Ini Isi Pledoi Jumhur Hidayat yang Sangat Mengugah dan Meninju (Bagian 6)

0
1024

7. Keterangan Ahli Pidana Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.A.

  • Bahwa ahli menyatakan bahwa ia telah menjalani profesinya sebagai dosen sejak tahun 2009;
  • Bahwa ahli menyatakan dirinya sebagai Sekretaris Jenderal Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia. Yang beranggotakan 465 dosen. Kemudian ahli juga menyatakan dirinya sebagai ahli lintas negara yang bermarkas di Swiss;
  • Bahwa ahli dalam profesinya sebagai dosen mengajar beberapa mata kuliah antara lain: mengajar hukum pidana, asas – asas hukum pidana, tindak pidana bisnis metode penelitian hukum, sistem peradilan pidana untuk program pasca sarjana, hukum pidana internasional untuk program sarjana;
  • Bahwa ahli menyatakan apabila terjadi pembunuhan, maka pembunuhan itu harus dibuktikan. Menurut ahli setiap delik-delik materil harus dibuktikan dengan ilmu pengetahuan. Kecuali ilmu pengetahuan sama sekali tidak bisa membuktikan;
  • Bahwa ahli menyatakan apabila telah terjadi pembunuhan yang mengakibatkan kematian, maka kematian tersebut harus dibuktikan dengan visum. Begitu juga terhadap luka berat, ahli mempertanyakan apakah bisa hakim yakin bahwa seseorang mengalami luka berat kalau tidak ada visum. Ahli juga menyatakan hal tersebut sama seperti halnya pencemaran lingkungan, perlu dibuktikan telah terjadi pencemaran;
  • Bahwa ahli menyatakan ia melihat tren dalam penegakan hukum yang menggeneralisasi konflik;
  • Bahwa ahli menyatakan ada C1 adalah Undang-Undang/kebijakan yang dibuat pemerintah, kemudian kebijakan yang ditimbulkan melahirkan pro-kontra, kemudian ada demonstran, ada cuitan, lalu timbul keonaran. Maka keonaran itu timbul diawali dengan C1;
  • Bahwa ahli menyatakan jika tidak ada kebijakan pemerintah, maka tidak ada keonaran. Karena tidak ada keluhan konkrit, tida ada demonstran tidak ada cuitan;
  • Bahwa ahli menyatakan banyak faktor yang mempengaruhi lahirnya suatu peristiwa, dimana peristiwa itu adalah akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhi. Terdapat faktor penyebab C1, C2, C3, dan C4 yang mengakibatkan peristiwa E. Menurut ahli apabila salah satu faktor penyebab dihilangkan maka tidak akan terjadi peristiwa E sebagai akibat;
  • bahwa ahli menyatakan apabila A didorong ke sungai, lalu ia mati karena tidak bisa berenang. Kematian si A mati bukan karena didorong. Kematian itu karena air masuk dalam paru-parunya. Jadi bukan dorongan yang menyebabkan kematian, tapi karena air masuk ke dalam paru-paru.
  • Bahwa ahli menyatakan UU 1/46 digolongkan lex generalis karena mengatur banyak aspek tindak pidana. Sedangkan UU ITE merupakan lex specialis;
  • Bahwa ahli menyatakan dalam hukum pidana dikenal dengan asas lex specialis derogat generalis. Jika terdapat konflik norma yang mengatur hal yang sama, maka pengaturan yang khusus yang harus digunakan. Apabila suatu perbuatan diatur dalam UU ITE dan UU 1/46, maka yang dipakai adalah UU ITE. Apabila telah diatur dalam UU yang khusus dan UU yang umum, maka yang dipakai hanya UU yang khusus. Jika menggunakan UU yang umum, maka menyalahi asas. Jika menyalahi asas, berarti tidak paham asas;
  • Bahwa ahli menyatakan apabila terdapat satu tindak pidana yang dilakukan pada waktu yang berbeda, maka tetap mengacu pada satu norma saja. Kecuali dilakukan tindak pidana yang berbeda, apabila ingin dijumlahkan ditambah pemberatannya sepertiga maksimum.

8. Keterangan Ahli Muhammad Yamin

Dibawah sumpah di depan persidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

  • Bahwa ahli menyatakan sejak 1981 berprofesi sebagai dosen di Universitas Pancasila sejak 1996;
  • Bahwa ahli menyatakan kata UU ini adalah subjek. Kalimat untuk primitif investor dari RRC dan pengusaha rakus adalah predikat. Kalimat primitif investor ini memang kelompok. Untuk kata RRC merupakan negara;
  • Bahwa ahli menyatakan keonaran berdasarkan KBBI edisi lima adalah kegaduhan, rusuh, huru hara;
  • Bahwa ahli menyatakan unsur dengan sengaja tanpa hak berarti sesuatu perbuatan harus diniatkan dan tanpa hak adalah seseorang yang tidak berwenang;
  • Bahwa ahli menyatakan unsur dengan sengaja tanpa hak ini secara bahasa disebut universal negatif;
  • Bahwa ahli menyatakan keonaran perlu ditafsirkan dengan cara leksografi;

