasuk teroris dan koruptor? Nah, itu sudah tahu.
Wajah sosial-keagamaan nampaknya menjadi perhatian serius orang nomor satu dan dua DKI. Setelah agama seolah pernah absen beberapa waktu lalu dari ranah sosial dan publik.
Nyaris di bawah kepemimpinan DKI sebelumnya, tak ada tempat publik/terbuka yang diijinkan untuk ekspresi keberagamaan. Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, Paskah, bahkan penyembelihan hewan qurban tak boleh mengambil tempat publik. Alasan utamanya: kebersihan.
Kalau alasannya adalah kebersihan, maka yang dicegah mestinya bukan kegiatannya, tapi faktor yang menyebabkan berseraknya sampah.
Belajar dari 212 dan doa bersama untuk Al-Quds Palestina, No Sampah, No Injak Rumput, No Rusak Taman, No Desak-Desakan, No Kematian. Monas tetap bersih dan rapi. Ini bisa jadi contoh dan referensi yang bijak. Tanpa lagi melihat ini dari kaca mata agama dan politik. Tapi, sebuah keteladanan yang universal.
Tiga kriteria bagi wajah religius tampak berupaya diikhtiarkan oleh Anies-Sandi. Usaha yang layak disambut positif dan mendapat partisipasi warga Jakarta. Sebagai langkah awal, cukup bagus. Selanjutnya, mesti ada terobosan-terobosan keumatan yang lebih smart dan strategis. Pada akhirnya, program sosial-keagamaan yang didesign Anies-Sandi akan diukur sejauh mana kontribusinya terhadap komitmen kebangsaan dan kenegaraan warga DKI.
Jakarta, Awal Ramdhan, 17/5/2018