Pledoi Mohamad Jumhur Hidayat yang Mengugah, Tajam, Cerdas untuk Bumiputra-NKRI

0
762
Mohamad Jumhur Hidayat saat membacakan pledoi di PN Jakarta Selatan Kamis (30/9/2021) sampai malam hari./Aen

PRIBUMINEWS.CO.ID – Sidang aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Mohamad Jumhur Hidayat dengan membacakan pledoi memberikan pencerahan. Pledoi dibacakan di di PN Jakarta Jakarta Selatan, Kamis (30/9/2021) dengan waktu sidang sangat panjang dari siang sampai malam hari.

Jumhur menyampaikan nota pembelaan ini dalam dakwa kasus penyebaran berita bohong tentang Omnibus Law UU Ciptaker itu dimana Jaksa mneuntut 3 tahun penjara. “Kita tak bisa biarkan cara berpikir orang masuk seenaknya ke Indonesia, maka bumiputra, emak-emak gw, babe gw pada, nenek moyang kita semualah, itu bisa kegusur. Jadi, kita harus mengingatkan pada siapapun yang berkuasa, jangan gampang untuk membuat orang masuk,” kata Jumhur.

Berikut adalah sebagian isi dalam Pledoinya Jumhur Hidayat  yang memaparkan sangat mengugah, tajam cerdas dan untuk Bumi Putra-NKRI:

Tuan Ketua dan Tuan-Tuan Anggota Majelis Hakim Yang Mulia, marilah sekarang kita melihat Indonesia secara lebih menyeluruh terutama dari sejarah pembentukannya. Memang benar suatu bangsa bisa terbentuk karena adanya persamaan nasib. Memang benar suatu bangsa bisa lahir dari adanya doktrtin kesamaan sakralitas yang dianut oleh banyak suku bangsa. Filsuf Perancis atau yang sering dikenal sebagai Bapak Sosiologi Auguste Comte meyakini bahwa sakralitas peribadatan atau kesamaan teologi adalah unsur penting dalam membentuk dan mempertahankan konsensus atau kesepakatan yang dalam hal ini tentunya adalah kesepakatan menjadi suatu bangsa. Tapi kita juga mencatat dalam sejarah kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia bahwa banyak negara merdeka yang wilayahnya berhimpitan bahkan bersatu dalam sebuah daratan bisa menjadi beberapa negara merdeka padahal negara-negara itu dulunya dijajah oleh penjajah yag sama. Ya, mereka senasib dan sepenanggungan dalam penderitaan akibat penjajahan.
Kita menyaksikan India, Pakistan, Bangladesh dan Srilanka sebagai negara-negara merdeka yang berada di anak benua Asia walau mereka semua dijajah oleh Inggris. Kita juga menyaksikan Malaysia, Singapura dan Brunai yang masing-masing menjadi negara merdeka walau memiliki nasib sama yaitu dijajah oleh penjajah yang sama yaitu Inggris. Bila kita meneropong lebih jauh lagi, ternyata Amerika Latin yang terdiri dari puluhan negara merdeka, mereka dijajah oleh bangsa yang sama yaitu Spanyol. Mereka memiliki perasaan senasib yaitu dijajah Spanyol. Mereka pun sempat bermimpi untuk menjadi negara republik. Bahkan beberapa daerah koloni itu seperti Venezuela, Kolombia, Panama, Ekuador, Peru dan Guyana sempat bersatu dengan tokoh pembebasnya yang revolusioner dan termashur yang telah bersumpah untuk membebaskan Amerika Latin dari koloni Spanyol, yaitu Simon Bolivar. Namun di akhir hayatnya sang kampiun pembebasan Amerika Latin itu pun frustrasi karena daya juang kaum Republikan yang tadinya ingin menyatukan Amerika Latin dengan menggebu-gebu tapi justru semakin melemah bahkan wilayah-wilayah yang sudah dimerdekakan dari Spanyol itu malah memisahkan satu demi satu dari Republik yang didamba-dambakan oleh Simon Bolivar itu. Akhirnya seperti sekarang inilah koloni bekas jajahan Spanyol yang berada dalam satu benua atau satu daratan itu saja, menjadi 18 negara yang merdeka sendiri-sendiri.
Tuan-Tuan Hakim Yang Mulia. Contoh-contoh di atas menyadarkan kita bahwa perasaan senasib belum tentu diikuti oleh kehendak untuk bersatu terutama bila berbeda dalam memandang masa depan. Tetapi sebaliknya, suatu negara bisa saja terbentuk, walaupun masyarakatnya tidak memiliki nasib yang sama asal memiliki kehendak untuk bersatu demi keyakinan akan meraih masa depan yang gilang-gemilang dengan persatuan itu. Bangsa Amerika Serikat yang sekarang kita kenal adalah contoh gamblangnya. Kita tahu bahwa wilayah Amerika Serikat sekarang adalah wilayah yang menjadi koloni dari beberapa negara yaitu Inggris, Perancis, Spanyol dan Belanda. Namun walau nasibnya berbeda karena penjajah yang berbeda tetapi akhirnya mereka bersatu karena ada kehendak untuk bersatu. Jadi memang tepatlah apa yang dikatakan Ernest Renan yang juga dikutip Bung Karno, yaitu bahwa suatu bangsa bisa terbentuk karena kehendak untuk bersatu “le desir d’être ensemble”.
Sekarang ini, yang harus kita perhatikan dan yang harus kita sadari, apakah kehendak bersatu dari bagian-bagian yang dulu terpisah itu akan abadi dan kekal selama-lamanya? Tentunya subjektivitas kita harus mengatakan, iya, bahwa kehendak bersatu itu harus abadi dan kekal selama-lamanya. Namun, mari kita dalami lagi tentang hakikat “kehendak”. Apakah “kehendak” itu sebuah benda mati atau sesuatu yang hidup? Pastilah kita mengatakan bahwa “kehendak” itu adalah sesuatu yang hidup. Bisa melemah dan bahkan hilang tapi bisa juga menguat dan menyala-nyala tergantung bagaimana kita memeliharanya. Dalam pidatonya pada tanggal 15 September 2021 di Jakarta, Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa “…kemudian setelah ditetapkan UUD 1945, terbentuk suatu Pemerintahan Indonesia yang berdaulat. Namun harus disadari bahwa pembentukan pemerintah itu tidak langsung terjadi begitu saja…berdirinya pemerintahan Indonesia tersebut sangat ditentukan oleh keberadaan dan kontribusi 43 Kerajaan dan 1 Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang menyatakan diri bergabung, memberi mandat, menyerahkan wilayahnya dan menerima Soekarno-Hatta sebagai Pemimpin Bangsa Indonesia, serta memberikan bantuan uang dan berbagai barang berharga lainnya. Tentu saja hal demikian dalam hubungan yang etis harus menjadi perhatian serius, bagaimanapun 44 Kerajaan Nusantara tersebut telah menjadi pemegang saham dari pendirian Republik Indonesia demi cita-cita luhur menjadi bangsa yang merdeka. Jika tujuan kemerdekaan itu tidak diperjuangkan secara sungguh-sungguh, maka amanah dan dukungan Kerajaan Nusantara pada Republik Indonesia dapat saja ditarik kembali.”
Dari renungan sejarah dan pandangan terhadap kenyataan Indonesia hari ini yang masih dihantui kemiskinan, dipenuhi berbagai ketimpangan dan ketidakadilan serta kecemasan menghadapi masa depan, maka sampailah saya pada pertanyaan, bagaimanakah seandainya saat kemerdekaan Indonesia itu diproklamasikan, berbagai kesultanan atau kerajaan yang ada di Nusantara ini tidak mau menggabungkan diri kepada Republik Indonesia? Adakah Penguasa Republik memiliki kekuatan untuk memaksa? Adakah Penguasa Republik bisa memaksa Kesultanan Mataram Islam di Jawa, Kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan, Kesultanan Ternate dan Tidore, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Siak Indrapura di Sumatera dan berpuluh-puluh kesultanan lainnya bila tidak mau bergabung dalam Negara Proklamasi ini? Adakah TRI (Tentara Rakyat Indonesia) atau TNI bisa memaksa pada saat itu? Tentu tidak bisa karena Tentara Rakyat itu bahkan di antarnya dilahirkan dari laskar-laskar di daerah yang telah ada sebelumnya. Apa lacur yang terjadi justru sebaliknya, mereka bukan hanya sukarela bersatu tetapi bahkan berkorban harta, benda, jiwa bahkan kekuasaannya demi bergabung dengan Negara Proklamasi ini. Ya, karena kebesaran jiwa para pemimpin Bumiputra saat itu maka terbentuklah wilayah Negara Republik Indonesia seperti sekarang ini.

Jumhur usai membacakan Pledoi yang memang jernih itu akhirnya, Majelis Hakim memutuskan sidang akan dilajutkan 7 Oktober 2021 yang agendanya adalah replik kepada penggugat untuk menjawab bantahan tergugat dalam pledoi itu. (AHM-PRB)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.