9. Keterangan Ahli Fahmi Muhammad Ahmadi

  • Bahwa ahli menyatakan ia telah berprofesi sebagai dosen selama 41 (empat puluh satu) tahun;
  • Bahwa ahli menyatakan hukum tidak berdiri sendiri dan di dalam proses pembuatan hukum banyak faktor yang mempengaruhi. Dalam negara yang demokratis usul dan saran warga negara dalam pembuatan hukum harus diberikan ruang, karena tujuan hukum adalah untuk kesejahteraan masyarakat;
  • Bahwa ahli menyatakan hukum ada untuk masyarakat, sehingga Ketika masyarakat sebagai subjek maupun objek hukum, masyarakat mempunyai hak untuk mengkritik hukum yang dipandang keliru;
  • Bahwa ahli menyatakan opini publik bisa berdampak atau tidak bisa kita lihat pada contoh kasus opini publik mempengaruhi putusan hakim atau pada kasus harga BBM yang batal dinaikan karena opini publik. Hal ini menunjukan bahwa ada faktor di luar hukum yang mempengaruhi proses pembentukan hukum;
  • Bahwa ahli menyatakan bahwa provokasi merupakan hal yang berbeda. Sosiologi hukum berbicara mengenai situasi, bahwa undang-undang dan kebijakan bisa berubah karena ada opini di luar hukum termasuk massa dan sebagainya;
  • Bahwa ahli menyatakan mengenai postingan yang dibuat seseorang bisa dipengaruhi banyak faktor. Sehingga penting untuk membuktikan faktor mana yang paling dominan. Postingan tersebut harus benar-benar telah mempengaruhi seseorang atau tidak. Perlu untuk melihat konteksnya, apakah postingan tersebut bersifat perintah atau informasi;
  • Bahwa ahli menyatakan ketika orang membaca suatu postingan di media sosial, apakah orang itu merasa terdampat atau tidak. Ahli mencontohkan seperti seseorang yang suka dengan ukiran karena sering nonton youtube, tapi apakah seketika orang tersebut langsung membuat ukiran? Menurut ahli contoh ini merupakan contoh yang paling sederhana;
  • Bahwa ahli menyatakan seseorang membaca postingan kemudian terpengaruh untuk membuat onar, maka hal tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Apakah betul postingan tersebut menginspirasinya untuk membuat keonaran. Apabila tidak disebutkan, maka itu adalah asumsi;
  • Bahwa ahli menyatakan di dalam media sosial sebagai wilayah publik, dimana orang-orang bisa bebas berpendapat karena mereka berhak untuk melakukan itu. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945;
  • Bahwa ahli menyatakan di dalam negara demokrasi merupakan hal yang biasa untuk menyampaikan ketidaksetujuan masyarakat terdampak terhadap suatu kebijakan. Misalnya ketika kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan, banyak masyarakat adat yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan tersebut. Atau mengenai UU Pendidikan banyak dosen/akademisi yang mencurahkan ketidaksetujuannya. Karena ketika kebijakan atau UU itu disahkan, merekalah yang paling terdampak secara langsung. Sehinga mengenai kritik, pendapat, demonstrasi, hal itu biasa dalam negara demokrasi;
  • Bahwa ahli menyatakan kalau kita baca berdirinya mazhab realisme hukum atau critical legal studies. Critical legal studies itu bagian dari kajian filsafat sosiologi hukum. Critical legal studies itu ada karena mereka berpikir caranya adalah melakukan kritik terus meenerus terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Kenapa? Karena kebijakan – kebijakan itu, di dalam sosiologi hukum tidak berdiri sendiri. Critical legal studies memandang setiap undang – undang ini pasti mengandung nilai. Kepentingan itulah yang kemudian menjadi undang-undang. Kenapa orang ini kemudian boleh melakukan kritik, sebagai upaya agar tidak dominasi, tidak terjadi hegemoni – hegemoni tethadap kepentingan-kepentingan itu terhadap kebijakan, maka diperlukanlah kritik;
  • Bahwa ahli menyatakan namanya kritik, itu adalah sesuatu yang disampaikan ketika orang atau sekelompok orang tidak puas. Maka dilakukanlah sebuah kritik. Sebetulnya ketidakpuasan itu yang disebut dengan deprivasi relatif. Orang tidak puas, itu jalannya bisa macam – macam, bisa kemudian dia melakukan kritik, kemudian dia bisa melakukan anarki, dia bisa melakukan apaun dengan caranya masing – masing. Kritik itu adalah hal yang bebas, kalau persoalan apakah dia itu tadi dikatakan misalnya dengan kata yang tidak tepat, itu pada persoalan orang itu, tapi pada dasarnya kritiknya itu bebas. Persoalannya apakah yang menerima kritik itu menenerima atau tidak?III.C. ALAT BUKTI SURAT PENASIHAT HUKUM

    Bahwa di dalam persidangan, penasihat hukum telah mengajukan berbagai alat bukti surat sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yang telah diberi tanda yakni T- 1A hingga T-34, sebagai berikut :

    1. Bukti T-1A adalah surat keterangan originalitas karya tulisan hasil pemantauan drone emprit tentang Omnibus Law di media sosial oleh Ismail Fahmi selaku Ahli Media Sosial yang menjabat sebagai Direktur Media Karnels Indonesia. Bukti T-1A daijukan untuk membuktikan validasi orginalitas karya tulisan berupa analisis media Drone Emprit. Bukti T-1A berupa salinan (copy) dari asli;

