OLEH Agustinus Edy Kristianto
Sehabis acara Catatan Demokrasi TV One, kemarin malam, saya masih memikirkan pernyataan Staf Khusus Menteri BUMN Erick Thohir, Arya Sinulingga, dalam perdebatannya dengan saya: “Kalau mau main, masak sekecil itu.”
Saya balas: “Apakah Anda main yang besar? Kan, logikanya seperti itu.”
Saya berpikir sebesar apa ukuran suatu permainan (1 miliar, 1 triliun, 10 triliun, 100 triliun, 1.000 triliun?) sehingga penyelenggara negara ‘layak’ ikut bermain? Mengapa tidak dibuat saja aturan di negara ini bahwa penyelenggara negara boleh berbisnis asalkan ukurannya kecil?
Konteks pernyataan sang stafsus itu adalah market share PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang hanya 2,5% (700 ribu) dari total tes PCR di Indonesia sebanyak 28,4 juta. Atas dasar itu, dia menuding saya jangan-jangan menutupi para pemain yang menguasai 97,5% sisanya itu. Dia mungkin berpikir saya dibayar oleh PT Budimanmaju Megah Farmasi (Bumame) atau Prodia, yang berusaha di bidang tes PCR juga.
Padahal, jika mengerti prinsip, fungsi pemerintah adalah membentuk kebijakan. Harusnya dia buat kebijakan supaya terjadi supply-demand yang adil dan melindungi masyarakat berkaitan dengan pengadaan PCR, termasuk kebijakan perpajakannya, bukan malah penyelenggara negara membuat PT.
Tapi soal tudingan itu saya tak ambil pusing. Silakan masyarakat menilai. Poin saya adalah prinsip good governance, transparansi, keadilan, dan partisipasi publik. Dari semua prinsip itu, penting untuk secara operasional ditekankan bahwa penyelenggara negara terikat baik oleh hukum formal maupun etika dalam pelaksanaan wewenangnya. Oleh sebab itu konflik kepentingan harus dihindari, sebab ia sangat berpotensi penyelewengan/korupsi. Mau kecil, mau besar; korupsi tetaplah korupsi.
Erick Thohir (ET) dan Menko Marives Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) adalah penyelenggara negara. ET bahkan menjabat sebagai Ketua Satgas Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). LBP menjabat Koordinator PPKM. Mereka berdua terafiliasi atau setidak-tidaknya memiliki relasi dengan pihak yang menjadi pemegang saham PT GSI.
LBP adalah pendiri PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) yang awalnya bernama PT Buana Persada Gemilang. Diakui oleh jubirnya, LBP saat ini menguasai 10%. TOBA adalah induk PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtra. Keduanya pemegang saham PT GSI.
Garibaldi (Boy) Thohir adalah kakak ET. Dalam Akta Yayasan Adaro Bangun Negeri No. 41 tanggal 16 September 2021, Boy menjabat sebagai anggota Dewan Pembina (Edwin Soeryadjaya adalah ketua umum, Theodore Permadi Rachmat anggota Dewan Pembina). Yayasan Adaro menguasai 485 lembar saham PT GSI. Pendiri Yayasan Adaro tercatat adalah PT Adaro Indonesia. Sebanyak 88% saham PT Adaro Indonesia dikuasai PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Boy adalah Presiden Direktur ADRO sekaligus pemegang 6,18% sahamnya.
Tak usah berdebat lagi soal PT GSI tidak didirikan untuk tujuan profit atau kewirausahaan sosial. Tidak. Tujuan PT adalah memperoleh laba!
Penting bagi kita untuk bicara governance dan konflik kepentingan. Bukan dalam kasus PCR ini saja konflik kepentingan terjadi yang diduga berkaitan dengan ET dan kakaknya itu. Boleh di-scroll status-status saya sebelumnya, terutama yang membahas mengenai investasi Telkomsel (anak BUMN PT Telkom Tbk) di Gojek sebesar Rp6,4+ triliun dan sengketa antara PT Panca Amara Utama/PAU (anak perusahaan PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA) dan PT Rekayasa Industri/Rekind (anak BUMN PT Pupuk Indonesia).
Kita bisa temukan adanya semacam POLA dan komposisi AKTOR yang serupa dengan yang terjadi dalam kasus bisnis PCR.
Mari kita telisik. Semoga saja ini termasuk kategori ‘besar’ sehingga layak ‘dimainkan’:
INVESTASI TELKOMSEL DI GOJEK-TOKOPEDIA (GOTO)
Saya beri tahu info teranyar. TERNYATA PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (AKAB) yang merupakan badan hukum GOTO baru saja melakukan perubahan Akta No. 128 pada 29 Oktober 2021. Menariknya adalah dalam akta itu tercatat Boy Thohir menjabat sebagai Komisaris Utama dan pemegang 1.054.287.487 lembar saham Seri D.
