Kementerian ESDM oleh Kepala Biro Hukum Hufron Asrofi telah mengkonfirmasi pada media 11/11/2018 bahwa benar proses perubahan ke 6 PP No. 23 tahun 2010 sebagai payung hukum tujuannya untuk memberikan kepastian hukum bagi pemilik PKP2B.
Seharusnya KESDM tidak begitu mudah saja tunduk oleh semua keinginan pemilik KK dan PKP2B, terkait dengan perubahannya ke IUPK dengan pola yang diinginkan KK atau PKP2B. Perubahan PKP2B ke IUPK, jelas UU No.4/2009 telah mengaturnya.
Sah secara hukum dan jaminan investasi, ESDM mempermudah kelanjutan usaha PKP2B ke IUPK.
Namun, semua hal terkait dengan perubahan tersebut jelas telah dipertegas dalam UU No.4/2009. Namun sedikit aneh, draft rencana perubahan PP yang ada justru memasukkan luasan menyimpang dari UU No.4/2009, adalah hal yang sangat tidak masuk akal.
Apalagi UU No.4/2009 Pasal 171, pada ayat 2 sudah tegas dikatakan apabila pada ayat 1 tidak terpenuhi , maka yang seharusnya sebatas luasan yang diperuntukan sampai berakirnya kontrak PKP2B harus sesuaikan UU , justru oleh ESDM dimasukkan dalam IUPK yang semestinya hanya sebatas 15.000 Ha.
Jelas, ESDM dengan terangnya menghilangkan potensi negara untuk mendapatkan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang selanjutnya menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) sesuai UU Minerba yang diprioritaskan oleh BUMN untuk mengelola dalam kepentingannya untuk ketahanan energi nasional.
Seharusnya membaca UU itu harus utuh , tidak sepotong potong melihat hanya pada pasal 171 , harus dilihat juga pada Pasal 169 kepada pemilik KK dan PKP2B sudah diberikan waktu 1 tahun sejak UU Minerba diberlakukan pada tahun 2009 , namun mereka terkesan mengabaikannya , padahal jelas disebutkan bahwa KK ( Kontrak Karya ) dan PKP2B harus menyesuaikan dengan semua isi Pasal UU Minerba , kecuali mengenai penerimaan negara.
Aneh dan lucunya sikap Pemerintah menjadi sangat lemah terhadap semua keinginan pemilik PKP2B , seakan mau saja menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan UU Minerba , contohnya nyatanya terkait Pasal 74 dan 75 ayat 3 jelas dikatakan IUPK di prioritaskan kepada BUMN dan BUMD , sementara untuk badan swasta seperti pemilik PKP2B harus melalui mekanisme lelang , menyimpang dari itu adalah pelanggaran UU Minerba.
Sehingga tak salah publik menduga ada gerombolan ” Genderuwo raksasa ” yang mengawal perubahan PP Minerba ini yang membuat Istana dan KESDM bisa menjadi sontoloyo , sehingga kepentingan ketahanan energi nasional jangka panjang bisa terancam .
Pada sisi lainnya, terlepas Pemerintah menaikkan royalti IUPK dari 13.5 menjadi 15 %, namun sebaliknya Corporate Tax dengan mekanisme prevailing tax, juga turun dari 45 % menjadi 25 %. Jadi, dari sisi kepastian hukum bisa saja ESDM memperpanjang PKP2B menjadi IUPK, namun kondisi kebutuhan batubara ke depan, sekaligus keuangan negara saat ini dalam mengakomodir budget pembelian energi primer, ESDM dalam memperpanjang PKP2B menjadi IUPK harus mempertimbangkan Luasan Wilayah Pencadangan Negara (WPN), Barang Milik Negara yang semestinya dikembalikan, Pajak dll.
Tanpa mempertimbangkan berbagai aspek peraturan dan perundangan dan realitas rekam jejak selama PKP2B beroperasi telah banyak dampak kerusakan lingkungan telah terjadi dan sudah memakan korban , sama saja Kementerian ESDM mengesampingkan kepentingan negara dalam mengelola ketahanan energi ke depan, yang jelas sangat vital dan strategis dengan pertumbuhan penduduk yang ada terhadap kebutuhan listrik .
Bahkan kalau perlu dalam IUPK, seharusnya Pemerintah terlebih dahulu dapat menetapkan formulasi harga batubara khusus bagi PLN, mengingat PLN sebagai Public Service Obligation (PSO ). Tanpa ini, bisa jadi ESDM sama saja membiarkan PLN membeli batubara dengan harga internasional pada pemilik IUPK.
Upaya Pemerintah menetapkan harga khusus bagi PLN semestinya tidak berhenti di akhir 2019, namun harus berlanjut dalam kontrak semua IUPK.
Dengan sekadar memperpanjang PKP2B menjadi IUPK tanpa mempertimbangkan cadangan batubara yang pada dasarnya cuma 2.2 % dari cadangan dunia, sama saja Kementerian ESDM menjebloskan sendiri negara ini pada ruang ketidakpastian dalam mengelola ketahanan energi ke depan.
Apalagi ESDM justru mengesampingkan kemampuan BUMN dalam mengelola tambang batubara yang pada dasarnya dari teknik pertambangan sangatlah sederhana , beda jauh dengan tehnologi penambangan bawah tanah di PT Freeport yang PT Inalum ditugasi oleh Pemerintah menguasai saham 51 % , jadi kenapa beda sikap Pemerintah dalam hal ini? Jadi heran kita.
Jakarta 12 November 2018
Direktur Eksekutif CERI
Yusri Usman