  1. Bukti T-1B adalah bukti surat berupa Curriculum Vitae Ismail Fahmi. Bukti T-1B diajukan untuk validasi latar belakang dan keahlian ahli. Bukti T-1B berupa salinan (copy) dari asli;
  2. Bukti T-1C adalah Keterangan Ahli Tertulis Ismail Fahmi, Ph.D., Analisis Media Sosial Drone Emprit yang berjudul “Omnibus Law Sebelum Disahkan” yang merangkum aktifitas media sosial pada bulan Januari sampai Juli 2020. Bukti T- 1C diajukan untuk membuktikan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja adalah sebuah Diskursus Publik yang dibahas di berbagai media sosial khususnya platform Twitter yang dilakukan oleh berbagai kalangan tidak terkecuali para publik figur. Dalam analisis media sosial ini didapatkan hasil bahwa ada 70 akun twitter yang paling berpengaruh (top influencer) dan Terdakwa tidak termasuk didalamnya. Dalam keterangan Josua Situmpul S.H., M.M., Ph.D., selaku Ahli Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menerangkan bahwa dalam membuktikan tindak pidana ujaran kebencian yang diatur dalam Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal Pasal 28 ayat (2) UU ITE harus melihat isi konten, konteks dan audiens. Audiens adalah pembaca atau reaksi pembaca atas sebuah konten yang mana sebuah konten dapat diklasifikasikan sebagai ujaran kebencian apabila unsur audiens terpenuhi yaitu tolak ukurnya adalah signifikansi akibat dari sebuah konten. Ditinjau dari bukti T-1C membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik di tanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap diskursus RUU Cipta Kerja di media sosial sehingga unsur audiens di kedua cuitan Terdakwa tidak terpenuhi. Bukti T-1C berupa salinan (copy) dari asli;
  1. Bukti T-1D adalah Keterangan Ahli Tertulis Ismail Fahmi, Ph.D., Analisis Media Sosial Drone Emprit yang berjudul “RUU Omnibus Law Disahkan K-Popers Strike Back” yang merangkum aktifitas media sosial pada tanggal 5 Oktober 2020. Bukti T-1D diajukan untuk membuktikan bahwa warga media sosial (netizen) dengan status K-Popers (Pecinta Musik Korea) memberikan pengaruh paling besar dalam tren pembahasan atau diskursus Omnibus Law di media sosial platform Twitter. Akun jumhur selaku netizen sekali lagi pada periode ini tidak memberikan dampak apapun. Dalam keterangan Josua Situmpul S.H., M.M., Ph.D., selaku Ahli UU ITE menerangkan bahwa dalam membuktikan tindak pidana ujaran kebencian yang diatur dalam Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal Pasal 28 ayat (2) UU ITE harus melihat isi konten, konteks dan audiens. Audiens adalah pembaca atau reaksi pembaca atas sebuah konten yang mana sebuah konten dapat diklasifikasikan sebagai ujaran kebencian apabila unsur audiens terpenuhi yaitu tolak ukurnya adalah signifikansi akibat dari sebuah konten. Ditinjau dari bukti T- 1C membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik di tanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap diskursus RUU Cipta Kerja di media sosial sehingga unsur audiens di kedua cuitan Terdakwa tidak terpenuhi. Bukti T-1D berupa salinan (copy) dari asli;
  2. Bukti T-1E adalah Keterangan Ahli Tertulis Ismail Fahmi, Ph.D., Analisis Media Sosial Drone Emprit yang berjudul “Tren Penolakan Terhadap Omnibus Law” Semakin Turun yang merangkum aktifitas media sosial pada tanggal 1 sampai 16 Oktober 2020. Bukti T-1E diajukan untuk membuktikan bahwa terhitung tanggal 1 sampai 16 Oktober tren penolakan terhadap omnibus law di media sosial Twitter semakin menurun. Diketahui bahwa cuitan Muhamad Jumhur tertanggal 8 Oktober tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap gejolak diskursus Omnibus Law di Twitter. Dalam keterangan Josua Situmpul S.H., M.M., Ph.D., selaku Ahli UU ITE menerangkan bahwa dalam membuktikan tindak pidana ujaran kebencian yang diatur dalam Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal Pasal 28 ayat (2) UU ITE harus melihat isi konten, konteks dan audiens. Audiens adalah pembaca atau reaksi pembaca atas sebuah konten yang mana sebuah konten dapat diklasifikasikan sebagai ujaran kebencian apabila unsur audiens terpenuhi yaitu tolak ukurnya adalah signifikansi akibat dari sebuah konten. Ditinjau dari bukti T-1C membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik di tanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap diskursus RUU Cipta Kerja di media sosial sehingga unsur audiens di kedua cuitan Terdakwa tidak terpenuhi. Bukti T-1E berupa salinan (copy) dari asli;
  1. Bukti T-1F adalah Keterangan Ahli Tertulis Ismail Fahmi, Ph.D., Analisis Media Sosial Drone Emprit yang berjudul “Omnibus Law What’s Going On In Social Media?” yang merangkum aktifitas media sosial pada Januari sampai 22 Desember 2020. Bukti T-1F diajukan untuk membuktikan bahwa sejak Januari sampai Desember ada lebih dari 70 akun yang berpengaruh terhadap diskursus Omnibus Law dan akun Twitter Muhammad Jumhur Hidayat sejak Januari sampai Desember 2020 tidak memberikan dampak apapun terhadap diskursus omnibus law. Dalam keterangan Josua Situmpul S.H., M.M., Ph.D., selaku Ahli UU ITE menerangkan bahwa dalam membuktikan tindak pidana ujaran kebencian yang diatur dalam Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal Pasal 28 ayat (2) UU ITE harus melihat isi konten, konteks dan audiens. Audiens adalah pembaca atau reaksi pembaca atas sebuah konten yang mana sebuah konten dapat diklasifikasikan sebagai ujaran kebencian apabila unsur audiens terpenuhi yaitu tolak ukurnya adalah signifikansi akibat dari sebuah konten. Ditinjau dari bukti T- 1C membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik di tanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap diskursus RUU Cipta Kerja di media sosial sehingga unsur audiens di kedua cuitan Terdakwa tidak terpenuhi. Bukti T-1E berupa salinan (copy) dari asli;
  2. BuktiT-2AadalahKeteranganAhliTertulisFaisalBasriS.E.,M.Ayangberjudul “Omnibus Law : Antara Realitas dan Fantasi”. Bukti T-2A diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11

Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja secara subtansi tidak berdampak pada peningkatkan perekonomian negara secara signifikan dan justru melemahkan hak tenaga kerja. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. T-2A berupa salinan (copy) dari asli;

  1. BuktiT-2BadalahKeteranganAhliTertulisFaisalBasriS.E.,M.Ayangberjudul “Undang-Uundang Cipta Kerja : Tinjauan Ekonomi”. Bukti T-2B diajukan untuk membuktikan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukan merpakan jawaban atas masalah ekonomi Indonesia pada saat ini dan justru melemahkan hak-hak pekerja dan menjauhkan Investor berkualitas masuk ke Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-2B berupa salinan (copy) dari asli;
  2. BuktiT-2CadalahKeteranganAhliTertulisFaisalBasriS.E.,M.Ayangberjudul Pertumbuhan Ekonomi Dan Upah Pekerja”. Bukti T-2C diajukan untuk membuktikan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukan merpakan jawaban atas masalah ekonomi Indonesia pada saat ini dan justru melemahkan hak-hak pekerja dan menjauhkan Investor berkualitas masuk ke Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-2C berupa salinan (copy) dari asli;

10.Bukti T-2D adalah Keterangan Ahli Tertulis Faisal Basri S.E., M.A yang berjudul “Skandal Smelter Nikel”. Bukti T-2D diajukan untuk membuktikan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sudah berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia dan hak buruh Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-2D berupa salinan (copy) dari asli;

11.Bukti T-3A adalah bukti surat berupa Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja Edisi Maret 2020. Bukti T-3A diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bermasalah di berbagai sektor seperti lingkungan, ketenagakerjaan, perizinan usaha, dan lain-lain. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-3A berupa print out;

12.Bukti T-3B adalah bukti surat berupa Kertas Kebijakan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja Edisi November 2020. Bukti T-3B diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bermasalah di berbagai sektor seperti lingkungan, ketenagakerjaan, perizinan usaha, dan lain-lain. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-3B berupa print out;

13.Bukti T-4 adalah bukti surat berupa Analisis Oleh Indonesian Center for Enviromental Law Indonesia: Berbagai Problematika Dalam UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan Sumber Daya Alam. Bukti T-4 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja berdampak buruk terhadap lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-4 berupa print out;

14.Bukti T-5 adalah bukti surat berupa Kajian Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada yang berjudul “Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)law”. Bukti T-5 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bermasalah di berbagai sektor seperti lingkungan, ketenagakerjaan, perizinan usaha, dan lain- lain. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-5 berupa print out;

15.Bukti T-6 adalah bukti surat berupa Kajian Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang berjudul ”Tinjauan RUU Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan : Menindas Buruh, Mmemanjakan Pengusaha”. Bukti T-6 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bermasalah di berbagai sektor seperti lingkungan, ketenagakerjaan, perizinan usaha, dan lain-lain. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-6 berupa print out;

16.Bukti T-7 adalah bukti surat berupa Surat Pernyataan Sikap Pimpinan Pusat Muhammadiyah Terhadap RUU Cipta Kerja. Bukti T-7 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja ditolak oleh berbagai elemen masyarakat salah satu nya oleh organisasi masyarkat agama besar di Inondesia yaitu Muhammadiyah. Bukti T-7 berupa print out;

17.Bukti T-8 adalah bukti surat berupa Pernyataan Sikap Rohaniwan/Rohaniawati Gereja yang berjudul “Omnibus Law Ruu Cipta Kerja Mengabaikan Lingkungan Hidup Dan Keadilan Sosial”. Bukti T-8 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja ditolak berbagai kalangan antara lain rohaniawan/rohinawati dan membuktikan bahwa RUU Ciptakerja bermasalah di sektor Ketenagakerjaan, lingkungan dan lingkungan serta bermasalah dalam proses penyusunannya (segi formil). Bukti T-8 selaras dengan keterangan ahli sosiologi hukum Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si., yang menerangkan bahwa sebuah kebijakan atau produk hukum yang diterbitkan pemerintahan boleh dan wajib dikritik oleh masyarakat terutama di negara demokrasi demi terciptanya kebijakan atau produk hukum yang adil dan inklusif. Bukti T-8 berupa print out;

