OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Judul di atas membuat kening oposisi dan para pendukungnya berkerut. Jangan-jangan… Asumsi mulai liar. Bagi pendukung Jokowi, ini angin segar. Lega nafas di dada.
Sudah sekitar dua tahun rakyat terbelah. Pendukung dan penolak Jokowi. Sama-sama kuat. Berdasar survei, jumlahnya hampir imbang. Yang menolak lebih besar sedikit. Gaduh sekali di media dan medsos. Semakin dekat pilpres 2019, akan makin gaduh. Berarti, genap tiga tahun kegaduhan itu terpelihara.
Baru kali ini di Indonesia ada kegaduhan politik berjalan tiga tahun. Terlalu lama. Over dosis. Tak kondusif untuk membangun bangsa. Itu gara-gara Jokowi dukung Ahok. Itu gara-gara Rizieq demo 212. Saling menyalahkan.
Pertanyaan yang mesti diajukan: Itu tanggungjawab siapa? Jawabnya: tanggung jawab pemerintah. Dalam hal ini Menkopolhukam. Berarti kerja Menkopolhukam tak efektif? Kira-kira begitu.
Kenapa gak diganti menterinya? Jokowi tak biasa mengganti menteri yang punya partai. Atau setidaknya utusan dari partai. Beda jika tak ada jaminan partai. Nasibnya bisa sama dengan Anies Baswedan, Rizal Ramli, Sudirman Said, dan Andreanof. Ganti! Meski menteri-menteri itu bagus, tapi tak ada partai yang jamin. Nasib…
Partai menjadi faktor penting bagi kekuatan Jokowi. Pertama, untuk mengendalikan parlemen. Jokowi dapat dukungan partai yang punya anggota mayoritas di parlemen. Sampai sekarang masih aman. Entah nanti. Kedua, untuk tiket nyalon di pilpres 2019. Dengan begitu, apakah itu jaminan Jokowi dua periode?
Politik itu permainan opini. Siapa yang “iklannya” berhasil mempengaruhi pemilih, dia berpotensi menang. Jokowi sukses membangun iklan di pilpres 2014. Berpenampilan “ndeso”, lengan baju dilipat dan masuk gorong-gorong. Mengesankan pekerja keras dan merakyat. Rajin bagi-bagi bantuan langsung tunai atau BLT. “Branding” mobil Esemka yang sempat hebohkan dunia otomotif Indonesia. Meski sudah lebih dari tujuh tahun belum juga diproduksi. Bagaimana Jokowi di pilpres 2019?
Jokowi punya iklan menarik, yaitu infrastruktur. Dalam konteks ini, Jokowi harus diakui, punya pembeda dari para pemimpin sebelumnya. Tol, bandara dan pelabuhan bisa jadi “brand” buat kampanye 2019. Dan ini akan cukup efektif. Primadona iklan Jokowi yang bisa menghipnotis rakyat.
Disisi lain, memang ada faktor yang membayangi iklan infrastruktur Jokowi. Pertama, soal ekonomi. Banyaknya pencabutan subsidi, mulai dari TDL, BBM, tol, pupuk dan sejenisnya. Pencabutan subsidi ini dituduh sebagai biang keladi menurunnya daya beli rakyat Dolarpun terus merangkak naik dan coba ditahan dengan menaikkan suku bunga. Langkah ini bahaya, menurut Rizal Ramli dan Fuad Bawazier. Bukan solusi. Karena sifatnya sementara Bisa seperti film Warkop. Mundur kena, maju kena.
Kedua, isu melemahnya kedaulatan bangsa dengan maraknya pekerja kasar dari China, masifnya impor bahan pokok, dan hutang luar negeri yang semakin membengkak.
Ketiga, arogansi hukum terhadap mereka yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa. Isu kriminalisasi ulama terus merebak.
Perang opini antara kesuksesan infrastruktur vs berbagai persoalan ekonomi, hukum dan kedaulatan akan mewarnai iklan kampanye Jokowi dan lawan politiknya di pilpres 2019. Negatif Campaign akan marak. Bahkan black Campaign. Bagaimana sikap rakyat seharusnya?
Rakyat mesti peka dan sadar terhadap data, bukan sekedar iklan. Tidak terjebak pada pencitraan. Ini menyangkut nasib bangsa kedepan. Nasib anak cucu bangsa bernama Indonesia.
Pertama, hitung cermat kelebihan dan kekurangan rezim Jokowi. Seberapa positif dan progresnya untuk bangsa ini. Bandingkan dengan seberapa bahaya dan destruktifnya kebijkan Jokowi untuk negeri ini kedepan.
Kedua, jika ada calon yang lebih baik, rakyat mesti pilih yang lebih baik. Siapapun tokoh itu. Lagi-lagi, perlu sikap dan penilaian obyektif. Bukan Like and dislike. Bukan dekat atau tidak dekat. Bukan karena satu partai atau ormas. Apalagi hanya alasan teman satu kelas. Bukan karena di dekat kampungnya sudah ada tol, atau infrastruktur yang dibangun. Bukan pula atas perintah ustaz dan ulamanya.
Rakyat mesti belajar mau mencari data yang baik, berpikir cerdas, dan memilih berdasarkan pengetahuan dan nuraninya. Bukan sekedar partisipan, apalagi ikut-ikutan eforia, cari uang dan kesempatan kerja di pesta demokrasi. Sebab, pilihan rakyat jadi penentu nasib bangsa lima tahun kedepan, bahkan bisa lebih..
2019 ganti presiden atau tidak, akan bergantung siapa tokoh yang akan dilawankan dengan Jokowi. Jika yang muncul adalah tokoh lama seperti Prabowo, Jusuf Kalla atau Amien Rais (para mantan capres yang pernah kalah), maka umumnya analis politik memprediksi Jokowi hampir pasti dua periode.
Jakarta, 2/7/2018.