Tak lama setelah terpilih sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman Siregar pun dilantik oleh pihak Rektorat UI. Saat itu, ia masih tercatat sebagai anggota Golkar. Menjelang pelantikan, ia pun segera mengundurkan diri dari keanggotaan Golkar.[1] “Saya dipilih oleh mahasiswa, bukan oleh Golkar,” tegas Hariman.
Pelantikan pengurus DMUI dilakukan Pejabat Rektor UI, Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso, September 1973. Ia mulanya Pembantu Rektor I bidang Akademik dan menggantikan sementara Prof. Soemantri Brodjonegoro yang sedang sakit. Sebulan kemudian Prof. Soemantri menominasikan calon tunggal untuk rektor definitif: Prof. Mahar Mardjono. Kurang dari sebulan setelah pelantikan itu pula, DMUI langsung sibuk dengan berbagai aktifitas protes terhadap Orde Baru.
Saat penyusunan kabinet, Hariman mulai menunjukkan independensinya. Ia memilih Judilherry Justam, Ketua HMI UI, sebagai Sekretaris Jenderal DMUI. Padahal, orang-orang Opsus sebelumnya sudah wanti-wanti agar Hariman tidak melibatkan aktivis HMI. “Gara-gara Hariman memilih Judil sebagai sekjen, bukan aktivis binaan Opsus, maka para petinggi Opsus marah besar,” tutur Gurmilang Kartasasmita, mantan Wakil Ketua DMUI.
Judil sendiri menilai keputusan Hariman memilih dirinya sebagai hal yang sangat strategis. “Menurut saya, pada waktu itu Hariman telah menemukan dirinya sendiri,” kata mantan Sekjen DMUI Judilherry Justam. “Atau mungkin bagi Hariman, Opsus waktu itu hanya sekutu taktis saja.”
Pendapat Judilherry diamini oleh mantan Ketua Umum PB HMI kurun waktu itu, Akbar Tanjung. Menurutnya, “Hariman adalah orang yang tidak bisa di kendalikan. Seusai menjadi ketua umum, ia mengunakan posisinya itu untuk memimpin gerakan mahasiswa menentang penguasa.”
Mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro punya cerita sendiri. Suatu malam, kata Soemitro, Hariman datang ke kantor Pangkopkamtib bersama semua pengurus DMUI. Saat itu Soemitro ditemani wakilnya, Laksamana Sudomo. Kedatangan mahasiswa-mahasiswa itu mengenalkan diri dan melapor sebagai pengurus DMUI yang baru.
“Tapi dalam laporannya Hariman menutup dengan ucapan yang saya anggap aneh,” tulis Soemitro dalam memoarnya. Ucapan yang dianggap aneh itu ialah: “Kami ada hubungan dengan Tanah Abang III.”[2] Maksudnya kantor CSIS, organisasi think thank yang didirikan oleh tokoh-tokoh Opsus. “Tapi kelak waktu bergulir Hariman berubah 180 derajat,” imbuh Soemitro.
Hariman sendiri mengaku sengaja memilih Judil demi menjalankan misi besar: konsolidasi gerakan mahasiswa Indonesia. Untuk itu ia merangkul HMI yang notabene saat itu masih memiliki pengaruh besar di kampus-kampus di seluruh tanah air. “Setelah saya terpilih menjadi Ketua Umum DM-UI pada Agustus 1973, kita memutuskan menjadikan DM-UI sebagai lembaga sentral untuk mempersatukan semua potensi aksi yang ada di masyarakat. Saya berusaha memperkuatnya. Susunan pengurus harian DM-UI, saya isi dengan mahasiswa UI yang juga merangkap menjadi aktivis dari berbagai organisasi ekstra (HMI, GMNI, PMKRI, GMKI) sehingga DM-UI memiliki akses ke mereka,” tegas Hariman.
Mengapa konsolidasi gerakan mahasiswa menjadi penting? Sebagaimana diketahui, terhadap kebangkrutan ekonomi orde sebelumnya, Orde Baru menganut politik pembangunan yang mengutamakan strategi pertumbuhan ekonomi. Dalam pelaksanaannya strategi ini membutuhkan injeksi modal yang besar untuk investasi, yang sulit dipenuhi dari dalam negeri. Karenanya, terbitlah UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
PMA bersedia masuk jika ada jaminan stabilitas politik. Maka dilakukanlah stabilisasi bidang politik, antara lain: mengintegrasikan struktur komando ABRI, agar tidak terjadi lagi persaingan antar angkatan; menciptakan monoloyalitas pegawai negeri sipil melalui KORPRI (Permendagri No. 12/1969 dan PP No. 6/1970), sehingga birokrasi sipil tidak menjadi ajang perebutan pengaruh partai-politik lagi. Kemudian atas nama konsensus nasional, dibakukan dalam UU No. 16/1969, diadakan sistem pengangkatan (pembagian jatah kursi bagi ABRI di DPR/MPR, guna mengimbangi peran politisi sipil.
Dalam suasana keberhasilan berbagai upaya konsolidasi seperti itulah, yang sesungguhnya merupakan upaya sistematis menuju sentralisasi kekuasaan, Repelita I dilaksanakan. Teknokrat (Bappenas) menyusun rencana; birokrasi sipil bertugas melaksanakan dari rencana yang disetujui presiden.
Dalam tempo yang relatif singkat, di lihat dari makro ekonomi di atas kertas, terlihat prestasi yang mengesankan. Inflasi dapat ditekan, situasi moneter terkendali dan laju pertumbuhan ekonomi meninggi. Namun, menurut Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, 80 persen biaya investasi pembangunan datang dari utang luar negeri.[3] Keadaan utang luar negeri hingga akhir 1973 dari IGGI saja mencapai 2,73 miliar dolar AS. Ini tidak main-main, mengingat Orde Baru baru berusia 7 tahun tapi sudah membukukan utang sebegitu besar. Akibatnya sangat mahal, masyarakat kecil menjadi lebih berat kehidupannya.[4]
Ini terjadi, selain karena aspek pemerataan memang kurang mendapat perhatian, juga akibat adanya arogansi sektoral yang menimbulkan ketimpangan antar sektor dalam pembangunan. Muncul pula ekses lain: merajalelanya korupsi antara lain di Pertamina, Bulog, PT. Berdikari;dan mislokasi keuangan negara seperti dalam proyek TMII.[5]
Menyaksikan dan mendengar berbagai permasalahan tersebut, menggugah Hariman dan mahasiswa lain yang kurang memiliki latar belakang ilmu-ilmu sosial tapi dapat merasakan apa yang sedang terjadi saat itu. “Karenanya, saya dapat memahami jika kemudian banyak reaksi yang muncul dari kalangan pemuda dan mahasiswa ketika itu: ada aksi Mahasiswa Menggugat, Aksi Pelajar 70, Komite Anti Korupsi, Bandung Bergerak, Komite Anti Kelaparan, Anti TMII, dan lain sebagainya. Aksi-aksi semacam ini lebih didorong oleh keprihatinan yang mendalam atas rasa keadilan dan keberpihakan kepada rakyat banyak. Inilah salah satu yang membedakannya dengan gerakan mahasiswa 1965-1966, yang lebih berdasarkan perasaan anti-komunis dan Sukarno,” tulis Hariman.[6]
Boleh dikata, waktu itu, hampir tiada hari tanpa aksi. Hanya saja yang menjadi tanda-tanda di benak Hariman: mengapa dampak dari berbagai aksi itu tidak pernah meluas? Setelah mendiskusikannya itu para aktivis mahasiswa tiba pada kesimpulan: penyebabnya adalah selain tidak adanya isu sentral yang konkrit seperti Tritura, juga tidak ada lembaga yang mampu mempersatukan berbagai potensi aksi setelah bubarnya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
Suatu diskusi bertema “28 Tahun Kemerdekaan Indonesia” digelar Group Diskusi UI (GDUI), 13-16 Agustus 1973. Pembicaranya adalah Soebadio Sastrosatomo, Sjafruddin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo dan T.B. Simatupang. Beberapa kesimpulan dari diskusi ini menyatakan: 1) perlunya praktik politik dan serangkaian tindakan untuk menyelesaikan masalah dan bukan sekadar diskusi-diskusi; 2) di kalangan generasi muda dan tua masih terdapat perbedaan gambaran mengenai struktur politik, serta lebih banyak kondisi obyektif dihadapi dalam merumuskan strategi bersama bagi generasi muda; 3) ada dua pandangan dalam melihat praktik kekuasaan, yaitu perlu bergerak di luar pemerintahan atau mengubahnya dari dalam.
