OLEH Haz Pohan
SUDAH pahamlah kita apa yang dimaksud dengan ‘debat kusir’, suatu proses tukar-fikiran ngawur tanpa rujukan jelas, dan tanpa aturan. Ini rame terjadi di masyarakat kita, antara pendukung rejim dengan pendukung oposisi. Yang parah, orang-orang mengaku dirinya intelektual ikut terlibat sehingga nggak karu-karuan.
Kemarin aku menulis tentang potensi impeachment sekiranya Yahya Staquf, anggota Wantimpres itu, jadi memenuhi undangan pemerintah Israel baik sebagai pembicara atau sekadar pertemuan resmi. Banyak teman-teman yang ‘berang’ seakan-akan aku menjadi oposisi, berada di kelompok anti-pemerintah, dan menganjurkan agar pemerintah ini dijatuhkan melalui proses impeachment, atau pemakzulan. Beberapa yang berang itu bahkan dari kalangan diplomat karir sampai pada tingkat duta besar. Ada juga teman-teman sesama alumni USU Medan yang merasa ‘tersinggung’ dengan tulisanku itu.
Mari dengarkan penjelasanku.
Aku tidak akan menulis sesuatu di luar bidang yang kufahami dengan baik. Politik atau hubungan internasional, diplomasi termasuk hukum diplomatik dan beberapa bidang di hukum internasional adalah domain-ku. Aku banyak menghabiskan waktu dan energi di bidang-bidang ini. Aku juga ketika masih aktif menjadi wakil pemerintah dan negara sebagai negosiator dalam urusan dengan negara lain. Aku memiliki referensi kuat dan bertanggungjawab atas pendapat yang kukemukakan.
Orang-orang yang bukan berlatar-belakang ilmu dan pengalaman di bidang ini tentu bukan ‘lawan-tanding’ yang kuharapkan untuk proses bertukar-fikiran. Aku takkan menghabiskan waktuku untuk debat kusir menang-menangan. Kesia-siaan dan menambah ketololan belaka.
Jadi, jika dari kalangan diplomat karir menjadi pendukung di salah satu pihak dalam kontestasi politik menjelang pilpres 2019 keberatan terhadap tulisanku kemarin pastilah tak kulayani. Kecuali dia memiliki referensi sama denganku. Debat ala ‘inang-inang di Pasar Sambu’ di Medan pasti tidak akan ku-entertained. Sering-sering waktu habis dan pertemanan menjadi rusak.
Apalagi misalnya, pihak yang keberatan dengn tulisan potensi pemakzulan itu dari pihak luar yang tidak mengerti bagaimana diplomasi dan hubungan internasional itu beroperasi, dan kunilai mereka hanya menggunakan ‘common sense’ tentulah tak kulayani. Rugi menghabiskan waktu menghadapi orang yang lagi kemaruk dengan junjungannya dan susah ‘move on’ karena jagoannya kalah di Pilkada DKI.
Pagi tadi seorang teman menelpon, membicarakan reaksi terhadap artikel saya kemaarin dan mengusulkan supaya kita anak-anak Medan alumni USU untuk berdiskusi dengan menghadapkan ‘pro’ lawan ‘kontra’ dalam isu yang diperdebatkan.
Saya keberatan. Proses tukar-fikiran saya bukan untuk menang-menangan ala ‘inang-inang di Pasar Sambu’. Sulit bagi saya berdebat dengan orang yang tidak memiliki referensi dan pengalaman memadai di bidang yang sama dengan saya.
Tulisan saya kemarin itu adalah konstruksi berfikir yang hipotetis. Saya tidak bicara bahwa Presiden Jokowi akan dimakzulkan, atau saya ingin pemakzulan ini terjadi.
Yang saya katakan –sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman saya—bahwa kunjungan Yahya Staquf yang Wantimpres itu berpotensi untuk pemakzulan. Kenapa?
