sementara itu Djoko Edy mengatakan bahwa abaikan si Denny JA. Ia dan LSI nya dikontrak Rp 43 miliar utk jatuhkan Prabowo Sandi. “Karena cara itu kriminal, ia disingkirkan di mana-mana. Ia bikin aliansi dgn 6 lembaga survei, ia leadnya. Denny yang mulai kecurangan lembaga riset di Indonesia. Maka LSI pecah 2. LSI Denny JA busuk,” jelas Edy yang juga orang NU ini.
“Meme Denny JA memanipulasi fakta dan tatanilai. Memposisikan pembohong yang bertahan dengan kebohongnnya lebih mulia daripada yang dibohongi. Ini sesat pikir,” kata Adhie Massardi lagi.
Denny JA belakangan memang gemar memproduksi meme yang kemudian dia sebarkan di jejaring media sosial, baik melalui akun Twitter maupun di berbagai grup Whatsapp yang dia ikuti. Namun ia tidak pernah memberikan penjelasan mengenai meme-meme itu. Karena terlalu sering mendistribusikan meme tanpa mau berdialog, Denny JA kerap dikritik, dan bahkan didepak dari sebuah grup WA.
Bahkan soal Puisi Esay di Jabar nama Denny ditolak. Karena mengaku pelopor Penyair Esay. Bahkan Hikmat Gumelar mengatakan bahwa Denny Januar Ali (DJA) tidak pula insyaf. Terhadap proyek puisi esai yang dia akui direkayasanya, ditembakan berbagai kritik dari berbagai kalangan dan dari berbagai penjuru di tanah air kita. Dan ini terus berlanjut setiap hari hingga kini dari sejak proyek penerbitan 34 buku puisi esai yang serba dibayar itu terendus. Tetapi DJA seperti spink. Dia tetap bergeming. Bahkan mereka yang berbeda pendapat denganya mengenai puisi esai diserangnya. Berbagai stigma negatif ditembakan semau dia.
“Misalnya, mereka yang menyoalkan perjanjian kontrak antara pihak perekayasa dengan penulis karena klausul-klausul dalam kontrk itu yang mendikte penulisan puisi dan tanpa klausul pembatalan kontrak distigmanya sebagai orang-orang terbelakang, tidak tahu bahwa di negara-negara maju soal perjanjian kontrak dalam dunia seni adalah hal yang sudah biasa,” ujar Hikmah sneiman Bandung.
Stigma demikian juga ditembakkan kepada mereka yang menyoalkan soal hasutan untuk menulis puisi dengan berorientasi kepada uang dan pembayaran sebagian yang disebut honor sebelum puisi ditulis. Distigmanya bahwa mereka tidak tahu bahwa para penulis besar di negara-negara maju itu hidup kaya raya. Mereka yang menyoalkan kebaruan puisi esai dan basis konseptual proyek puisi esai distigmanya sebagai “penyair dengan mindset zaman lama”. Mereka juga distigma tidak punya ide segar, naif, jumud, antiperubahan, dan sebagainya.
“DJA JUGA MERENDAHKAN SELURUH PUISI INDONESIA YANG TIDAK MASUK DALAM KATEGORI PUISI ESAI YANG DIA KLAIM SEBAGAI PUISI JENIS BARU HASIL TEMUANNYA. BAHKAN KHOTBAH DAN NYANYIAN ANGSA, DUA PUISI GEMILANG KARYA PENYAIR BESAR W.S.RENDRA, DIRENDAHKAN DI BAWAH PUISI-PUISI DJA. DJA MENYEBUT PUISI-PUISINYA LEBIH UNGGUL BUKAN KARENA KEUNGGULAN UNSUR-UNSURNYA DAN KERJA SAMA UNSUR-UNSUR PUISI ITU, MELAINKAN SEMATA-MATA KARENA PUISI-PUISINYA SUDAH DIANGKAT KE LAYAR LEBAR DAN PENUH DENGAN CATATAN KAKI,” bebernya.
Pada saat bersamaan, DJA terus menggelembungkan dirinya dan proyeknya. Misalnya, dia menggelembungkan pembaharuan yang disebut dilakukannya dalam bidang perpuisian di Indonesia sama seperti pembaharuan yang dilakukan dalam dunia perfilman di Amerika Serikat oleh Quentin Tarantino. Berarti jelas dia juga menggelumbungkan dirinya hingga sekaliber Tarantino. Proyek puisi esai disebutnya sebagai gerakan besar puisi esai nasional yang melahirkan angkatan puisi esai dan menghadirkan potret batin Indonesia. Dan, tentu saja, proyek demikian ditegas-tegaskannya belum pernah dilakukan siapa pun di tanah air kita. Klaim-klaim seperti itu yang berjibun keruan mengganggu para penggiat sastra di berbagai penjuru negeri ini, paparnya dikutip SENI.CO.ID.
Kini Denny sedang bermain dalam politik dan apakah benar ia main karena pajaknya LSI diduga mengemplang lama dan dia mendukung salah satu pasangan yang berkuasa?
RED/ATA