Hariman menggarisbawahi kesimpulan “perlunya serangkaian tindakan” untuk menyelesaikan masalah. Suatu aksi. Menurut Jusman Syafii Djamal yang baru menjadi mahasiswa pasca-Malari, prinsip Hariman menjadi aktivis memang ‘aksi’ bagi rakyat. “Ia bilang sama saya dalam suatu perjalanan dari Bandung ke Jakarta: menjadi aktivis itu nyemplung saja dulu, pemahaman dan teori akan muncul dari pengalaman bersentuhan dengan rakyat,” kenang Jusman.
Setelah kabinet DMUI terbentuk, Hariman menjalin kontak dengan berbagai pihak, baik ke sesama dewan mahasiswa dari perguruan-perguruan tinggi lain maupun ke unsur-unsur non-kampus, terutama dengan kalangan buruh dan kelompok-kelompok marginal perkotaan lainnya. Banyak informasi yang berisi keluhan mengenai berbagai masalah kemasyarakatan yang diterima DM-UI dari mereka ini.
Sosialisasi gagasan mengenai perlunya mempersoalkan strategi pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada modal asing dan melupakan aspek pemerataan, mendapat sambutan yang baik. Banyak mantan aktivis 1966, entah karena kesadaran (umpamanya: barisan Golput) atau hanya di dorong rasa kecewa karena tidak mendapat jatah dalam refreshing DPR-GR (1967) atau yang mendapat jatah tapi kemudian tersingkir ketika ada refreshing lagi tahun 1968.
*******
Gelombang demonstrasi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah menyurut pada 1973. Dua isu besar muncul dalam tajuk aksi jalanan pada bulan-bulan akhir 1973: anti-RUU Perkawinan dan anti-modal asing. Yang pertama terutama digalang oleh organisasi-organisasi massa Islam, menentang RUU yang diajukan pemerintah ke DPR pada 31 Juli 1973. Sedangkan isu tentang dominasi modal asing di Indonesia merebak dari komite-komite mahasiswa, aktivis anti-korupsi (sebagian dimotori eks mahasiswa 1966), grup-grup diskusi kampus hingga kemudian diusung oleh lembaga formal mahasiswa: dewan mahasiswa.
Bulan Oktober 1973 kala itu bulan ramadhan dalam kalendar Hijriah. Artinya, siang hari kebanyakan umat Islam menjalankan ibadah puasa. Hari raya Idul Fitri akan tiba bertepatan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober. DMUI berencana menggunakan momentum Sumpah Pemuda untuk menyampaikan sikap mahasiswa mengenai situasi politik dan ekonomi nasional. “Namun, karena hari itu hari raya lebaran, kami mempercepatnya pada tanggal 24 Oktober,” kata Theo L. Sambuaga, mantan Wakil Ketua DMUI kala itu.
Kegiatan dimulai dengan diskusi yang mengundang generasi dari Angkatan 28, 45 dan 66, berlangsung di Student Centre UI. Diskusi malam hari itu dihadiri juga oleh Bung Tomo yang datang dengan sarung dan pici. Ia baru pulang dari tarawih.[7] Yang berbicara sebagai panelis malam itu adalah Sudiro (mantan Walikota Jakarta, mewakili Angkatan 1928), Menteri Luar Negeri Adam Malik dan BM Diah (mewakili Angkatan 1945), Cosmas Batubara (mewakili Angkatan 1966), dan Ketua DMUI Hariman Siregar. Pembicara lainnya ialah Emil Salim dan Frans Seda. Isu-isu yang disinggung diantaranya tentang generasi muda vs generasi tua, pembangunan yang tidak merata, dan dwifungsi ABRI. Menjadi moderator adalah Theo L. Sambuaga.
Pada diskusi itu Hariman menyatakan bahwa “pembinaan” terhadap generasi muda “atas” merupakan penghinaan terhadap kaum muda. Adanya ganja, free sex, dan kenakalan pemuda lainnya tidak boleh jadi alasan dilakukannya pembinaan itu melalui organisasi-organisasi yang dibentuk oleh prakarsa pemerintah. Maka, menurutnya, “diperlukan gerakan-gerakan mahasiswa yang tidak terlibat dengan lembaga-lembaga yang dibirokrasikan seperti sekarang.”
Bekas Walikota Sudiro yang mewakili angkatan 1928 menunjukkan kalangan tua tidak melihat adanya jurang antar generasi. “Generasi muda selalu terlibat dalam masa kini bangsanya, sebab generasi muda anti pada sesuatu yang rutin.”Pernyataan Sudiro itu disimpulkan B.M. Diah sebagai pekerjaan bagi generasi muda. Katanya, generasi mudalah yang menentukan masa kini, bukan generasi tua.
Wakil angkatan 1966 yang sudah duduk dalam kekuasaan Orde Baru, Cosmas Batubara, mengungkapkan sebaliknya. Menurutnya kondisi serta kestabilan politik telah mendukung persiapan-persiapan bagi generasi muda untuk mengambil alih kepemimpinan nasional. Tidak perlu mempertentangkan kedua generasi, juga tak perlu menentang dwifungsi ABRI. Menjawab pertanyaan mengenai perannya dalam kekuasaan, Cosmas berujar bahwa ada saatnya “kita” ikut serta mempengaruhi perumusan kebijakan. “Demonstrasi saja tidak menyelesaikan masalah. Ngomong lebih mudah daripada berbuat,” tandas Cosmas.[8]
Kepada Hariman, Cosmas sempat mewanti, “Man, hati-hati kalau bikin demonstrasi. Sekarang suasananya berbeda.” Menurut Cosmas, mahasiswa saat itu tidak lagi homogen seperti pada tahun 1966. Begitu juga sistem politik telah betul-betul berubah, militer memiliki peran besar dalam politik.
“Ah, Bang, jangan takut. Saya bisa kendalikan mahasiswa,” jawab Hariman.
Usai diskusi, acara berlanjut dengan ziarah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di sini, sebuah petisi yang kemudian dikenal dengan nama “Petisi 24 Oktober 1973” dibacakan[9]:
Kami, Pemuda-pemudi Indonesia, milik dan pemilik nusa dan bangsa tercinta, dari tempat terbaringnya kusuma-kusuma bangsa yang telah memberikan milik mereka yang paling berharga bagi kemerdekaan dan kekayaan bangsa Indonesia, menyatakan kecemasan kami atas kecenderungan keadaan ini yang menjurus pada keadaan yang makin jauh dari apa yang menjadi harapan dan cita-cita seluruh bangsa.
