Oleh: Prof. Dr. Pierre Suteki, S.H., M.Hum.*
Belum lama berselang geger berita tentang dugaan pelampauan wewenang TNI dalam hal penurunan baliho HRS dan sambangnya Koopssus di seputar kediaman HRS di Petamburan, Jakarta. Hal ini menyusul foto viral tentang bacaan “Gubernur Indonesia”, maksud saya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang tengah membaca sebuah buku berjudul “How Democracies Die” karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Mengapa tiba-tiba beredar foto Anies membaca buku How Democracies Die? Apakah dia sedang “mengeja puzzle” peristiwa yang tengah dipertontonkan di negeri ini, yang menggiring ke jurang kehancuran demokrasi?
Buku tersebut, yang ditulis dua orang ilmuwan politik Harvard University, saya beli pada 2018 di Bandara Ahmad Yani Semarang, tampaknya kembali asyik “dibuka-buka”. Sejak awal saya bertanya dalam hati, bagaimana bisa demokrasi mati? Bukankah sistem ini pilihan terbaik semua negara bangsa (nation state) sekarang?
Saya mencoba mengais-ngais informasi di buku yang bersampul warna hitam itu.
Di bagian pendahuluan, Levitsky dan Ziblatt menceritakan bagaimana demokrasi bisa mati. “But there is another way to break a democracy“. Siapa pembunuh demokrasi itu? Pembunuhnya bukan para jenderal tiran, diktator, tetapi penguasa yang terpilih dalam sistem demokrasi itu sendiri. It is less dramatic but equally destructive (p. 3).
Levitsky dan Ziblatt membeberkan banyak contoh; mulai Chávez di Venezuela, pemimpin terpilih di Georgia, Hungaria, Nicaragua, Peru, Filipina, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, Ukraina, dan tentu saja Amerika Serikat. Para pemimpinnya membunuh demokrasi secara perlahan.
Ternyata demokrasi juga mengalami senjakala mendekati lonceng kematiannya. Apakah mungkin penguasa Indonesia yang mengaku sebagai penguasa demokratis berdasar Pancasila saat ini termasuk yang sedang membunuh sistem yang dipilih dan diciptakannya sendiri?
Empat Indikator Perilaku Otoritarianisme
Levitsky dan Ziblatt mengatakan tidak semua pemimpin terpilih tadi memiliki track record represif dan otoriter. Memang ada yang sejak awal tampak otoriter, seperti Hitler dan Chávez. Banyak yang awalnya berwajah polos dan lugu, pelan tapi pasti lalu menjadi otoriter setelah memimpin dalam rangka mempertahankan kekuasaannya.
Levitsky dan Ziblatt memberikan daftar pertanyaan sekaligus sebagai indikator sebuah sistem kepemimpinan otoriter ataukah demokratis.
Terdapat empat indikator otoritarianisme yang disebutnya “Four Key Indicators of Authoritarian Behavior“. Untuk mengetes indikator otoritatianisme digunakan “litmus test” (p. 23-24). Keempat indikator itu sebagai berikut:
Pertama
Reject of (or weak commitment to) democratic rule of the game (Penolakan (atau lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi.
Parameternya:
(1) Apakah mereka suka mengubah-ubah UU?
(2) Apakah mereka melarang organisasi tertentu?
(3) Apakah mereka membatasi hak-hak politik warga negara?
(Do they banning certain organizations, or restricting basic civil or political rights).
Jika kita telusuri peristiwa yang sekarang terjadi, misalnya perubahan UU KPK, UU Minerba, 79 UU dalam UU Omnibus Law –yang disebut UU Kejar Tayang dan legitimasinya rendah lantaran ditolak oleh “buanyak pihak”– mungkin parameter indikator pertama terpenuhi.
Parameter kedua, indikator pertama tampaknya juga terpenuhi dengan pencabutan badan hukum dan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 2017 dan aktivisnya yang “dipersekusi”. Surat Terdaftar FPI setahu saya juga tidak diperpanjang lagi oleh Pemerintah.
Kini ada kejadian lagi terkait perundungan terhadap organisasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dengan menangkap delapan aktivisnya karena diduga menyatakan pendapat dalam grup WA yang dinilai terkait dengan demonstrasi menolak satu UU yang saya sebut UU Omnibus Law CLBK (Cipta Lapangan Bisnis dan Kerja) yang berakhir rusuh.
Apakah ini bisa diartikan telah terjadi pembatasan hak dasar politik untuk berkumpul dan menyatakan pendapat yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sistem demokrasi itu?
Kedua
Denial of the legitimacy of political opponent (Penolakan terhadap legitimasi oposisi).
Parameternya, antara lain apakah mereka menyematkan lawan politik mereka dengan sebutan-sebutan subversif, mengancam asas dan ideologi negara? Apakah mereka mengkriminalisasi lawan-lawan politik mereka dengan berbagai tuduhan yang mengada-ada?
Saya kira masih segar ingatan kita, bagaimana banyak orang kritis di negeri ini yang disematkan kepadanya tuduhan terpapar radikalisme, idelogi “khilafahisme”, makar, anti-Pancasila dan anti NKRI, serta para ustaz dan ulama yang “dikriminalisasi”.