Pada akta sebelumnya (No. 158 tanggal 28 Mei 2021), Boy hanya menjabat Komisaris Utama tanpa menggenggam selembar saham pun.
Laporan Keuangan Triwulan II TLKM mencatat adanya penyertaan jangka panjang pada instrumen keuangan berupa OBLIGASI KONVERSI TANPA BUNGA melalui Telkomsel di PT AKAB sebesar Rp2,1 triliun (per 31 Desember 2020) dan investasi pada ekuitas di AKAB senilai Rp6,7 triliun (per 30 Juni 2021).
Silakan berdalih bahwa keuangan anak perusahaan BUMN bukan merupakan keuangan negara. Tapi fakta ini tidak bisa dibantah: ET adalah Menteri BUMN. Telkom adalah BUMN pengendali Telkomsel. Kakak ET adalah Komisaris dan pemegang saham GOTO, perusahaan yang mendapat suntikan triliunan rupiah itu.
Apakah relasinya terlihat oleh pemirsa? Apakah mungkin semua aksi korporasi itu terjadi jika ET bukan Menteri BUMN? Apakah tercium potensi konflik kepentingannya? Apakah mungkin kaum rebahan biasa seperti kita, yang tidak punya adik seperti ET sang Menteri BUMN, bisa juga disuntik triliunan rupiah seperti itu?
Tapi setidaknya mari kita ucapkan selamat kepada Boy Thohir karena akhirnya bisa mendapatkan saham GOTO dalam genggaman. Apalagi sebentar lagi GOTO kabarnya hendak IPO.
KASUS PAU VS REKIND
PAU adalah anak PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA). Pada 22 Juni 2015 menandatangani perjanjian proyek pembangunan pabrik amoniak di Banggai, Sulsel, dengan PT Rekind (anak BUMN Pupuk Indonesia) senilai US$507,86 juta. Terjadi perselisihan di antara keduanya.
Boy adalah Komisaris ESSA sekaligus pemegang 3,6% saham. Akta PAU No. 28 tanggal 24 Mei 2021 mencatat Boy Thohir menjabat sebagai Presiden Komisaris.
Langsung kita menuju berkas Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu Atas Pengendalian Biaya dan Manajemen Proyek Tahun 2016, 2017, dan 2018 pada PT Rekayasa Industri di Jakarta, Jawa tengah, Sulawesi Tengah, Banten, dan Instansi Terkait yang diluncurkan BPK pada 10 Juni 2020 No. 15/AUDITAMA VII/PDTT/06/2020.
Pada halaman 114, BPK menemukan potensi kerugian Rekind atas:
– Pencairan performance bond sebesar US$56 juta;
– Sisa tagihan pembayaran belum dibayar oleh PT PAU sebesar US$10,7 juta;
– Retensi yang masih ditahan US$50,7 juta;
– CO yang belum disepakati sebesar US$18,26 juta.
Kemudian ada kesepakatan antara Rekind dan PAU 12 Agustus 2020 (ET sudah menjabat Menteri BUMN). Dibuatlah Perjanjian Penyelesaian Terhadap Supplemental Agreement (verifikasi biaya kontrak). Tidak ada proses hukum. Semua perselisihan yang berkaitan dengan proyek, kontrak EPC, arbitrase, dan laporan polisi. Uang Jaminan Pekerjaan yang dicairkan PAU pada 15 Mei 2019 sebesar US$56 juta dikembalikan pada 26 Oktober 2020. Tapi tidak uang retensi US$50 juta.
Langsung ke Laporan Keuangan Pupuk Indonesia 2020 (ET sudah menjabat Menteri BUMN). Terdapat PENYAJIAN KEMBALI (restatement) Laporan Keuangan periode sebelumnya (2019). Apa yang disajikan kembali?
Ternyata laba 2019 sebesar Rp3,71 triliun di-restatement menjadi Rp2,99 triliun. Selisih Rp718-an miliar! Ada keterangan penghapusan (write-off) pekerjaan dalam penyelesaian kontrak konstruksi dari pelanggan yang tidak tertagih dalam proyek dengan PAU itu.
Jadinya lucu. ET mewakili pemegang saham negara (di Pupuk Indonesia dan Rekind) dalam RUPS. Mengambil keputusan yang ada urusannya dengan perusahaan sang kakak, yakni PAU. Bagaimana coba?
Kabar terakhir yang saya dengar adalah Direktur Keuangan Pupuk Indonesia saat ini akan mengundurkan diri, padahal ia belum lama menjabat. Plt. Dirkeu adalah Panji W. Ruky, bekas orang Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja.
Saya menulis lebih panjang dari biasanya hanya untuk ‘menanyakan’ kepada Presiden Jokowi, apakah yang saya sampaikan ini, menurut Anda, sudah cukup ‘besar’ untuk menjadi bahan ‘main’ pembantu Anda?
Saya takut kalau diserang lagi dengan kalimat: “Kalau mau main, masak sekecil itu.”