Lembaga Survey Siapa yang Bayar?

0
1394

Oleh: Tjahja Gunawan
(Penulis, Wartawan Senior)

Kurang dari sebulan menjelang hari pencoblosan Pemilu 2019, berbagai lembaga merilis hasil survey. Diskusi dan pembahasan hasil survey ini sebenarnya lebih merupakan isu elitis dan konsumsi informasi bagi kelompok menengah yang melek politik. Bukan concern masyarakat lapisan bawah.

Mereka yang sibuk membicarakan angka-angka jelang Pilpres 2019, sering terjebak pada angka hasil survey. Apakah besaran angka itu menguntungkan pilihan capres idamannya atau tidak ?.

Deretan angka-angka survey itu sebenarnya menjadi tidak berarti apa-apa manakala angka Pilkada atau Pemilu, hasilnya terpaut jauh dengan survey.

Tidak percaya ? Coba kita lihat contoh hasil survey dengan angka riil hasil pilkada. Angka-angkanya berbeda jauh.

Menjelang pencoblosan Pilkada DKI tahun 2017, sejumlah lembaga survey merilis datanya masing-masing. Charta Politika menyebutkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno hanya mendapatkan suara 44,8 %. Indomatrik 48,4 %, SMRC 47,9 % dan Indikator 48,2 %. Padahal, hasil akhir Pilkada DKI Jakarta pasangan Anies-Sandi memperoleh 57,9 % suara.

Yang menyedihkan pernyataan dari Lembaga Lingkar Survey Indonesia (LSI) yang dipimpin Denny JA. Sebagaimana diberitakan Tempo.co pada 17 Januari 2017, LSI menyebutkan bahwa pasangan Anies-Sandi, akan tersingkir pada putaran pertama. Pilkada DKI 2017 berlangsung dua putaran. Ada tiga paslon yang maju yakni pasangan Anies-Sandi, Ahok-Djarot dan Agus Harimurti-Silvy.

Yang maju ke putaran kedua adalah Anies-Sandi dan pasangan Ahok-Djarot. Alhamdulillah, pasangan Anies-Sandi akhirnya menang dengan perolehan suara 57,9 % sementara Ahok-Djarot hanya mampu meraih suara 42,4 %.

Padahal, sebagai petahana Ahok-Djarot waktu itu banyak mendapat mendapat dukungan birokrasi dan aparat serta bantuan logistik.

Jauhnya perbedaan data antara hasil survey dengan hasil riil Pilkada, juga terlihat pada Pilgub Jabar dan Jateng. Dengan potret seperti itu, masihkah kita percaya dengan Lembaga Survey?

Kalau sekarang ramai dibicarakan tentang perseteruan antara Denny LSI yang dalam Pilpres 2019 ini dibayar Paslon 01 Jokowi-Ma’ruf Amin dengan hasil survey Litbang Kompas, sesungguhnya LSI diuntungkan karena lembaganya tetap dibicarakan orang lain walaupun reputasinya sudah anjlok.

Membandingkan kinerja LSI Denny JA dengan berbagai kegiatan penelitian dan survey yang dilakukan Litbang Kompas, ibarat membandingkan gajah dan semut. Yang satu bernaung dibawah institusi pers yang sudah mapan, sementara yang satunya lagi hanya lembaga survey dan konsultan politik bayaran.

Seperti halnya pendukung fanatik Paslon 01, Denny JA mengharapkan Litbang Kompas bisa merilis hasil survey yang menyenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Tapi publikasi hasil survey Litbang Kompas diluar ekspektasi Denny JA dan para pendukung buta Paslon 01. Hari Rabu lalu, 
Litbang Kompas merilis hasil survei Pilpres 2019 dengan hasil elektabilitas Joko Widodo 49,2% dan Prabowo Subianto 37,4%. Sebanyak 13,4 % responden menyatakan rahasia.

Meskipun Litbang Kompas menyebutkan elektibilitasnya Jokowi masih unggul dibandingkan Prabowo, tetapi Denny JA dan pendukungnya tetap kecewa dengan angka 49,2 %. Mereka maunya angka elektibikitas Jokowi bisa lebih besar lagi.

Karena merasa kecewa dengan Kompas, Denny JA kemudian menuduh bahwa hasil survey Litbang Kompas terpengaruh kedekatan Pemred Kompas Ninuk Mardiana Pambudy dengan Capres Prabowo Subianto.

Seperti diberitakan Detik, Pemred Kompas Ninuk menjelaskan, meskipun posisi Litbang Kompas berada di bawah redaksi tapi tetap independen. Litbang Kompas menentukan metodologi sendiri, memilih tenaga survei sendiri, dan pembiayaan berasal dari Kompas.

“Bahkan pimpinan di atas saya pun tidak bisa apa-apa terhadap survei ini,” tegas Ninuk.

Survey Litbang Kompas itu digelar pada 22 Februari-5 Maret 2019 dengan melibatkan 2.000 responden yang dipilih secara acak dengan menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 34 provinsi Indonesia. Margin of error survei ini plus-minus 2,2 persen dengan tingkat kepercayaan 95%.

“Metodologi yang dipakai Kompas itu sampelnya memang 2.000 responden, terus kita memilih 500 kelurahan dan desa. Di tiap kelurahan dan desa itu kita ambil 4 responden dengan sebaran itu. Sebarannya berdasarkan proporsi penduduk dan ditambah juga ada data-data dari BPS. Jadi potensi-potensi desa dan kelurahan itu kita ambil dari data resminya BPS,” jelas Ninuk.

Kekecewaan Denny JA dan pendukung fanatik Jokowi terhadap hasil survey Litbang Kompas, ibarat orang tidak bisa menari tapi yang disalahkan tempat menarinya. Wallahu’alam.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.