18.Bukti T-9 adalah bukti surat berupa Keterangan Pers Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor: 035/HUMAS/KH/VIII/2020 Tentang Pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) Agar Tidak Dilanjutkan. Bukti T-9 berisi keterangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang respon terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia sehingga dianjurkan agar dihentikan pembahasannya. T-9 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bersinggungan langsung dan berpotensi mengancam, penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Bukti T-9 selaras dengan keterangan ahli sosiologi hukum Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si., yang menerangkan bahwa sebuah kebijakan atau produk hukum yang diterbitkan pemerintahan boleh dan wajib dikritik oleh masyarakat terutama di negara demokrasi demi terciptanya kebijakan atau produk hukum yang adil dan inklusiff. Bukti T-9 berupa print out;

19.Bukti T-10 adalah bukti surat berupa Siaran Pers Oleh Dewan Pers Tentang Rencana Pengesahan serta Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja kaitannya dengan Kemerdekaan Pers oleh DPR RI. Bukti T-10 berisi keterangan Dewan Pers tentang respon terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja yang berpotensi mendegradasi kebebasan pers. Bukti T-10 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja merubah subtansi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berpotensi melanggar hak pers. Bukti T-10 selaras dengan keterangan ahli sosiologi hukum Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si., yang menerangkan bahwa sebuah kebijakan atau produk hukum yang diterbitkan pemerintahan boleh dan wajib dikritik oleh masyarakat terutama di negara demokrasi demi terciptanya kebijakan atau produk hukum yang adil dan inklusif. Bukti T-10 berupa print out;

20.Bukti T-11 adalah bukti surat berupa Artikel Berita CNN Indonesia yang berjudul “Bima Arya Sebut Omnibus Law Jokowi Otoriter. Bukti T-11 berisi keterangan Walikota Bogor Bima Arya yang mengatakan RUU Cipta Kerja merupakan sikap otoriter pemerintahan Presiden Joko Widodo karena sentralisasi kebijakan. Bukti T-11 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menuai penolakan dari berbagai kalangan bahkan dari Pemimpin Daerah yaitu Bima Arya selaku Walikota Bogor. Bukti T-11 selaras dengan keterangan ahli sosiologi hukum Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si., yang menerangkan bahwa sebuah kebijakan atau produk hukum yang diterbitkan pemerintahan boleh dan wajib dikritik oleh masyarakat terutama di negara demokrasi demi terciptanya kebijakan atau produk hukum yang adil dan inklusif. Bukti T-11 berupa print out;

21.Bukti T-12 adalah bukti surat berupa Artikel Berita Suara.Com yang berjudul “Keras! Rocky Gerung Sebut Omnibus Law Menyalahi Konstitusi”. Buktikan T-12 berisi opini Rocy Gerung tentang RUU Cipta Kerja yang dinilai menyalahi konstitusi karena memudahkan perusahaan memecat pegawainya. Bukti T-12 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menuai penolakan dari berbagai kalangan bahkan oleh pengamat politik Rocky Gerung. Bukti T-12 selaras dengan keterangan ahli sosiologi hukum Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si., yang menerangkan bahwa sebuah kebijakan atau produk hukum yang diterbitkan pemerintahan boleh dan wajib dikritik oleh masyarakat terutama di negara demokrasi demi terciptanya kebijakan atau produk hukum yang adil dan inklusif. Bukti T-12 berupa print out;

22.Bukti T-13 adalah bukti surat berupa Artikel Berita Tempo yang berjudul “Kritik Omnibus Law, Faisal Basri : Enggak Ada Gunanya”. Bukti T-13 berisi pernyataan Faisal Basri bahwa RUU Cipta Kerja minim partisipasi publik khusunya elemen buruh oleh karena itu tidak ada gunanya memberikan kritik terhadap RUU Cipta Kerja. Bukti T-13 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menuai penolakan dari berbagai kalangan bahkan Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri. Bukti T-13 selaras dengan keterangan ahli sosiologi hukum Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si., yang menerangkan bahwa sebuah kebijakan atau produk hukum yang diterbitkan pemerintahan boleh dan wajib dikritik oleh masyarakat terutama di negara demokrasi demi terciptanya kebijakan atau produk hukum yang adil dan inklusif. Bukti T-13 berupa print out;

23.Bukti T-14 adalah bukti surat berupa Artikel Berita Pikiran Rakyat Cirebon yang bejudul “Kritik Pedas Pemerintah Soal Omnibus Law, Amien Rais : Indonesia Bisa Diperas di Segala Bidang”. Bukti T-14 berisi pernyataan Amien Rais bahwa RUU Cipta Kerja berpotensi memeras merusak lingkungan, terjadinya penipuan pajak dan pelanggaran lainnya. Bukti T-14 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menuai penolakan dari berbagai kalangan bahkan oleh mantan ketua MPR periode 1999-2004 Amien Rais. Bukti T-14 selaras dengan keterangan ahli sosiologi hukum Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si., yang menerangkan bahwa sebuah kebijakan atau produk hukum yang diterbitkan pemerintahan boleh dan wajib dikritik oleh masyarakat terutama di negara demokrasi demi terciptanya kebijakan atau produk hukum yang adil dan inklusif. Bukti T-14 berupa print out;

24.Bukti T-15 adalah bukti surat berupa Artikel Berita Harian Jogja yang berjudul

“Kritik Pedas Refly Harun : DPR Harusnya Bela Rakyat, Bukan Konglomerat”.

