OLEH IMAM WAHYUDI *)
MUNDURLAH..! Satu kata yang lebih dari cukup untuk Zainuddin Amali. Mundur dari jabatan menpora. Lebih dari satu kata, rasanya berpotensi harakiri ala Jepang.
Meruntut dua menpora sebelumnya. Andi Malarangeng dan Imam Nahrawi menyatakan mundur dari jabatan. Tak perlu berlama-lama bertahan. Ini menyangkut “public trust” sebuah pemerintahan. Keduanya terjerat korupsi yang kadung berujung bui.
Tak berlebihan, terkait Zainuddin Amali — lebih dari “sekadar” kasus korupsi. Kali ini tentang Merah-Putih. Bendera kebangsaan Indonesia. Skalanya lebih besar. Berdampak lebih dahsyat. Tak kecuali efek domino. Itu lantaran berkait langsung bab reputasi Indonesia di pentas dunia.
Mundurlah! Satu kata lebih yang dari cukup. Ya, Om Zain baiknya mundur sebagai menpora. Ini tentang Merah-Putih, Bung! Solusinya, juga mesti “hitam putih”. Tak patut dengan spasi “maklum”. Hendaknya dimaknai sebagai perkara serius. Tak cukup dengan pernyataan maaf. Betapa pun, itu baik — pada kesempatan pertama.
Menpora harus bertanggungjawab atas “peristiwa” podium juara Piala Thomas di Aarhus, Denmark. Distorsi parah berbanding reputasi tim bulutangkis Indonesia. Merebut kembali lambang supremasi bulutangkis beregu putra dunia. Penantian 19 tahun dari dominasi China. Tim merah-putih memimpin rekor 14 kali juara sepanjang 72 tahun Piala Thomas sejak 1949.
Tak ada kibaran Merah-Putih di Ceres Arena. Sebuah standar protokol penghargaan untuk timnas juara. Berlaku secara universal di kancah olahraga internasional. Mending, masih diperdengarkan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Mirip “bagi paro” (meminjam istilah petani penggarap -pen) atau (mungkin) serupa “win win solution”. Entahlah. Yang pasti, tak ada kerekan bendera negara juara (baca: Indonesia). Satu “moment” yang kerap, bahkan selalu — menggetarkan hati kita. Terlebih berlangsung di negara lain, nun jauh di sana. Sebaliknya, justru bagai mempertontonkan hukuman “penalty” bagi Indonesia. Panggung juara yang disaksikan serentak dan mendunia.
Bendera PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) di panggung juara Piala Thomas itu. “Menggantikan” bendera negara Indonesia. Malah parah! Bukankah “badge” Merah-Putih yang nempel di dada kanan (kostum) setiap pemain timnas Indonesia?! Badge Merah-Putih yang selalu ditarik tangan kanan dan dicium, saat pemain memenangkan pertandingan. Jelas, pertaruhan Merah-Putih. Korelasinya, tentu berlaku saat upacara penghormatan juara. Lantas, tak berakhir dengan kibaran bendera kebangsaan. Manifestasi juara, mutlak terdistorsi.
*
MUNDURLAH! SATU KATA LEBIH DARI CUKUP. BEGITU, OM ZAINUDDIN. JABATAN MENPORA TAK SEBANDING DENGAN MAKNA MERAH-PUTIH. OMONG KOSONG, ANDAI PIHAK MENPORA TAK MENDUGA SEBELUMNYA. JANGAN-JANGAN MALAH DI”SEMBUNYI”KAN. JANGAN-JANGAN PULA, OTORITAS NEGARA BIDANG PEMUDA DAN OLAHRAGA ITU — TAK MENDUGA PULA TIMNAS INDONESIA BAKAL JUARA PIALA THOMAS?!
Rasanya, tidaklah mungkin pihak menpora berspekulasi ikhwal sanksi antidoping itu. Sebaliknya, andai timnas Indonesia tak raih juara. Sangat mungkin, soal sanksi larangan pengibaran bendera negara juara — tak akan serta-merta terungkap. Publik tak pernah tahu. Bakal “adem-ayem” saja.
Akhirnya terkuak. Badan Antidoping Dunia sudah “warning” secara hirarkis ke Lembaga Antidoping Indonesia (LADI). Indonesia dinyatakan tak patuh dalam pencegahan standar antidoping. Tak mengikuti “test doping plan” (TDP) pada tahun 2020. Sanksi pun diberlakukan. Secara kelembagaan, menpora lalai. Tragisnya, berdampak pada larangan kibaran bendera kebangsaan di panggung juara. Dimungkinkan pula sanksi lanjutan. Berupa larangan menjadi ruanrumah kompetisi olahraga mancanegara. Nah, lho.
*
Mundurlah! Ini soal Merah-Putih, Om Zain. Bendera merah-putih sebagai identitas utama kebangsaan bangsa Indonesia. Adalah simbol keberanian dan kesucian bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Bendera Merah Putih dan Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab 15 Pasal 35 dan 36A. Kedudukan bendera Merah-Putih sebagai bendera Indonesia pun diperjelas melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Peristiwa di panggung juara Piala Thomas 2020 (dilaksanakan 2021, karena pandemi Corona -pen) sudah terjadi. Tak membatalkan Timnas Indonesia sebagai juara. Bersamaan itu, tak terbantahkan — praktis menggerus citra Indonesia di pentas sport dunia — yang wajib menjunjung tinggi sportivitas. Bagai memanipulasi reputasi dan prestasi sang juara.
Tak perlu terlintas bayang “hattrick” kasus di kemenpora. Rekor tiga menpora mesti mundur?! Kali ini, giliran Zainuddin Amali. Dua menpora sebelumnya, harus angkat kaki — sebelum akhir jabatan. Pilihan sulit, sekali gus tak sulit. Sekali lagi, ini soal Merah-Putih. Tak cukup celah untuk “tawar-menawar”.
Demi yang terbaik dan keutamaan dalam berbangsa dan bernegara. Merah-Putih tak sebanding Piala Thomas. “Hanya Satu Kata”, bait awal lagu Hari Moekti — kali ini untuk sang menpora. Ya, hanya satu kata: Mundurlah..!*
*) Ketua Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jawa Barat.