Bahwa dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab di hari depan, yang keadaannya akan sangat ditentukan oleh masa kini, di mana kami, sebahagian dari padanya, merasa berkewajiban mengingatkan Pemerintah, militer, intelektuil/teknokrat, politisi untuk hal-hal sebagai berikut:
- Meninjau kembali strategi pembangunan dan menyusun suatu strategi yang didalamnya terdapat keseimbangan di bidang-bidang sosial, politik, dan ekonomi yang anti kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan;
- Segera membebaskan rakyat dari cekaman ketidakpastian dan pemerkosaan hukum, merajalelanya korupsi dan penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga dan pengangguran;
- Lembaga-lembaga penyalur pendapat rakyat harus kuat dan berfungsi serta pendapat masyarakat luas mendapat kesempatan dan tempat yang seluas-luasnya;
- Yang paling berkepentingan akan masa depan adalah kami, oleh karena itu penentuan masa depan—yang tidak terlepas dari keadaan kini—adalah juga hak dan kewajiban kami.
Kiranya Tuhan Yang Maha Esa menyertai perjalanan Bangsa Indonesia.
Kalibata, Peringatan Sumpah Pemuda
Tahun 1973
DEWAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA
Setelah diskusi dan petisi, Hariman mulai sibuk dengan berbagai diskusi antar kota. Ia melakukan berbagai kunjungan ke dewan mahasiswa se-Jawa. Pada awal November dan Desember, misalnya, Hariman ke Yogyakarta bertemu dengan DM IAIN Sunan Kalijaga. Ia juga tampil sebagai pembicara dalam suatu pertemuan mahasiswa, intelektual dan seniman, yang disebut Pertemuan Ririungandiadakan di Bandung, 9 Desember 1973.
Sementara itu, pertengahan Oktober 1973, terjadi suatu peristiwa penting di Thailand. Aksi-aksi mahasiswa berhasil menggulingkan Perdana Menteri Marsekal Thanom Kittikachorn. Melihat itu, pemerintah Indonesia makin gencar mengupayakan meredam aksi mahasiswa Indonesia. Peristiwa di Thailand dianggap bisa memberi inspirasi bagi mahasiswa di tanah air. Bawahan-bawahan Presiden Soeharto, terutama Jenderal Soemitro dan Ali Moertopo, bersaing untuk mengendalikan mahasiswa. Soemitro rajin ke kampus-kampus bersama Kharis Suhud dan Iwan Stamboel. Hanya UI yang tidak didatanginya.
Tapi, laporan-laporan media massa tentang cukongisme, korupsi, komisi 10 persen yang didapat oleh pejabat pemerintah atas proyek-proyek pembangunan, dan konsolidasi di antara gerakan mahasiswa telanjur mulai menguat. Berbagai upaya pendekatan yang dilakukan oleh otoritas keamanan itu hanya menjadi tempat untuk debat antara mahasiswa dan “utusan” pemerintah. Diskusi-diskusi dan aksi di dalam kampus atau ke jalan oleh mahasiswa tetap ramai berlangsung di berbagai kota: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, Semarang dan kota-kota lainnya.
Mahasiswa tak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan momentum berikutnya. Dua hari penting muncul di bulan November. Peringatan Hari Pahlawan dimanfaatkan untuk mengumandangkan ikrar kesediaan berkorban untuk mencapai masyarakat yang adil dan aman. Delapan dewan mahasiswa menandatanganai ikrar itu diantaranya DMUI, DM ITB dan DM Universitas Padjadjaran. Isi Ikrar 10 November 1973 itu[10]:
Kami, generasi muda Indonesia, setelah merenungkan sedalam-dalamnya kenyataan yang terjadi dalam perkembangan kehidupan bangsa, yang semakin jauh dari yang dicita-citakan, merasa terpanggil kesadaran tanggung jawab kami selaku generasi pewaris hari depan bangsa untuk turut serta melibatkan diri dalam proses kehidupan masyarakat, menyatakan:
Kesatu, meningkatkan solidaritas di antara sesama generasi muda dalam menghadapi kenyataan-kenyataan, sebagai konsekuensi dari keterlibatan kami dalam proses kehidupan kemasyarakatan;
Kedua, menyatakan satu tekad untuk mengadakan langkah-langkah perubahan dalam usaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang telah dirintis oleh para pahlawan bangsa.
Kiranya Tuhan Yang Maha Esa menyertai perjuangan kami.
Momentum kedua datang keesokan harinya: Minggu, 11 November 1973. Hari itu Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda yang juga Ketua IGGI, J.P. Pronk, tiba di Bandara Kemayorang untuk memulai kunjungan ke Indonesia. Pronk masih muda dan berambut agak gondrong. Demonstran yang menamakan diri Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Indonesia (GMII) menyambut Pronk denga poster-poster protes. Seorang mahasiswi UI berkaca mata berhasil mendekati Pronk karena ia membawa karangan bunga berwarna putih. Namun mahasiswa bernama Jajang Pamontjak ini tidak hanya memberikan bunga sambutan, ia pun menyelipkan sebuah amplop berisi memorandum berbahasa Inggris dan undangan untuk berdiskusi. Menteri Ekuin/Kepala Bappenas, Prof. Widjojo Nitisastro, yang menjemput Pronk sempat terkejut melihat itu. Petugas keamanan mencoba meminta amplop itu, namun Pronk telanjur memasukkan ke dalam saku jasnya.[11]
Memorandum itu isinya menyesalkan terpelesetnya Pemerintah Indonesia yang menjadi sangat tergantung dan makin tergantung kepada bantuan luar negeri dan modal asing. Bantuan yang harusnya menjadi faktor pelengkap belaka, menjadi faktor substansial. Apabila salah arah itu dibiarkan, “Kami khawatir bahwa nanti bantuan luar negeri dan modal asing akan dianggap tidak berguna.”
Selanjutnya, memorandum GMII itu menyebutkan: “… Kami tak bangga kepada bantuan asing yang hanya berarti lebih banyak gedung-gedung mentereng menjulang, lebih banyak nightclub dan banjir coca-cola, tetapi di lain pihak makin banyak rakyat tak mendapat pekerjaan, kehilangan tanah tak punya rumah, industri-industri kecil pada mati, hutan-hutan menjadi gundul dan ladang-ladang minyak menjadi kering.”[12]
Pada pengadilan Sjahrir tampak bahwa sejumlah anggota GMII merupakan anggota GDUI.[13] Saat berkunjung ke Yogyakarta, beberapa hari kemudian, Pronk juga disambut demonstrasi mahasiswa yang menamakan diri Demonstrasi-demonstrasi itu bukan saja ditunjukkan kepada Pronk. Para teknokrat Indonesia yang bertanggung jawab terhadap naskah rencana-rencana pembangunan juga diserang. Demonstrasi di Yogyakarta juga dilakukan oleh mahasiswa IAIN. Dalam pernyataan pemerintah yang berkaitan dengan kerusuhan Malari, demonstrasi itu dihubungkan dengan kunjungan Hariman ke Yogyakarta sebelumnya.[14]
“Padahal saya atas perintah Hariman, atas nama DMUI, telah melakukan konferensi pers bahwa aksi yang diantaranya diikuti oleh Jajang dan Silvia Gunawan itu bukan DMUI,” ujar Gurmilang Kartasasmita. Pernyataan pers itu menyatakan DMUI tidak menggerakan aksi terhadap Pronk, tapi bisa mengerti aksi itu sebagai suatu gerakan mahasiswa.
