By : Chazali H.Situmorang ( Pemerhati Kebijakan Publik – Dosen FISIP UNAS)
Saya mungkin satu dari banyak orang yang simpati dan senang melihat penampilan AHY. Santun, bicara teratur, terdidik, dan memang menunjukkan penampilan dan postur tubuh yang ideal sebagai generasi milenial, dan mempunya masa depan yang prospek dalam bidang politik.
Tetapi sayang, dan teramat sayang, terlihat sekali tidak dapat melepaskan diri dari bayang-bayang orantuanya yang 10 tahun menjadi Presiden, dan pendiri serta ketua Umum partai papan tengah yang pernah papan atas yaitu Demokrat.
Tidak ada upaya AHY untuk menjadi dirinya sendiri, tanpa harus tergantung dan memaksakan diri sebagai cermin SBY, karena mereka itu berada pada generasi yang berbeda. Demikian juga banyak yang mencermati, tidak ada upaya Pak SBY untuk mendorong AHY menjadi figur dengan karakter sendiri, manidiri dan dilatih untuk berani membuat keputusan sendiri, dan siap dengan resiko dari keputusan yang diambil.
Seharusnya, Pak SBY mendorong AHY untuk melakukan kajian yang mendalam atas tawaran Presiden Jokowi ke Istana kepada AHY, rundingkan dengan petinggi partai Demokrat dan partai koalasi.
Hitung untung rugi dan dampak politiknya. Banyak yang menduga, bahwa keputusan AHY memenuhi undangan “politik” Presiden Jokowi beberapa hari yang lalu atas penugasan dari SBY. Kalau sudah demikian semua petinggi partai Demokrat menjadi sakit gigi secara serentak, dan sibuk memberikan alasan-alasan untuk menenangkan para pendukung Paslon 02.
Banyak para analis mengkaitkan dorongan SBY kepada AHY untuk hadir ke istana, sebagai bentuk tidak _happy_ nya SBY atas rekomendasi Ijtima Ulama III, yang mendorong diskualifikasi Paslon 01, dan menuntuk KPU menghentikan Situng KPU karena adanya puluhan ribu kecurangan.
Kita semua sudah tahu, SBY itu tidak ‘suka’ poliitk indentitas. Dan pernah mengirimkan surat kepada petinggi partainya untuk mengingatkan kepada Prabowo dalam kampanye putaran terakhir di Jakarta, untuk tidak menonjolkan politik identitas. Surat tersebut sempat menjadi pembicaraan yang hangat walaupun dapat segera di dinginkan kembali.
Boleh jadi, kedatangan AHY memenuhi undangan Presiden Jokowi membawa pesan SBY kepada Jokowi tentang Ijtima Ulama III tersebut. Targetnya ya sudah jelaslah. Indikasinya cukup kuat, yang disampaikan AHY pada wartawan seusai ketemu Presiden Jokowi, terkait Pemilu, “kita harus sabar menunggu selesai perhitungan suara sampai 22 Mei 2019”. Saya mencoba mencermati kata demi kata, tidak ada ungkapan kekecawaan atas berbagai kecurangan di TPS, maupun adanya kesalahan input data yang sangat masif.
Singkat kata AHY sedang di remote sang ortu dari Singapura untuk melakukan manuver politik, dalam suasana situasi poltik yang sedang memanas, dengan tujuan tentu target-target politik yang hanya Pak SBY yang tahu, bahkan saya khawatirkan AHY sendiri juga tidak tahu.
Kemungkinan juga, Pak Prabowo sudah membaca manuver politik pak SBY tersebut , sehingga tidak jadi ke Singapura menemui SBY sekalian menjenguk Bu Ani.
Mungkin Demokrat ingin membangun poros tengah, dengan membangun aliansi sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan sesaat. Silahkan saja Demokrat membuat aliansi poros tengah, tetapi polanya harus jelas, karakter nya juga harus teridentifikasi, dan juga harus ada idiologi partai yang terukur dan compatibel, untuk mencegah partai dijadikan kenderaan politik saja bagi para pecundang.
Semoga AHY menemukan identitas dirinya secara utuh dan tangguh, sebagai bentuk kesiapan jika sudah waktunya akan menggantikan sang ortu sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Cibubur, 4 Mei 2019