Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrin mengatakan pihaknya menganggap kepolisian sebagai musuh kebebasan pers.
Sasmito menjelaskan kepolisian jadi pihak dominan dalam daftar kekerasan yang dilakukan terhadap jurnalis, termasuk saat unjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR RI pada 23-24 September 2019.
“Di beberapa tahun terakhir, AJI selalu memosisikan polisi sebagai musuh kebebasan pers karena pelakunya cukup dominan dalam beberapa tahun terakhir,” kata Sasmito saat ditemui di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (29/9).
Dari Mei 2017 hingga 2018, ada 75 kasus kekerasan terhadap wartawan yang dicatat AJI. Sebanyak 24 kasus di antaranya dilakukan oleh polisi.
AJI juga mencatat ada 26 kasus kekerasan oleh polisi terhadap jurnalis pada Januari hingga Agustus 2019. Belum termasuk sepuluh kasus kekerasan dalam peliputan unjuk rasa pada 23-24 September 2019.
Sasmito meminta kepolisian untuk segera memproses kasus-kasus tersebut. Ia menilai selama ini tak ada keseriusan dari kepolisian untuk menindaklanjuti kasus-kasus tersebut.
“Jadi tanpa ada penyelesaian kasus yang melibatkan polisi, akan berulang terus karena tidak ada efek jera,” ujarnya.
Sebelumnya, sejumlah jurnalis mendapat tindakan kekerasan dari aparat kepolisian saat meliput aksi unjuk rasa pada 23-24 September 2019. Sebanyak empat orang jurnalis mengalami kekerasan saat meliput di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta. Sementara enam lainnya tersebar di Makassar dan Jayapura.
AJI mengatakan enam dari total 10 kasus adalah kekerasan yang diterima jurnalis saat merekam aksi brutal aparat terhadap pengunjuk rasa.
“Yang pasti, pola kekerasan yang dialami jurnalis pada beberapa hari terakhir ini sama persis seperti saat aksi 21-22 Mei. Aparat tidak menginginkan jurnalis merekam aksi kebrutalan mereka ke para demonstran,” ujar anggota Divisi Advokasi AJI Indonesia Joni Aswira di kantor LBH Jakarta, Rabu (25/9).|RED/C/PRB