Kemudian, 30 November 1973, dilangsungkan diskusi tentang “Untung Rugi Modal Asing” di Balai Budaya Jakarta[15]. Dalam kesempatan ini, sejumlah intelektual (eks KASI) mulai bergabung. Mereka antara lain Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, Mochtar Lubis menandatangani sebuah manifesto bersama 152 orang yang hadir. Manifesto berjudul “Ikrar Warga Negara Indonesia” itu dibacakan oleh Silvia Gunawan, yang intinya: “Ingin mengembalikan Kebanggaan Nasional yang sebagian telah dinodai oleh segelintir orang.”
Di akhir November itu juga demonstrasi-demonstrasi mulai mengarah kepada dominasi Jepang dan peranan asisten pribadi Presiden (Aspri), yaitu Sudjono Hurmardani dan Ali Moertopo.[16] Demonstrasi ini berlanjut pada bulan Desember. Sejumlah kelompok aksi mengadakan demonstrasi menentang investasi Jepang dan investasi asing lainnya. Mereka menentang Aspri dan Ibnu Sutowo (presiden direktur Pertamina). Demonstran juga mengunjungi kantor Bappenas. DMUI mengorganisasi suatu acara pada malam yang memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mendeklamasikan “puisi-puisi penyelewengan”. Tanggal 18 Desember DMUI mengorganisasi pertemuan di mana para mahasiswa bertekad berjuang bagi perubahan.
Di antara aksi-aksi itu, menurut catatan Rum Aly, ada yang menarik dan unik, bahkan boleh dibilang lucu. Aksi dimaksud digerakkan oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang baru dibentuk dengan sasaran kantor Sekretariat Negara, Bappenas, Kopkamtib dan DPR. Menjadi menarik karena tokoh-tokoh KNPI yang turun, terutama pada hari pertama aksi, yakni anggota DPR/MPR yang juga anggota DPP Golkar David Napitupulu, anggota DPR Fraksi Demokrasi Perjuangan Drs Surjadi, Drs Zamroni (anggota DPR Fraksi Persatuan Pembangunan), Kapten TNI AU dr Abdul Gafur, Hatta Mustafa (anggota DPR Fraksi Karya Pembangunan), Eko Cokroyogo, Hakim Simamora, Nazaruddin, dan Letkol S. Utomo. Mereka merupakan sayap Ali Moertopo di Golkar.[17] Letkol S. Utomo merupakan ajudan Ali Moertopo yang menggalang kekuatan untuk menguasai DMUI.
Di Bappenas, David Napitupulu menuding para teknokrat itu “kurang bersifat terbuka dalam pelaksanaan tugasnya selama ini dan kurang responsif terhadap keadaan masyarakat.” Koran Sinar Harapan menyindir aksi mereka itu dengan karikatur sebagai “pahlawan kesiangan yang takut ketinggalan kereta.”
Di dalam DMUI sendiri, tentangan kepada Hariman mulai datang. Sepuluh fungsionaris—mahasiswa binaan Opsus—pada 28 Desember 1973 mengeluarkan mosi tidak percaya kepada kepemimpinan Hariman Siregar. Mereka memperingatkan bahwa gerakan protes mahasiswa tidak boleh disalahgunakan. Mereka mengatakan bahwa Hariman tidak pernah membuat agenda kegiatan dalam bulan terakhir yang dieksekusi atas nama DMUI. “Mosi itu jelas melanggar aturan organisasi. Yang mengangkat mereka saya, kok malah mereka mau mecat saya,” keta Hariman. Menghadapi mosi itu, Hariman dan para pengurus DMUI lainnya bertindak tegas. Hanya sehari kemudian, para pengusung mosi dipecat oleh Hariman, selaku Ketua DMUI.
Hariman tampaknya tidak mau membuang waktu mengurusi persoalan itu. DMUI tengah bersiap menyelenggarakan malam tirakatan pada 31 Desember 1973. Pada malam pergantian tahun itu, hadir juga dosen dan perwakilan dari berbagai dewan mahasiswa dari Jakarta, Bogor dan Bandung. Selengkapnya pidato yang diberi judul “Pidato Peryataan Diri Mahasiswa”[18] yang disampaikan Hariman adalah sebagai berikut:
Rekan-rekan sekalian,
Malam ini adalah malam yang istimewa bagi kita. Jika penutupan tahun-tahun lalu kita hanya sekadar berpesta atau tinggal di rumah, malam ini kita merasa perlu berkumpul di sini dan mencanangkan malan ini sebagai: “Malam Keprihatinan”. Tentu ada sebab-sebabnya. Sebab yang paling nyata adalah tahun 1973 yang telah menimbulkan kebingungan-kebingungan dan sejumalh pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu perasaan kita. Tetapi yang terang bagi kita, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, malam ini bukanlah malam pesta pora dan peragaan kemewahan. Tetapi sebaliknya, malam ini justru merupakan kesempatan untuk sejenak berhenti dari kesibukan kita sehari-hari dan merenungkan suasana prihatin yang kini sedang mencekam kita dan rakyat Indonesia pada umumnya. Tetapi lebih dari itu adalah bahwa protes kita terhadap keadaan yang tercermin dalam “Petisi 24 Oktober” ternyata menuntut kita untuk lebih menegapkan langkah dan menjernihkan pikiran agar kehadiran kita dalam masyarakat menjadi nyata dan berarti. Apalagi kalau kita bertekad untuk menanggung beban sejarah. Karena sejarah telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan besar selalu diawali oleh kibaran bendera Universitas.
Mari kita baca beban sejarah yang ada di depan kita. Beban kita adalah membebaskan rakyat dari penderitaan hidup sehari-hari. Beban kita adalah membuat rakyat yang menganggur untuk mempersoalkan kesempatan kerja dan pembangunan ekonomi yang tidak menguntungkan rakyat. Beban kita adalah mengetatkan gandengan dengan sesama generasi muda memikirkan masa kini dan masa depan. Ringkasnya, beban sejarah kita adalah menggalakkan keberanian rakyat untuk menyuarakan diri. Semua itu adalah beban yang tidak ringan—untuk tidak mengatakan berat sekali. Namun pada akhirnya berat atau ringan beban itu tetap merupakan beban kita. Sekali kita mengelak, untuk selamanya kita akan menjadi warga negara yang dikutuk sejarah. Tetapi yang terpenting bagi kita adalah menghentikan kebisuan yang ditimbulkan oleh himbauan kenikmatan yang dijanji-janjikan kepada kita. Dan juga kebisuan akibat feodalisme yang mementingkan sikap nrimo, apatis dan antipartisipasi. Artinya, kita harus membebaskan diri dari mitos-mitos yang menempatkan diri kita dalam posisi bisu dan terbelenggu. Misalnya, mitos bahwa cinta kasih dan kemurahan hati kelompok-kelompok kecil penguasa jika mereka berbuat baik adalah memang betul-betul dari hati yang tulus; mitos bahwa setiap ucapan dan setiap tindakan penguasa adalah untuk kepentingan rakyat; mitos bahwa pemberontakan terhadap nilai-nilai budaya feodal adalah berdosa untuk masyarakat.
Untuk bisa menilai situasi masa kini dan meraba kemungkinan masa depan, marilah kita teliti perkembangan yang terjadi di negara kita dalam bidang politik, ekonomi serta kaitannya dengan suasa internasional, yang satu sama lain sangat serat sekali hubungannya. Perkembangan ekonomi yang sangat mengejutkan akhir-akhir ini sudah tentu bukan hanya akibat dari suatu strategi pembangunan ekonomi semata-mata, etapi juga disebabkan oleh strategi politik yang dilancarkan sejak 1966. Setelah secara moral dan konstitusional Jenderal Soeharto menjadi Presiden di negeri ini, maka pembangunan ekonomi telah dijadikan alat legitimasi kekuasaan dan mitos baru yang banyak menimbulkan harapan. Tetapi ternyata perkembangan ekonomi telah menolak kemauan penguasa untuk menjadikan pembangunan ekonomi sebagai alat legitimasi kekuasaan dan mitos politik semata-mata. Hal ini disebabkan karena sikap penguasa yang demikian itu akan selalu menghasilkan keputusan-keputusan yang hanya menguntungkan kelompok yang ada di sekitar kekuasaan.