Bukti T-15 berisi pernyataan Refly Harun bahwa RUU Cipta Kerja dalam proses pembahasannya minim partisipasi publik sehingga hanya menguntungkan pengusaha dan merugikan buruh. Bukti T-15 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menuai penolakan dari berbagai kalangan bahkan Refly Harun seorang Pakar Hukum Tata Negara. Bukti T-15 selaras dengan keterangan ahli sosiologi hukum Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si., yang menerangkan bahwa sebuah kebijakan atau produk hukum yang diterbitkan pemerintahan boleh dan wajib dikritik oleh masyarakat terutama di negara demokrasi demi terciptanya kebijakan atau produk hukum yang adil dan inklusif. Bukti T-15 print out;

25.Bukti T-16 adalah bukti surat berupa Artikel Berita NU Online yang berjudul ”PBNU : UU Cipta Kerja Menindas Rakyat Kecil. Bukti T-16 berisi pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama KH Said Aqil Siroj bahwa RUU Cipta Kerja menindas rakyat kecil dan hanya menguntungkan konglomerat, kapitalis dan investor. Bukti T-16 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menuai penolakan dari berbagai kalangan bahkan dari Said Aqil Siroj ketua organisasi masyarakat terbesar di Indonesia yaitu PBNU. Bukti T-16 selaras dengan keterangan ahli sosiologi hukum Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si., yang menerangkan bahwa sebuah kebijakan atau produk hukum yang diterbitkan pemerintahan boleh dan wajib dikritik oleh masyarakat terutama di negara demokrasi demi terciptanya kebijakan atau produk hukum yang adil dan inklusif. Bukti T-16 berupa print out;

26.Bukti T-17A adalah bukti surat berupa Surat Undangan Kementerian Ketenagakerjaan RI Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Kemenaker Dirjen PHI dan Jamsos) untuk ketua serikat buruh Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) terkait diskusi perubahan ekosistem ketenagakerjaan untuk peningkatan cipta lapangan kerja pada tanggal 16 Desember 2019. Bukti T-17A diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dalam proses perumusannya minim partisipasi publik karena dalam diskusi tersebut hanya bersifat satu arah dan tidak membahas RUU Omnibus Law perpasal namun hanya pokok-pokoknya saja. Bukti T-17A berupa salinan (copy) dari asli;

27.Bukti T-17B adalah bukti surat berupa Surat Undangan Kemenaker Dirjen PHI dan Jamsos Ketenagakerjaan) untuk ketua serikat buruh KPBI terkait rapat lanjutan pembahasan diskusi perubahan ekosistem ketenagakerjaan untuk peningkatan cipta lapangan kerja pada tanggal 16 Desember 2019. Bukti T-17B diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dalam proses perumusannya minim partisipasi publik karena dalam diskusi tersebut hanya bersifat satu arah dan tidak membahas RUU Omnibus Law perpasal namun hanya pokok-pokoknya saja. Bukti T-17B berupa salinan (copy) dari asli;

28.Bukti T-17C adalah bukti surat berupa Surat Undangan Rapat Koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perkenomian RI untuk ketua serikat buruh KPBI terkait Penjelasan tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja pada tanggal 13 Januari 2020. Bukti T-17C diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dalam proses perumusannya minim partisipasi publik karena dalam diskusi tersebut hanya bersifat satu arah dan tidak membahas RUU Omnibus Law perpasal namun hanya pokok-pokoknya saja. Bukti T-17C berupa salinan (copy) dari asli;

29.Bukti T-17D adalah bukti surat berupa Surat Undangan Rapat Dengar Pendapat Umum dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk ketua serikat buruh KPBI terkait RUU Cipta Lapangan Kerja pada tanggal 16 Januari 2020. Bukti T-17D diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dalam proses perumusannya minim partisipasi publik karena dalam diskusi tersebut hanya bersifat satu arah dan tidak membahas RUU Omnibus Law perpasal namun hanya pokok-pokoknya saja. Bukti T-17D berupa salinan (copy) dari asli;

30.Bukti T-17E adalah bukti surat berupa Kajian oleh serikat buruh KPBI tentang peraturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yaitu PP Nomor 37 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Bukti T-17E diajukan untuk membuktikan bahwa peraturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengurangi hak buruh. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-17E berupa salinan (copy) dari asli;

31.Bukti T-17F adalah bukti surat berupa Kajian oleh serikat buruh KPBI tentang peraturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yaitu PP Nomor 34 Tahun 2021 Tentang Pengguna Tenaga Kerja Asing. Bukti T-17F diajukan untuk membuktikan bahwa peraturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengurangi hak buruh Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-17F berupa salinan (copy) dari asli;

32.Bukti T-17G adalah bukti surat berupa Kajian oleh serikat buruh KPBI tentang peraturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yaitu PP Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan. Bukti T-17G diajukan untuk membuktikan bahwa peraturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengurangi hak buruh. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-17G berupa salinan (copy) dari asli;