Pertama, kita telah memiliki UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang jelas menempatkan bahwa kita menganut asas politik luar negeri bebas dan aktif dan anti penjajahan. Ada otoritas yang ditetapkan dalam pasal-pasal UU tersebut untuk menjaga kemurnian polugri bebas dan aktif, yaitu presiden atau menteri luar negeri. Tidak hanya pejabat pemerintah, bahkan warganegara biasa juga bisa dicekal untuk bepergian ke luar negeri jika membahayakan dirinya, keamanan negara, maupun berpotensi mengganggu jalannya diplomasi kita.
Kedua, kita memiliki kebijakan yang konsisten sejak dulu bahwa kita tidak mengakui Israel dan kita mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya. Sikap ini dikenal dunia dan tidak ada tawar-menawar untuk itu.
Kunjungan Yahya Staquf dalam kapasitas sebagai penasehat Presiden R.I. cukup tinggi untuk memenuhi persyaratan adanya ‘pengakuan de facto’ (recognition) terhadap eksistensi negara Israel. Ini bertentangan dengan UU No. 37/1999 dan sikap dan kebijakan kita tidak mengakui Israel di satu pihak dan mendukung perjuangan bangsa Palestina di lain pihak.
Jika sang Wantimpres tetap kekeuh untuk melanjutkan muhibbah-nya, maka ada alasan politis DPR RI yang hanya membutuhkan sekitar 17 suara untuk mengagendakan ‘interpelasi’ mempertanyakan apakah orientasi politik luar kita berobah dan mengapa? Ini, secara hipotetis, dapat berujung pada Pansus DPR dan kemudian pendapat bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap asas politik luar negeri.
Jika Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa Pemerintah telah melanggar secara material UU 37/1999, maka ada alasan bagi MPR untuk melakukan sidang impeachment.
Kembali lagi, ini konstruksi berfikir hipotetis. Belum dan mungkin tidak akan terjadi. “This serves a warning.” Kataku kepada teman.
Kalaupun pelanggaran terjadi terhadap UU, dan DPR ‘bawa slow’ proses pemakzulan tidak akan diinisiasi.
Kalau diangggap serius bagaimana? Kalau dijadikan alasan untuk memulai proceeding pemakzulan bagaimana? Kembali lagi ini hipotetis.
Senior saya, Dr. Nazaruddin Nasution, mantan dubes karir yang kemudian menjadi pengajar diplomasi dan hubungan internasional berkomentar dan mengingatkan:
“Pada tahun 1951, Kabinet Sukiman juga pernah dimakzulkan Parlemen karena Menlu Achmad Subardjo menandatangani Mutual Security Act (MSA) dengan Dubes AS Merle Cochran. Parlemen menilai MSA tidak sesuai dengan polugri Bebas Aktif, dan Perdana Menteri Sukiman bersama menteri di kabinetnya mengundurkan diri. Inilah kabinet dlm perjalanan sejarah RI yg terpaksa meletakkan jabatan, karena isu polugri.”
Act tersebut berisi tentang pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia berdasarkan Mutual Security Act (MSA) atau undang-undang kerja sama keamanan. Kerjasama tersebut dinilai sangat merugikan politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Seakan-akan Indonesia masuk ke dalam Blok Barat. Oleh karena itu, DPR menggugat kebijakan Kabinet Sukiman. Akhirnya Kabinet Sukiman Jatuh.
Dalam UUD 1945 amandemen ke-4, impeachment itu bersifat umum, melanggar UU, perbuatan tercela, pidana dan sebagainya. Tidak semata-mata soal politik belaka. Alasan melanggar UU ekonomi juga bisa digunakan sebagai alasan.
Pemakzulan Presiden dalam sejarah Republik baru dua kali terjadi: Presiden Soekarno di tahun 1966 dan Presiden Abdurrahman Wahid di tahun 2001.
Karena itu, di akhir tulisan saya mengatakan “Jangan Sampai Tiga Kali” seperti lagu Trio Ambisi.
Jakarta, 10 Juni 2018