Akibatnya adalah bahwa kesibukan pembangunan dan pemerintah sendiri menjadi sesuatu yang asing dari rakyat. Dan lebih dari itu, kini telah terkesan dalam hati rakyat bahwa pembangunan ekonomi berarti penggusuran tanah, pemaksaan penjualan beras kepada pemerintah dan kehidupan yang semakin sulit di desa-desa. Sebaliknya bagi kelompok kecil di sekitar kekuasaan, pembangunan ekonomi merupakan saat yang memberi kesempatan kepada mereka untuk menumpuk kekayaan dan memuaskan nafsu terhadap barang-barang mewah. Kelompok ini terang berkepentingan untuk mempertahankan keadaan dengan segala macam peralatan dan cara dalam politik. Rakyat dengan demikian akan terus menerus menjadi pelengkap penderita yang dipaksa untuk diam dan tidak berdaya. Bagi kita generasi muda, kecenderungan ini merupakan bahaya yang mengancam pada saat ini dan di masa depan. Ancaman itu berupa pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau “mempersoalkan perkembangan masyarakat”, sehingga kita menjadi warga negara yang tidak peka terhadap situasi sekitar; kita hanya boleh menyibukkan diri dengan kegiatan yang menunjang pengukuhan politik dari segelintir orang yang menikmati kehidupan enak dan mewah dalam pembangunan.
Hasil nyata dari pembangunan ekonomi menurut kami adalah bwha sejak Pelita hingga berakhir nanti 1974, walaupun bertumbuh tujuh persen setahun, ketidakadilan sosial dan ekonomi semakin nyata. Ketidakadilan dan pengangguran semakin terasa dibanding dengan waktu-waktu yang lalu. Ini disebabkan bersatunya kekuatan-kekuatan ekonomi yang menguasai uang dan sumber-sumber ekonomi dengan kekuasaan politik dalam bentuk populer berupa kerjasama antara kelompok cina dan jenderal-jenderal. Tidak mengherankan jika sebagian rakyat yang tidak jenderal dan tidak cina tidak menikmati pembangunan ekonomi seperti sekarang ini. Terang bagi kita, sebagai unsur masyarakat dan universitas tidak mungkin menjadi cina dan jenderal sehingga alternatif pembangunan yang terbuka adalah menyadarkan jenderal-jenderal dan cina-cina menjadi warga negara biasa seperti sebagian rakyat. Kalau tidak, maka kemungkinan lain yang harus ditempuh. Pemerintah sering mendengung-dengungkan pembangunan ekonomi dalam bentuk ditekannya inflasi, meningkatnya pertumbuhan ekonomi, berlangsungnya industri-industri barang-barang dan jasa-jasa dalam kepesatan pertumbuhan yang fantastis. Tetapi kalau hasil-hasil itu dikuliti, sesungguhnya isinya tidak lebih dari berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di mana sebagian kecil masyarakat menghisap bagian terbesar rakyat. Ini bukan mengada-ada, karena tidak kurang dari seorang Dr. Hatta, seorang konseptor ide pembangunan ekonomi dalam UUD ’45 menyatakan demikian. Kalau seorang seperti Dr. Mohammad Hatta yang mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah bangsa kita telah menyatakan demikian, sulit bagi pemerintah untuk berdiam diri. Pada kesempatan ini kami ingin mengajukan pertanyaann pada pemerintah: Apakah pembangunan ekonomi sudah menyeleweng dari UUD ’45 atau tidak? Kalau memang benar, dan kami yakin benar, kami serukan kepada pemerintah untuk mengoreksi sistem ekonomi sekarang. Kalau tidak, mari kita bersama-sama mengoreksi pemerintah.
Pada saat ini sering dikemukakan bahwa ekonomi Indonesia sangat tergantung pada modal asing. Juga sering dikemukakan bahwa kekuatan ekonomi asing hanya menguras sumber-sumber alam yang kita punyai dan sebaliknya atas jasa-jasanya itu mereka membanjiri Indonesia dengan barang-barang mewah yang hanya bisa dibeli oleh kelompok kecil yang berkuasa. Kami ingin mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada rekan-rekan sekalian. Apakah kita perlu mengimpor tusuk gigi? Apakah kita perlu berpuluh-puluh ribu mobil mewah setiap bulan? Apakah perlu kita mengimpor pakaian-pakaian mewa dari rumah-rumah mode di Paris? Apakah perlu kita mengimpor sepatu yang harganya lima belas kali dari harga sepatu dalam negeri? Apakah kita perlu mengimpor film-film yang bertendes asosial? Bukankah akan lebih baik kalau kita memikirkan usaha-usaha penggunaan produksi kita sendiri yang mungkin kalah mentereng, tetapi sama kegunaannya? Sehingga kita tidak perlu membuang bermilyar-milyar rupiah untuk mengimpor barang-barang mewah tadi. Kalau ini bisa dilakukan maka ladang-ladang minyak yang akan habis nanti, hutan-hutan kita yang akan gundul nanti dan karet yang kegunaannya yang semakin menurun di masa mendatang, tidak menyebabkan Indonesia tenggelam bersamanya.
Sebaiknya marilah kita dengan kepala dingin meneliti secara mendalam masalah-masalah yang kedengarannya mentereng, yaitu masalah internasional. Soal-soal internasional ini betatapun juga besar pengaruhnya kepada kita dan seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah Orde Baru telah memulai arah politik luar negerinya dengan suatu kebijaksanaan yang jalin-menjalin dengan kepentingan perekonomian negara pada saat itu, yang tercakup di dalam pernyataan pemerintah tertanggal 4 April 1966. Kondisi perekonomian Indonesia yang telah membawa beban berat kepaa rakyat Indonesia pada masa Orde Lama telah sama kita ketahui. Kondisi perekonomian demikian itulah yang menggariskan kebijaksanaan luar negeri yang menitikberatkan kepada usaha-usaha penanggulangan dengan mencari sumber-sumber luar sebagia suatu jalan keluarnya.
Masalah bantuan luar negeri dan modal asing merupakan gejala yang wajar, suatu gejala yang menunjukkan adanya saling ketergantungan antarbangsa di dunia. Masalah saling ketergantungan ini terutama pada tingkat peradaban dunia sekarang adalah masalah yang tidak bisa dihindarkan. Akan tetapi sudah barang tentu saling ketergantungan ini meminta persyaratan-persyaratan. Persyaratan utama adalah seberapa jauhkah ia membawa keuntungan kepada masing-masing pihak yang terlibat. Jadi diperlukan persyaratan yang kedua, yaitu bahwa pihak-pihak yang terlibat harus menjaga kemampuan kondisi dalam negerinya sendiri, agar mendapatkan posisi yang sederajat, dan demikian pula mencegah ketergantungan sepihak.