33.Bukti T-17H adalah bukti surat berupa Kajian oleh serikat buruh KPBI tentang peraturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yaitu PP Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Wwaktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hhubungan Kerja. Bukti T- 17H diajukan untuk membuktikan bahwa peraturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengurangi hak buruh. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-17H berupa salinan (copy) dari asli;

34.Bukti T-17I adalah bukti surat berupa Kajian oleh Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia tentang Refleksi Gerakan Buruh 2020. Bukti T-17I diajukan untuk membuktikan bahwa sepanjang tahun 2020 banyak kebijakan yang merugikan buruh salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-17I berupa salinan (copy) dari asli;

35.Bukti T-18 adalah bukti surat berupa Kajian Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat yang berjudul “Penuhi Kewajiban Perlindungan dan Peningkatan Kesejahteraan: Hentikan Pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja, Fokus Atasi Krisis Covid-19”. Bukti T-18 diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja ditolak oleh berbagai elemen masyarakat sipil seperti mahasiswa, petani, buruh, nelayan, perempuan, pelajar, akademisi dan lain-lain. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-18 berupa salinan (copy) dari asli;

36.Bukti T-19A adalah bukti surat berupa kertas posisi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang berjudul “Ancaman Nyata Omnibus Law”. Bukti T-19A diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang telah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah produk hukum yang mengancam lingkungan hidup Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa cuitan Terdakwa baik ditanggal 7 Oktober 2020 dan 25 Agustus 2020 atas RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja bukanlah sebuah berita bohong melainkan sebuah kritik yang dapat diuji berdasarkan kajian ilmiah. Bukti T-19A berupa salinan (copy) dari asli;

37.Bukti T-19B adalah bukti surat berupa Jawaban WALHI atas Undangan Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi IV DPR RI terkait UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Bukti T-19B diajukan untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam proses pembuatannya minim partisipasi publik karena dalam rapat dengar pendapat tersebut hanya bersifat satu arah dan tidak membahas RUU Omnibus Law perpasal namun hanya pokok-pokoknya saja. Bukti T-19B berupa salinan (copy) dari asli;

38.Bukti T-20 adalah bukti surat berupa Artikel Berita RMOL.id yang berjudul “Gaji TKA China Menghina Rayat Indonesia”. Bukti T-20 berisi pernyataan para aktivis Koalisi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) saat berkunjung ke Komisi IX DPR RI tentang polemik TKA di Indonesia. Bukti T-20 diajukan untuk membuktikan bahwa KAMI koalisi yang diikuti Terdakwa memang peduli terhadap keadaan negara melalui kritik yang diberikan. Bukti T-20 berupa print out;

39.Bukti T-21 adalah bukti surat berupa Artikel Berita Tribunnews yang berjudul “Kepala BNP2TKI Pimpin Mayday Ribuan Buruh”. Bukti T-21 berisi keterlibatan Terdakwa dalam demonstrasi hari buruh (Mayday) pada tahun 2012 disaat Terdakwa menjabat sebagai Kepala BNP2TKI. Bukti T-21 diajukan untuk membuktikan bahwa Terdakwa memang secara konsisten kritis disetiap rezim pemerintahan bahkan disaat Terdakwa menjabat sebagai pejabat di pemerintahan. Bukti T-21 berupa print out;

40.Bukti T-22 adalah bukti surat berupa Artikel Berita Kontan yang berjudul

“Presiden Perintahkan Kapolri Bikin Pedmoan UU ITE Dan Usul Revisi Hapus Pasal Karet”. Bukti T-22 berisi perintah Presiden Joko Widodo kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk membuat pedomn dalam pelaksanaan penegakan hukum UU ITE agar tidak menimbulkan multitafsir dan merugikan masyarkat. Bukti T-22 diajukan untuk membuktikan bahwa UU ITE adalah produk hukum yang problematis dan multitafsir sehingga kurang memenuhi rasa keadilan. Bukti T-22 berupa print out;

41.Bukti T-23 adalah bukti surat berupa Artikel Berita VOA yang berjudul “Jokowi Akui UU ITE Bermasalah”. Bukti T-23 berisi pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui bahwa UU ITE merupakan Undang-Undang bermasalah sehingga mengakibatkan ketidakadilan dalam penegakan hukum. Bukti T-23 diajukan untuk membuktikan bahwa UU ITE adalah produk hukum yang problematis dan multitafsir sehingga kurang memenuhi rasa keadilan. Bukti T-23 berupa print out;

42.Bukti T-24 adalah bukti surat berupa Artikel Berita Situs Resmi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan yang berjudul “Dialog Dengan Koalisi Masyarakat Sipil, Menko Polhukam : Revisi UU ITE Segera Masunk Legislasi DPR”. Bukti T-24 berisi hasil diskusi antara Koalisi Masyarakat Sipil dengan Menko Polhukam Mahfud MD tentang pembahasan revisi UU ITE yang dinilai bermasalah dengan demikian dari revisi nanti diharapkan UU ITE tidak lagi multitafsir. Bukti T-24 diajukan untuk membuktikan bahwa UU ITE adalah produk hukum yang problematis dan multitafsir sehingga kurang memenuhi rasa keadilan. Bukti T-24 berupa print out;

