by M Rizal Fadillah
Masalah mudik di masa wabah virus corona menjadi polemik. Di internal Pemerintahan saja terjadi ketidaksolidan. Ada saling bantah mengenai kebijakan mudik yang menjadi tradisi menjelang Iedu Fitri. Bantahan Mensesneg Pratikno atas pernyataan Juru Bicara Fadjroel Rahman menghiasi berbagai media. Fadjroel yang menyatakan mudik dibolehkan telah dibantah oleh Pratikno. Pemerintah justru melarang mudik.
Di tengah ketidakpastian kebijakan tersebut Wakil Presiden Ma’ruf Amin menegaskan bahwa mudik itu haram. Ia berjanji akan berusaha mendorong MUI agar mengeluarkan fatwa haram mudik tersebut. Mudik adalah sarana berkumpul dan bersilaturahmi sesama anggota keluarga atau kerabat. Tradisi ini seolah sudah menjadi budaya keagamaan bangsa atau rakyat muslim Indonesia.
Himbauan atau larangan mungkin bisa difahami dalam keadaan wabah corona. Akan tetapi adanya penghukuman keagamaan dengan kategori haram haruslah hati hati. Mungkin saja bisa disebut berlebihan.
Masalahnya adalah :
Pertama soal mobilitas atau “safar” seseorang adalah hal yang asasi dan dihormati dalam agama. Sebab safar saja dapat menjadi “rukhshah” keagamaan. Seseorang boleh tidak shaum jika bepergian walaupun harus diganti pada waktu lain.
Kedua, haram dalam kategori hukum Islam dalam “al ahkam al khomsah” berefek dosa dan pahala. Menghukumkan dosa kepada Allah atas suatu perbuatan tentu saja tidak boleh sembarangan. Dilarang mengharamkan yang Allah halalkan.
Ketiga, relevansi keharaman tidak adekuat dengan kebijakan. Kebijakan Pemerintah bukan karantina wilayah apalagi karantina rumah, sehingga keluar masuk satu wilayah tidak terlarang. Sebatas pembatasan saja. Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Keempat, jika alasan adalah kekhawatiran menjadi carrier maka itu mesti dipastikan dulu sebelum jatuhkan haram. Sakit atau sehatkah orang tersebut. Orang sehat berhak untuk pulang mudik. Hanya yang benar benar terjangkit yang layak dihukumkan “haram” itu.
Kelima, jika mudik difatwakan haram maka berkendaraan antar kota juga berhukum haram sebab tak ada mudik tanpa kendaraan. Hal ini dapat dikaitkan dengan kaidah ushul fiqh “maa laa yatimmu al waajib illa bihi fahuwa waajibun”. Dengan pendekatan “mafhum mukholafah” tentunya.
Karenanya baiknya MUI tidak perlu mengikuti anjuran Wakil Presiden yang kini tentu lebih berpendekatan sebagai “umaro” ketimbang “ulama”. Bila menggampangkan fatwa haram atas peristiwa sosial seperti ini, jangan jangan MUI kelak berani memfatwakan haram ke masjid, haram mengadakan pengajian, dan lainnya.
Berlebihan dan menyimpang dari aspek keagamaan membuat kita semakin menjauhkan diri dari Allah. Virus corona pun adalah makhluk Allah. Tunduk pada kehendak-Nya.
*) Pemerhati Publik.
Bandung, 5 April 2020