Demikianlah, maka pernyataan pemerintah 4 April 1966 itu telah berkembang menjadi suatu keadaan di mana perekonomian negara ditopang oleh lima sektor. Pertama adalah bantuan luar negeri; kedua, modal asing; ketiga, adalah ekspor karet; keempat, minyak bumi; dan kelima adalah kayu. Sedangkan kita ketahui bahwa peningkatan hasil-hasil ekspor karet, minyak bumi dan kayu pun tidak mungkin, tanpa ditunjang oleh sumber-sumber luar tadi. Dengan ini jelaslah betapa memang bantuan luar negeri dan modal asing merupakan faktor pokok dalam perekonomian negara, dan bukanlah faktor pelengkap sebagaimana sering kali dikemukakan oleh para pejabat. Betapapun memang ada kenaikan dari hasil ekspor kita secara keseluruhan, akan tetapi ketergantungan tadi tetap faktor pokok, yang jelas dipertunjukkan, misalnya oleh kenaikan-kenaikan pinjaman lewat IGGI.
Sumber-sumber luar yang masuk ke Indonesia cenderung diusahakan dari negara-negara Barat (termasuk Jepang) daripada negara-negara sosialis. Kondisi obyektif kelihatan memperkeras kecenderungan tadi. Akan tetapi masalahnya adalah timbul gejala-gejala yang membatasi aliran-aliran sumber tadi. Pembatasan-pembatasan ini berasal dari dalam negeri berupa kecaman yang pedas dari masyarakat terhadap bantuan luar negeri dan modal asing dari negaranya, berupa tuntutan pula untuk lebih meningkatkan kondisi sosial ekonomi sendiri. Pembatasan yang berasal dari perkembangan dunia Internasional berupa keguncangan moneter, dan yang terlebih dirasakan adalah kelangkaan dari sumber-sumber alam (bahan mentah), yang sekaligus menunjukkan betapa sebenarnya negara-negara menengah untuk memperjuangkan kepentingannya bisa saja berperan dalam menghadapi negara-negara besar.
Oleh karena pembatasan-pembatasan yang datang dari negara-negara Barat, maka semakin besarlah peranan Jepang dalam mengalirkan sumber-sumbernya kepada negara-negara di Asia Tenggara. Dan sudah barang tentu hal inipun dialami oleh Indonesia.
Apabila kita kembalikan kepada masalah saling ketergantungan antara bangsa, khususnya antara Jepang dan Indonesia, maka ada masalah yang akan timbul. Dari Jepang sebagai suatu negara dengan tingkatan teknologi yang tinggi diharapkan dapat memberikan modal, pengalihan teknologi dan industri, pengalihan keahlian pengolahan dan penggalian sumber-sumber alam, dan lain-lain. Sedangkan dari Indonesia, diharapkan memberikan sumber-sumber alam bagi industru-industri Jepang dan sebagai pasar dari barang-barang industri Jepang. Akan tetapi di balik semua itu, ada cerita tersendiri mengenai Jepang ini. Upah buruh yang terus menanjak dan pengotoran udara memaksa pengalihan pabrik-pabrik padat karya ke negara-negara lain, antara lain pabrik tekstril ke Indonesia. Sedangkan politik minyak bumi Arab telah menunjukkan sebenarnya betapa lemah kekuatan ekonomi Jepang, pula menunjukkan betapa sebenarnya Indonesia sebagai salah satu penghasil minyak bumi yang cukup besar, bisa bermain pula dalam hubungan saling ketergantungan ini.
Akan tetapi, dan di sinilah letak masalahnya, kita tidak mempergunakan kekuatan-kekuatan kita ini. Dalam masalah minyak saja, sistem ijon yang dibawa dalam kontrak, telah menempatkan Indonesia pada posisi yang “konyol” di saat harga-harga minyak di dunia menanjak yang tidak kita nikmati. Keadaan itu pulalah yang sekaligus mentertawakan solidaritas negara-negara tetangga sebab kitapun tidak bisa menolong sesama negara tetangga yang kekurangan bahan bakar, oleh karena keterikatan dengan Jepang ini. Dalam usaha perkayuan (dan khusus untuk soal ini marilah kita berdoa mudah-mudahan hutan kita tidak habis gundul, sebagai nasib yang dialami oleh Filipina melalui kontrak dengan Jepang pula). Laporan Komisi IV telah menunjukkan betapa kerugian-kerugian berada di pihak kita dan betapa bisnis perkayuan telah memberikan keuntungan besar bagi investor asing.
Hubungan Indonesia-Jepang telah semakin menempatkan Indonesia dalam posisi ketergantungan dan sekaligus apabila dikaitkan pada sistem internasional, mala kelemahan Indonesia telah semakin menempatkan negara ini sebagai tawanan dan bukan sebagai peserta dari sistem internasional tersebut.
Kelemahan Indonesia dalam penggunaan kekuatan-kekuatannya, sebenarnya disebabkan oleh Indonesia sendiri. Di sinilah terletak kelemahan dari segi pengawasan di dalam sistem kita sendiri. Jelas bahwa konstelasi politik dan kondisi-kondisi ekonomi dan cara-cara elite penguasa untuk memperbesar porsi “posisi tukar”-nya di dalam negeri, telah mengintepretasikan dan mengambil bagian kepada kebijaksanaan luar negeri Indonesia, dan kesemuanya ini tidak memberikan kesatuan dalam kebijaksanaan tadi dan sudah barang tentu melemahkan posisi Indonesia dalam sistem internasional ini.
Persoalannya terletak kepada saling kait mengkaitnya kepentingan dari elite penguasa dalam kekuasaan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi. Ini semua bahkan menjadi suatu gejala yang membahayakan bagi kehidupan bernegara dari Indonesia, apalagi apabila dihubungkan dengan pernyataan dari Bung Hatta di tahun 1970 bahwa korupsi telah membudaya. Jadi, kepentingan dari elite penguasa dalam kompetisi kekuasaan telah berkompetisi pula untuk memperoleh sumber-sumber politik (uang, informasi, massa, dan lain-lain), yang kesemuanya mengeraskan kecenderungan korupsi. Apabila kita kembalikan kepada sektor-sektor yang menunjang perekonomian negara, maka bantuan luar negeri dan modal asing menjadi faktor pokok, malahan turut memperkeras kompetisi korupsi dalam mendapatkan sumber-sumber politik, untuk mendapatkan posisi tukar yang lebih baik dalam porsi kekuasaan.
Jadi baiklah kita menerima kenyataan pahit bahwa kenaikan bantuan luar negeri dan modal asing adalah merugikan kepada Indonesia. Masalahnya adalah bahwa sumber-sumber luar tadi tidak menguntungkan rakyat banyak, masalahnya karena sumber-sumber luar tadi tidak sampai kepada rakyat banyak. Jelas bahwa elite penguasa di Indonesia tidak mau bertanggung jawab untuk soal ini. Padahal, apabila kita mempersoalkan nasib bangsa, ada pelajaran berharga dari sejarah.
Sejarah misalnya telah mencatat akibat hubungan saling ketergantungan antara Amerika Serikat dan negara-negara sedang berkembang, terutama Amerika Latin. Pada dekade tahun 1950-an, arus modal dari Amerika Serikat lebih banyak diarahkan kepada negara-negara sedang berkembang, terutama negara-negara Amerika Latin. Dalam hal ini Amerika Serikat menjual barang-barang industrinya dan menanam modal di sana, sedangkan Amerika Latin menjual sumber-sumber alamnya. Akan tetapi kecenderungan ini berubah. Pada dekade tahun 1960-an, arus modal Amerika Serikat lebih banyak mengalir ke negara-negara maju, dalam hal ini terutama Eropa Barat. Jadi yang terjadi selanjutnya adalah bahwa interdependensi dari negara maju kepada negara sedang berkembang beralih menjadi interdependensi dari negara-negara maji dengan negara-negara maju, sedangkan negara-negara yang sedang berkembang (Amerika Latin) tadi malahan semakin tergantung kepada Amerika Serikat dalam teknologi dan industri, menjadi pasar barang-barang industri Amerika Serikat, dan sementara itu sumber-sumber alamnya disedot dan diolah untuk kepentingan Amerika Serikat.
