By Syafril Sjofyan *)
CEMOOHAN yang dilontarkan Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin kepada Menko Ekuin era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli. Melalui akunnya menggunakan diksi tidak sopan/kasar dengan kata-kata kotor dan kata perikebinatangan. Ketika membalas kritikan Rizal Ramli kepada pemerintah. Sangat bertentangan dengan ucapan Ngabalin yang kalau muncul di media menyatakan harus menggunakan diksi yang baik dan sopan.
Jika diamati Ngabalin bukan orang yang tidak beretika. Atau orang tak berpendidikan. Memang bertolak belakang ketika dia mengeluarkan kata-kata kotor. Kasus ini bisa jadi bergejala sindrom kejiwaan. Sindrom ini hanya menyerang satu dari ratusan orang. Kondisi kompleks yang memengaruhi kondisi fisik dan sosial penderitanya. Bisa jadi keinginan besar menjadi pejabat tinggi, namun kedudukan/jabatan yang didapat hanya alang-alang saja.
Jika diamati dalam setiap diskusi di media selalu menyerang dengan cara “merasa paling benar” dan cenderung sangat sombong, sok kuasa dan tidak tahu aturan, berbicara dengan mencerocos tanpa peduli waktu diskusi bukan miliknya. Biasanya menyatakan kepada pihak lawan diskusi agar jangan menggunakan diksi sopan dan beretika, sebaliknya malah dia merasa berjaya menggunakan diksi kotor dan kasar dalam menyerang lawannya.
Depresi mental ini dinamakan Sindrom tourette merupakan mental depresi. Sering dianggap sebagai penyakit yang “tidak tampak”. Penderita penyakit ini sering berjuang sendirian dalam sunyi di balik pintu yang tertutup. Orang yang menderita gangguan jiwa menyadari bahwa kondisinya dapat memengaruhi orang-orang di sekitarnya. Karena stigma yang melekat kuat pada gangguan jiwa, seseorang biasanya takut mengakui sikap kasar mereka itu karena penyakit yang dideritanya.
Jika Ngabalin memang menderita depresi tersebut sangat disayangkan jika Istana menggunakan orang seperti ini, dan cenderung berbahaya. Beberapa beberapa elit buzzer yang sering berprilaku sama bisa jadi menghidap penyakit tersebut, coba amati Ferdinand Hutahean dll.
Bandung, 13 September 2021
*) Pengamat Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen FKP2B