Oleh Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Penistaan agama terjadi. Pelakunya Ahok. Tapi, perlakuan berbeda. Agak sedikit istinewa. Terjadi protes. Demo berulangkali digelar. Ahok masih terlalu kuat. Puncaknya pada 212 . Monas sesak dengan tujuh juta manusia. Dari berbagai wilayah di Indonesia. Protes dan tuntut keadilan.
Habib Rizieq, jadi inisiator. Bersama Bachtiar Nasir. Berdua jadi komandan Aksi damai Bela Islam.. Ahok pun akhirnya dipenjara. Setelah sebelumnya kalah telak di Pilgub DKI. Orang bilang, sudah jatuh, ketimpa tangga.
Masalah selesai? Ternyata tidak. Bachtiar Nasir diperiksa polisi. Habib Rizieq? 17 kasus menjeratnya. Kasus Chat Fitnah menempati rangking pertama. Paling populer dan heboh. Jagad Indonesia membicarakannya.
Perang opini di publik pun terjadi. Pendukung Ahok seolah dapat umpan. Beredar bahasa dan kata super kasar dan jorok. Medsos sesak umpatan terhadap Rizieq. Video, meme dan tulisan dibuat. Satu arah: menghancurkan kredibilitas Rizieq.
Sementara, mereka yang menyangsikan kebenaran “chat” ini hanya diam. Sesekali beri pandangan. Sekedar klarifikasi. Tapi, tuduhan chat terlalu masif. Emosional dan membabi buta. Menyerang dengan pilihan bahasa yang tidak layak untuk dibaca dan didengar.
Untuk beberapa waktu, “chat” jadi misteri. Antara benar dan tidak. Opininya berkembang di masyarakat. Sedemikian liar. Sebagian publik curiga. Apakah ini sengaja?
Hermansyah, ahli IT, alumnus ITB yang siap jadi saksi ahli untuk Rizieq disikat. Dini hari diikerjain oleh sejumlah orang di tol Jagorawi. Berlumuran darah karena tusukan. Pelakunya tertangkap. Tapi kasusnya? Entah… Tak lagi direkam media. Rakyatpun akhirnya menangis atas negerinya.
Akhirnya, misteri “chat” Rizieq terurai. Pertama, dianggap tak cukup barang bukti. Kalau dipaksakan, kalah di pengadilan. Bikin malu. Satu-satunya jalan, di-SP3-kan. Tepat di hari pertama lebaran. Seolah jadi THR terindah. Habib Rizieq dan keluarga menyambutnya melalui video singkat dari Makkah.
Atau yang kedua, sudah waktunya dihentikan. Skenario selesai. Ibarat sinetron, The End. Opini inilah yang berkembang di masyarakat. Biasa, opini liar. Duga-duga. Sehingga, populer istilah kriminalisasi. Rekayasa dong? Hanya Tuhan, Habib Rizieq dan Polri yang tau. Publik boleh menduga, tapi tak absah untuk membuat tuduhan.
Atau malah yang ketiga, ada deal? Ah, hukum kok pakai deal-dealan. Politik kali? Stop curiga. Lebaran, saatnya saling percaya. Kalau toh ada, biarlah Tuhan yang membuka. Gitu aja kok repot.
Curiga publik tetap tak bisa dibendung. Pertama, bersamaan SP3 Rizieq, Sukmawati pun dapat SP3. Apa alasannya? Tak cukup barang bukti. Sebagian rakyat tak paham. Bertanya-tanya. Wajarlah. Namanya juga rakyat. Kedua, kasus Rizieq akan dibuka kembali jika ada bukti-bukti baru. Sementara kasus Sukmawati?
Dari misteri “chat” Rizieq memberi satu kesimpulan bahwa itu kasus tidak benar. Bahasa kerennya, fitnah. Terlepas apapun tafsirnya, SP3 adalah bukti sah secara hukum bahwa “chat” itu tidak benar. Orang bilang rekayasa. Ada yang bilang kriminalisasi. Terserahlah.
Langkah polri meng-SP3-kan Habib Rizieq sudah tepat. Perlu diapresiasi. Sesuatu yang positif. Polri “on the track”. Diharapkan publik Polri mandiri dan terus mereformasi diri. Setelah sekian lama diasumsikan publik berada di balik kekuasaan. Benarkah? Namanya saja asumsi. Bisa benar, bisa juga salah.
Asumsi negatif publik kepada Polri itu bisa bertahap hilang, jika Polri bisa menyelesaikan dengan adil dan tegas sejumlah kasus yang menimpa kolega Rizieq. Mulai dari kasus Bachtiar Nasir, Khottot, Admin Armas, Alfian Tanjung dan sejumlah aktivis lainnya yang statusnya masih jadi tersangka. Lanjut kasus ke pengadilan, atau jika tak terbukti, di SP3-kan. Tidak ngegantung. Sehingga publik tidak berpikir bahwa itu jadi skenario sandera.
Menjelang pilpres 2019, Polri mesti mampu meyakinkan rakyat bahwa lembaga hukum ini clean dan clear dari politik. SP3 Habib Rizieq jadi pintu masuknya.
Terbitnya SP3 Habib Rizieq untuk kasus “Chat” akan dapat pertama, mengembalikan kredibilitas dan nama baik Habib Rizieq sebagai ulama besar. Kharismanya akan naik dan pengaruh politiknya di 2019 diprediksi akan semakin signifikan. Dan ini akan jadi modal besar untuk men-down grade- kekuasaan istana.
Pasca SP3, apakah Habib Rizieq akan terus jadi oposisi istana? Rizieq adalah Rizieq dengan karakter “kontrol sosial-moralnya”. Bahasa agamanya, “nahi munkar”. Publik tahu, manusia satu ini punya prinsip yang tak bisa ditukar apapun, termasuk SP3. Umat akan terus mendukungnya jika Habib Rizieq tetap berada sebagai oposisi istana. Brand HRS adalah lawan tanding Jokowi. Terutama di pilpres 2019. King Maker berhadapan dengan petugas partai.
Dari SP3 Habib Rizieq, seolah ada harapan baru bagi rakyat kepada Polri. Harapan keadilan. Untuk siapa? Untuk semua rakyat negeri ini. Kaya-miskin dapat perlakuan sama. Pejabat atau rakyat jelata, dapat keadilan. Kawan atau lawan penguasa punya hak hukum yang sama.
SP3 Habib Rizieq diharapkan menjadi “star line” reformasi Polri betul-betul bisa dijalankan. Menjadi gelombang rakyat untuk mengembalikan rasa percaya dan nyamannya kepada polri. Sebagaimana slogannya, polri bersama rakyat. Polri pelayan dan pengayom masyarakat.
Selamat kepada Habib Rizieq. Tetap jalankan peran sebagai oposisi dan kontrol istana. Selamat kepada Polri. Tetap steril dari intervensi kekuasaan. Hidup indah jika berada dalam kebenaran dan keadilan.
Jakarta, 17/6/2018