Ini yang kami khawatirkan akan terjadi dalam hubungan antara Indonesia dan Jepang. Apalagi Jepang telah menunjukkan kebuasan dalam cara-cara mengeruk keuntungan. Dengan demikian, sebenarnya hubungan Indonesia dan Jepang bukan saling ketergantungan akan tetapi ketergantungan sepihak yaitu dari Indonesia terhadap Jepang. Dan apabila tidak ditinjau kembali kami kira jangan-jangan nasib Indonesia akan sama dengan nasib negara-negara Amerika Latin tersebut di atas.
Maka, rekan-rekan kalau ini yang terjadi, tahun 1974 dan seterusnya hanyalah pengulangan sejarah sebelum kemerdekaan kita dijajah Jepang. Sudah tentu bentuknya berlainan karena bila dulu yang ada adalah Kempetai Jepang, maka sekarang namanya menjadi Toyota, Mitsubishi, Mitsui, dan lain-lain. Kempetai atau Mitsubishi tidak lain memunyai tugas menghisap bangsa, kekayaan alam dan darah rakyat Indonesia. Sebagaimana kita dulu menolak Kempetai, sekarang kita pun harus bangkit melawan dominasi Jepang.
Rekan-rekan sekalian,
Tibalah kami pada akhir pidato ini. Pidato ini saya tutup dengan mengemukakan kesimpulan dan langkah lanjut dari perjuangan mahasiswa.
Tidak ada hasil yang diperoleh tanpa kerja keras, tanpa perjuangan dan tanpa keberanian. Karena kalau kita tidak mau dikekang, diancam, baik oleh kekuasaan ataupun cecunguk-cecunguknya, maka kita mahasiswa harus berani bersikap dan bergerak untuk mewujudkan pendapat-pendapat yang telah diperolehnya. Ingat, pada akhirnya yang menentukan bukanlah analisa yang bagus-bagus yang ilmiah, tetapi tindak nyata yang mengubah keadaan.
Kepada tukang becak, mari abang-abang, kita bergerak bersama untuk membuka kesempatan kerja. Kepada para penganggur yang puluhan juta, yang berada di desa-desa dan kota-kota untuk bergerak untuk kesejahteraan sosial. Kepada warga negara Indonesia yang bekerja pada perusahaan asing, mari kita bergerak untuk menuntut persamaan hak dengan karyawan-karyawan asing. Dan akhirnya kepada para koruptor penjual bangsa, pencatut-pencatut sumber alam Indonesia yang mengejar-ngejar komisi sepuluh persen, kami serukan bersiap-siaplah menghadapi gerakan kami yang akan datang.
Akhirnya terima kasih atas kesediaan rekan-rekan yang bersedia mengorbankan waktunya menghadiri malam tirakatan ini menjadi titik tolak kita yang penting dalam proses peragian menuju perjuangan baru. Fajar telah menyingsing, horison baru mulai tampak.
Selamat tinggal 1973 dan selamat datang tahun baru 1974. Kita semua sudah siap menjalaninya.
Terima kasih.
Jakarta, 31 Desember 1973
Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia
Hariman Siregar
Pidato yang disampaikan Hariman ini kelak dituding sebagai seruan untuk melakukan gerakan makar terhadap pemerintah. Apalagi pada bagian akhir pidato ditujukan juga kepada masyarakat lain di luar mahasiswa. “Kebetulan pula pada malam itu hadir tokoh serikat buruh dari Tanjung Priok, Salim Kadar[19],” kisah Theo L. Sambuaga.
Padahal, kata-kaca kunci yang menyerang strategi pembangunan pemerintah dan juga keadaan rakyat, telah menjadi bahasa umum dari kalangan kampus pada saat itu. Kata-kata itu telah tampak—terutama—setelah Petisi 24 Oktober. Artikel-artikel yang dimuat di surat kabar juga lebih banyak memuat tentang ketimpangan ekonomi dan pembangunan yang terjadi. Sebulan lebih sebelum malam tirakatan, menurut catatan Jenderal Besar A.H. Nasution, dewan mahasiswa se-Yogyakarta telah mengeluarkan pernyataan yang lebih kurang sama. Kutipan tidak lengkap yang disalin oleh Nasution dari pernyataan DM se-Yogyakarta pada 16 November 1973 itu berbunyi[20]:
- Masalah yang dihadapi negara-negara sedang berkembang, seperti halnya Indonesia dalam upaya bangkit dari strategi ekonomi mengalami hambatan-hambatan karena banyak kekurangan. Kekurangan modal, kekurangan skill, kekurangan entrepreneur, dan seterusnya. Tetapi juga karena faktor sosio-kulutral warisan sejarah yang tak bisa begitu saja ditampik yang sering tidak menguntungkan pembangunan, bahkan kerap sekali justru menghambat pembangunan. Terlebih karena sistem politik yang dianutnya, dan ini mempunyai implikasi terhadap strategi pembangunan yang dipilihnya.
- Indonesia beberapa tahun terahir ini telah berupaya keras untuk membangun dirinya. Teruskan strategi pembangunan yang dikenal dengan Pelita dan mencoba mengambil manfaat dari bantuan luar negeri, modal asing, perdagangan internasional. Jadikan modal asing sebagai suplemen dari kekurangan modal di dalam negeri.
- Secara teoritis bantuan luar negeri dapat membantu negara-negara sedang berkembang. Tapi pada akhirnya tergantung pada negara berkembang itu sendiri dalam mengelolanya. Ia bisa sangat membantu pembangunan. Atau ia hanya menguntungkan pembangunan dalam jangan pendek, tetapi bebas untuk jangka panjang, seperti apa yang dialami Korea Selatan yang jadi obyek negara-negara besar untuk dapat dikeruk bahan mentahnya, sambil kemudian melemparkan hasil produksinya.
- Strategi pembangunan Indonesia, yang mengutamakan kenaikan produksi dengan pendekatan GNP-nya, ternyata tidak memecahkan masalah-masalah Indonesia. Masalah pengangguran, pendidikan, kenaikan jumlah penduduk, bahkan soal pangan, belum terselesaikan. Karena ternyata kenaikan GNP yang sedikit itu tidak dengan sendirinya dinikmati oleh rakyat banyak. Malah sebaliknya, kenaikan itu didapat dengan mengorbankan sebagian besar rakyat. Produksi tidak dilanjutkan dengan distribution of income yang merata. Ini bukan tak bersengaja, seperti dikatakan Presiden Soeharto pada tiga tahun yang lalu: “Kita perlu memperbesar kue nasional dulu, baru nanti membaginya.” Tapi timbul pertanyaan, sampai seberapa besarkah kue itu baru dibagi? Presiden Soeharto tak setuju itu dibagi sekarang, seperti dikatakannya dalam kesempatan yang sama, “Keadilan dalam kemiskinan sama saja dengan membagi kemelaratan.” Jika ini dapat dianggap sebagai ungkapan dari strategi pembangunan tadi, maka kita berkesimpulan: Pembangunan sekarang ini gagal bukan karena kurang rapi pelaksanaan, tapi gagal karena konsep.
- Bantuan internasional, seperti yang diorganisasi oleh IGGI, dibangu atas berbagai motif. Ini jelas. Ini bisa dilihat dari macam-macam persyaratan pelaksanaan bantuan itu. Dan persyaratan ini adalah kesempatan pertama bagi negara donor untuk mendapatkan kontraprestasi, kontrajasa. Bukan hanya kadang-kadang kita harus membeli barang yang tak kita butuhkan dalam pembangunan. Dan tak jarang kita membeli dengan harga yang lebih mahal dari pasaran bebas.