43.Bukti T-25 adalah bukti surat berupa Tangkapan Layar Cuitan Akun Twitter Presiden Joko Widodo pada tanggal 16 Februari 2021 yang mengatakan bahwa UU ITE menimbulkan rasa ketidakadilan sehingga perlu direvisi. Bukti T-25 diajukan untuk membuktikan bahwa UU ITE adalah produk hukum yang problematis dan multitafsir sehingga kurang memenuhi rasa keadilan. Bukti T-25 berupa print out;

44.Bukti T-26 adalah bukti surat berupa Tangkapan Layar Cuitan Akun Twitter Terdakwa pada tanggal 27 Maret 2020 yang mengkritik kebijakan ekonomi negara Indonesia. Bukti T-26 diajukan untuk membuktikan bahwa Terdakwa memang konsisten mengkritik kebijakan pemerintah. Bukti T-26 berupa print out;

45.Bukti T-27 adalah bukti surat berupa Transkip Video Jumhur Hidayat Tentang Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah Terkait Penanganan Pandemi Covid-19 Keluar Dari Akal Sehat pada tanggal 19 Agustus 2020. Bukti T-27 diajukan untuk membuktikan bahwa Terdakwa memang konsisten mengkritik kebijakan pemerintah. Bukti T-27 berupa print out;

46.Bukti T-28 adalah bukti surat berupa Transkip Video Jumhur Hidayat Tentang Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah Terkait Kartu Pra-Kerja pada tanggal 29 April 2020. Bukti T-28 diajukan untuk membuktikan bahwa Terdakwa memang konsisten mengkritik kebijakan pemerintah. Bukti T-28 berupa print out;

47.Bukti T-29 adalah bukti surat berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI) Tahun 1945. Bukti T-29 berisi tentang hak kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang ditulis dalam Pasal 28E ayat (3). Bukti T-29 diajukan untuk membuktikan bahwa perbuatan Terdakwa yaitu menyampikan kritik atau pendapat baik di media sosial atau secara langsung adalah hak yang dijamin oleh UUD RI Tahun 1945. Bukti T-29 berupa salinan (copy) dari asli;

48.Bukti T-30 adalah bukti surat berupa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Bukti T-30 berisi tentang hak dan kewajiban serikat pekerja dalam hubungan industrial yang dimana serikat pekerja berhak dan berkewajiban membela hak-hak buruh. Bukti T-30 diajukan untuk membuktikan bahwa Terdakwa sebagai pimpinan serikat buruh dalam melakukan perbuatannya yaitu memposting cuitan terkait RUU Cipta Kerja adalah hak dan kewajiban Terdakwa sebagai Pimpinan serikat buruh untuk membela hak anggota serikatnya. Bukti T-30 berupa salinan (copy) dari asli.

49.Bukti T-31 adalah bukti surat berupa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Bukti T-31 berisi tentang ratifikasi Indonesia terhadap International Covenant On Civil And Political Rights yang mengatur terkait hak sipil dan hak politik rakyat khususnya dalam kebebasan berpendapat yang diatur dalam Pasal 19. Bukti T- 31 diajukan untuk membuktikan bahwa perbuatan Terdakwa yaitu menyampikan kritik atau pendapat baik di media sosial atau secara langsung adalah hak yang dilindungi oleh Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. Bukti T-31 berupa salinan (copy) dari asli;

50.Bukti T-32 adalah bukti surat berupa Rencana Aksi Rabat Tentang Larangan Anjuran Kebencian Terhadap Bangsa, Ras Atau Agama Yang Memuat Hasutan Untuk Diskriminasi, Permusuhan Atau Kekerasan yang disusun oleh Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia. Bukti T-32 berisi tentang panduan untuk menilai apakah sebuah ujaran atau postingan merupakan ujaran kebencian (hate speech). Bukti T-32 diajukan untuk membuktikan kedua postingan Terdakwa tidak memenuhi klasifikasi sebagaimana panduan tersebut. Bukti T-32 berupa salinan (copy) dari asli;

51. Bukti T-33 adalah bukti surat berupa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 17/Pid.Sus-Anak/2020/PN.JKT.SEL. Bukti T-33 berisi putusan kasus 4 Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) selaku terpidana Pasal 160 KUHP Tindak Pidana Penghasutan terkait kejadian kerusuhan demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja yang berlangsung selama bulan Oktober 2020. Dalam putusan baik keterangan saksi fakta dari Penutut Umum maupun saksi fakta dari Penasehat Hukum tidak ada yang mengkaitkan kerusuhan demonstrasi tersebut dengan kedua cuitan Terdakwa. Keterangan 4 ABH tersebutpun sama sekali tidak menyinggung keterkaitan kerusuhan demonstrasi dengan kedua cuitan Terdakwa. Bukti T-33 diajukan untuk membuktikan bahwa kerusuhan yang terjadi pada demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja sepanjang bulan Oktober tahun 2020 bukan disebabkan oleh kedua cuitan Terdakwa sehingga tidak ada kausalitas antara kedua cuitan tersebut dengan kerusuhan demonstrasi Bukti T- 33 berupa salinan (copy) dari asli;

52.Bukti T-34 adalah bukti surat berupa Surat Keputusan Pengurusan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). Bukti T-34 berisi susunan pengurus KSPSI termasuk di dalamnya terdapat nama Terdakwa yang menjabat sebagai wakil ketua umum. Bukti T-34 berupa print out dari salinan (copy). (BERSAMBUNG….)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.