Belajar Dari Djarot

0
456
Tony Rosyid

Oleh *Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Djarot Saeful Hidayat, mantan Wagub dan gubernur DKI. Jabatan karena limpahan. Tanpa susah payah ikut pilkada. Saat menguji keberuntungan dengan mendampingi Ahok di Pilgub DKI 2017, Djarot tak beruntung. Pasangan Ahok-Djarot kalah dari pasangan Anies-Sandi.

Kasus penistaan agama menimpa Ahok, dan melalui persidangan, akhirnya Ahok diputus bersalah dan masuk penjara. Kursi gubernur kosong, dan Djarot naik menempati posisi kosong itu. Menggantikan Ahok. Lagi-lagi karena keberuntungan. Sayangnya, hanya beberapa bulan.

Sebelum masa bakti habis, Djarot ganti ratusan pejabat eselon di DKI. Saat Anies-Sandi dilantik, tak bisa lakukan strukturisasi birokrasi. Kena aturan. Anies-Sandi terpaksa bekerja dengan anak buah yang dipasang Djarot. Menurut aturan, Anies-Sandi bisa mengganti para pejabat itu setelah enam bulan. Sungguh tak etis.

Saat Anies-Sandi dilantik, Djarot tak hadir. Pergi berlibur bersama keluarganya. “Plesiran”. Sehari sebelumnya ia serahkan posisi plt gubernur kepada sekda. Akhirnya, serah terima jabatan Anies-Sandi itu dilakukan dengan sekda, yang menjabat gubernur dalam waktu semalam.

Sebuah tontonan yang tak layak jadi tuntunan. Tak pantas dijadikan panutan. Terlepas ada tidaknya pihak yang instruksikan Djarot plesiran, sikap dan perilaku Djarot tak menunjukkan seorang pemimpin/leader. Jauh dari sikap seorang negarawan. Rakyat saja tak patut melakukan hal itu, apalagi seorang gubernur.

Kalah di Pilgub DKI, Djarot ekspansi ke Sumatera Utara. Nyagub lagi. Tak puas atas kekalahannya di DKI, sekarang adu keberuntungan politik di Sumatera Utara. Diutus oleh PDIP. Sebagai petugas partai. PPP ikut mengusung. Tapi diprotes keras oleh PPP se-Sumatera Utara. Dari tingkat Ranting, Anak Cabang, Cabang, sampai DPW PPP Sumut tak dukung Djarot

Apa yang dilakukan Djarot memang tak melanggar aturan. Sah-sah saja. Ganti pejabat eselon hanya hitungan minggu menjelang purna jabatan, itu sah. Tak ada undang-undang yang dilanggar. Berlibur saat serah jabatan gubernur, itu juga boleh. Tak ada larangan hukum. Begitu juga nyagub di Sumatera Utara, itu juga tak melanggar undang-undang apapun. Persoalannya bukan sah dan tidak sah, tapi soal kepatutan. Etis tidak? Belum lagi jika nanti kalah. Lebih malu lagi. Kasihan.

Anda meludah di depan orang lain. Boleh, dan tak melanggar hukum. Anda kentut di samping orang lain, tak ada satu pasalpun yang anda langgar. Tapi, hidup tak hanya soal hukum. Ada etika dan norma-norma. Apa yang telah anda lakukan itu tak patut.

Begitu juga dengan apa yang dilakukan Djarot. Pertama, habis kalah, langsung nyagub di tempat lain. Seolah hanya mengumbar ambisi dan mengejar jabatan. Kedua, ganti ratusan pejabat hanya beberapa waktu sebelum masanya habis. Mengganti setelah kalah di pilgub. Publik memahaminya sebagai upaya untuk menyusahkan kerja Anies-Sandi. Ketiga, tak mau hadir saat pelantikan Anies-Sandi, tapi malah berlibur ke tempat wisata. Masyarakat memahami bahwa Djarot seolah tak bisa menerima kekalahan. Begitukah cara seorang negarawan bersikap?

Belum lagi soal prestasi. Apa prestasi Djarot saat jadi bupati Blitar, dan juga saat jadi Wagub DKI? Ini soal kualitas kinerja sebagai Bupati, Wagub dan Gubernur DKI. Jika ada, akan sangat baik untuk mengkompensasi kekecewaan rakyat atas sikap Djarot sewaktu di DKI. Ini bisa juga jadi modal “branding” nyagub di Sumut.

Tentu rakyat Sumatera Utara memiliki catatan tersendiri soal integritas dan kapasitas Djarot. Adalah hak mereka untuk memilih atau tidak memilih Djarot. Apalagi ia tercatat sebagai seorang pendatang. Dari Jawa Timur. Bukan penduduk asli Sumatera Utara. Tentu akan ikut mempengaruhi suara

Siapapun, bukan hanya Djarot, yang ingin jadi pemimpin, baik tingkat kabupaten/kota, gubernur maupun presiden, tidak hanya dituntut patuh kepada aturan hukum, tetapi juga menjaga nilai-nilai kepatutan dan etika politik. Siap menang, tapi juga siap kalah. Bersikap ilegan layaknya seorang negarawan

Pemenang Pilgub Sumatera Utara, juga di wilayah lain, siapapun, selama tak melanggar aturan, mesti bisa diterima dan diakui semua pihak sebagai pemimpin bersama. Pemimpin yang sah dengan menjunjung asas demokrasi yang dianut negeri ini.

Bagi yang kalah, tak harus merusak nilai-nilai etis akibat dari sebuah kekalahan. Tak perlu jadi pecundang yang memalukan. Berpolitik butuh kematangan dalam bersikap dan ilegan dalam bertindak. Jika tak sanggup, sebaiknya tak terjun di dunia politik. Karena, tidak hanya memberi contoh yang buruk kepada rakyat, tapi juga akan merusak wajah demokrasi Indonesia. Kasus Djarot bisa jadi pelajaran berharga buat rakyat Indonesia. Dimana pun berada.

Jakarta, 25/6/2018

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.