- Baik kita terima saja maksud baik IGGI membantu Indonesia seperti yang sering ia ucapkan. Tapi sampai ke manakah maksud tersebut terealisasi? Setidaknya, perlu diteliti maksud baik tersebut dalam realitasnya. Kalaupun tidak sopan untuk mengatakan gagal, kita akan mengatakannya masih jauh dari harapan. Kiranya ada dua faktor penyebaran, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Yang eksternal mungkin di luar kemampuan Indonesia, tetapi yang internal adalah soal Indonesia, yaitu:
- Strategi pembangunan: Strategi pembangunan sekarang selalu mengutamakan kenaikan GNP dan mengabaikan pemerataan pendapatan. Sehingga, bantuan tersebut hanya dinikmati sebagian kecil rakyat saja. ambil contoh pabrik Bogasari, ini hanya dinikmati segelintir kecil rakyat Indonesia yang mampu makan roti. Harap diingat roti di Indonesia itu luks. Lagi pula pabrik tersebut hanya mampu menampung sedikit tenaga kerja, karena pabrik tersebut serba-otomatis—padat modal.
- Karena aparat pelaksana sama sekali bebas kontrol, bukan karena ia ditakdirkan jahat. Tapi ketiadaan kontrol-lah yang membuat ia jadi bajingan sambil berbuat kebajikan. Harap diketahui biarpun kita punya badan legislatif, tapi ia sama sekali tak berfungsi. Ini berhubungan dengan sistem politik yang belum terpecahkan. Contoh di bawah ini akan memperterang ketiadaan kontrol tersebut. Indonesia membeli gandum dari Australia dengan harga yang telah dinaikkan dua kali lipat. Karena kita sudah dipinjami uang untuk membeli pabrik, kita terus butuh biji gandum. Mengapa ini terjadi? Karena pejabat itu lebih berpihak kepada kantongnya daripada kepada kepentingan rakyat. Sementara diketahui Australia dianggap negara donor terbaik. Bayangkan apa yang terjadi dengan Jepang, yang dikenal dengan “binatang ekonomi”.
- Dalam keadaan seperti sekarang ini, luar negeri hanya beban masa depan. Bantuan asinglah yang mendorong masuknya barang-barang mewah ke Indonesia yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebutuhan pembangunan kita. Ini penghamburan devisa yang tak normal. Lebih-lebih bantuan luar negeri, modal asing telah makin mempertajam perbedaan tingkat hidup antara yang kaya dan yang miskin. Si kaya makin maju karena bantuan asing, si miskin yang subsistence tetap tak berdaya bangkit. Sebagai ilustrasi dapat diberi data: di Jakarta tiap bulan bertambah 3.000 mobil, dari merk termewah di dunia sampai mobil mini dari Jepang. Apakah ini perlu dan produktif?
- Indonesia harus membenahi kembali dirinya, merumuskan kembali strategi pembangunannya. Dan Indonesia harus merumuskan dengan jelas apa ang akan didapatnya dari bantuan luar negeri itu. Tanpa itu, maksud baik dari negara donor hanya jadi kebalikan yang membawa malapetaka. Dan sampai rumusan kegunaan bantuan itu jelas dalam suatu strategi pembangunan yang didukung oleh aparat yang bersih, bantuan menjadi sia-sia dan layak dicurigai bahkan harus ditolak.
Jadi, tampak jelas sepanjang paruh kedua tahun 1973, muncul berbagai kegiatan aksi pemuda dan mahasiswa sebagai wujud peran-serta mereka untuk “memperbaiki keadaan” ketika itu. “Gerakan kaum muda saat itu ingin menunjukkan bahwa kaum muda bisa melakukan perubahan dan perbaikan keadaan negeri ini,” tegas Hariman.
Unduh buku: Hariman & Malari; Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing
[1] C. Van Dijk. 2000. Pengadilan Hariman Siregar, Jakarta: TePLOK PRESS.
[2] Heru Cahyono. 1998. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
[3] Eep Saefulloh Fatah. 2010. Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru; Manajemen Konflik Malari, Petisi 50 dan Tanjung Priok, Jakarta: Burunga Merak Press.
[4] Antara lain, Donald Hindley, Indonesia 1970, Asian Survey, Februari, 1971, hal. 115. Juga, Ingrid Palmer, The Indonesian Economy Since 1965, Londres, 1978, hal. 196.
[5] Lihat Hariman Siregar; Gerakan Mahasiswa 1970-an; makalah pengantar diskusi dalam pertemuan “Mengembangkan Wawasan ke-2” yang diselenggarakan oleh mahasiswa Indonesia di Kanada dan Amerika Serikat, bertempat di Madison-Wisconsin, USA, 4 Juni 1995.
[6] ibid
[7] Hadir Hanya Bersarung Saja, Majalah Tempo, 10 November 1973.
[8] Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution. 2008. Mengawal Nurani Bangsa, Jilid III: Bersama Mahasiswa “Aset Utama Pejuang Nurani”, Jakarta: Yayasan Kasih Adik bekerjasama dengan Disbintalad.
[9] Ricardo Iwan Yatim, dkk. 1994. Hati Nurani Seorang Demonstran: Hariman Siregar, Jakarta: PT Mantika Media Utama Jakarta.
[10] Rum Aly. 2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
[11] Rum Aly. 2004. Opcit.
[12] Rum Aly. 2004. Opcit.
[13] C. Van Dijk. 2000. Opcit.
[14] C. Van Dijk. 2000. Opcit.
[15] Balai Budaya kala itu menjadi tempat berkumpul aktivis, seniman, wartawan dan juga mahasiswa (non organisasi kampus). Di antara yang aktif di tempat ini adalah Arief Budiman, Sjahrir, Jajang Pamuntjak, Silvia Gunawan (keduanya mahasiswi UI), Joppie Lasut (wartawan lepas), Jesse Arnold Monintja (KAPPI dan mahasiswa Trisakti), Jusuf Achya Rais (Ketua KAPPI Jakarta 1966).
[16] Aspri (asisten pribadi) dibentuk Soeharto sejak bulan Juni 1968, dengan anggota para perwira AD yang loyal kepadanya: Mayjen Surjo, Brigjen Ali Moertopo, Brigjen Soedjono Hoemardani, dan Kolonel Widya Latief. Pembentukan Aspri ini setelah sebelumnya Spri (staf pribadi) ditentang oleh KAMI. Spri beranggotakan enam perwira AD dan dua spesialis sipil yang bertugas memberi masukan bidang ekonomi dan politik: Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara (koordinator), Mayjen Surjo, Brigjen Yoga Sugama, Kolonel Ali Moertopo, dan Kolonel Soedjono Hoemardani. Spri dibentuk pada bulan Agustus 1966, 8 bulan sebelum Soeharto diangkat sebagai pejabat presiden. Substansi kedua lembaga itu sama, menjadi “kabinet bayangan” yang hubungannya dengan presiden sangat personal dan lentur, tidak dibatasi oleh birokrasi dan memiliki kelonggaran dalam anggaran. Pada demonstrasi 1973, penentangan terhadap Aspri bertambah kencang.
[17] Rum Aly. 2004. Opcit.
[18] Ricardo Iwan Yatim, dkk. Ibid.
[19] Setelah Malari, Salim Kadar, Ketua I Serikat Buruh Maritim Indonesia sempat ditangkap, namun dilepaskan kembali.
[20] Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution. 2008, opcit.
red/prb/ sumber : airlambang.wordpress.com