Saya sendiri korban propaganda isu radikalisme yang menyasar perguruan tinggi lantaran tidak setuju Perppu Ormas 2017 dan menyatakan bahwa khilafah itu sebagai bagian ajaran Islam yang boleh didakwahkan.
Dugaan persekusi terhadap ustaz, aktivis dengan tuduhan remeh-temeh yang terkesan mengada-ada dan tebang pilih pun terjadi, misalnya kepada Ustaz GN, HI, AT, aktivis AD telah terjadi. Penangkapan terhadap aktivis KAMI juga terkesan cukup jelas membuktikan adanya ancaman kekuasaan.
Terakhir, kepulangan HRS dari Arab Saudi yang akhirnya ditanggapi beragam masyarakat dan pemerintah. Banyak pejabat pemerintah yang kegerahan atas statemen HRS pada saat acara maulid Nabi dan pernikahan putrinya di Petamburan. HRS terkesan diposisikan sebagai musuh negara. Apakah adanya bukti-bukti tersebut juga menunjukkan bahwa parameter indikator kedua ini ada?
Ketiga
Toleration or encouragement of violence (Toleransi, membiarkan atau mendorong adanya aksi kekerasan).
Parameternya, antara lain apakah mereka memiliki hubungan dengan semacam organisasi paramiliter yang cenderung menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri?
Saya tidak perlu menyebut nama ormas kepemudaan berseragam “militer” yang acapkali “mempersekusi”, membubarkan pengajian, serta bertindak seolah mendudukkan diri sebagai polisi, jaksa, dan hakim sekaligus.
Apa yang terjadi di Pasuruan dan Surabaya beberapa bulan lalu hanyalah sebuah rentetan adanya indikator dugaan hubungan antara paramiliter dengan kekuasaan.
Tugas menahan, menghentikan kegiatan warga itu jelas wewenang aparat penegak hukum. Bukan tugas ormas apapun. Bahkan apabila ormas melakukan kegiatan itu seharusnya, berdasar UU Ormas 2017, ormas itu dapat dijatuhi sanksi dibubarkan dan anggota atau pengurusnya dapat dipidana penjara.
Namun kita saksikan penguasa terkesan hanya diam dan seolah menyetujui semuanya. Apakah bukti-bukti yang tersimak ini juga membuktikan bahwa parameter indikator ketiga ini terpenuhi?
Keempat
Readiness to curtail civil liberties of opponent, including media (Kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil).
Parameter di antaranya:
(1) Apakah mereka mendukung (atau membuat) UU yang membatasi kebebasan sipil, terutama hak-hak politik dan menyampaikan pendapat?
(2) Apakah mereka melarang tema-tema tertentu?
Diterbitkannya UU Ormas, RUU HIP, serta berbagai kebijakan penguasa yang melarang pembahasan tema tertentu, misalnya tentang khilafah karena dianggap mengancam Pancasila dan NKRI, sementara khilafah itu bagian ajaran Islam tentang Fikih Siyasah yang boleh dipelajari dan didakwahkan sebagaimana salat, zakat, haji dan lain-lain menjadi bukti adanya parameter indikator keempat.
Ancaman psikologis terhadap para aktivis pendakwah, ustaz dan lain-lain dengan narasi terpapar radikalisme cukup menghambat hak politik untuk menyampaikan pendapat.
Demikian pula penangkapan dan penahanan para aktivis KAMI pada 11/12 Oktober 2020 juga sebagai indikasi pembatasan, bahkan ancaman terhadap hak menyatakan pendapat dan berkumpul. Apakah fakta ini juga menunjukkan terpenuhinya parameter otoritarianisme indikator yang keempat ini?
Keempat indikator itu mungkin terpenuhi semua atau sebagian terpenuhi maka dapat disebut bahwa suatu negara demokrasi telah mengarah kepada “lonceng kematiannya”.
Jadi, jika jawaban atas semua pertanyaan yang menjadi parameter setiap indikator di atas adalah “ya” maka jelas sudah rezim saat ini termasuk otoriter dan represif. Lalu apa dampaknya?
Menurut Levitsky dan Ziblatt, tindakan represif mereka tidak hanya membunuh demokrasi, tetapi juga mengakibatkan polarisasi sedemikian parah di tengah masyarakat. Kemungkinan terburuknya bisa terjadi perang sipil!
Potensi Civil War (Perang Sipil) Akibat Matinya Demokrasi
Ziblatt dan Levitsky lalu menyatakan bahwa sekalipun dulu negara-negara demokrasi, khususnya AS terbukti bisa bertahan menghadapi perang sipil, The Great Depression, perang dingin, dan Watergate, namun mereka sangsi kali ini AS –di masa Donald Trump ini– masih bisa bertahan menghadapi ancaman polarisasi yang sedemikian ekstrim di tengah masyarakat.
Akar masalah semua ini, menurut Levitsky dan Ziblatt, karena masyarakat, khususnya politisi, tidak lagi memegang norma dan prinsip demokrasi secara kuat. Mereka menjelaskan demokrasi hanyalah seperangkat aturan, tetapi jika riil di lapangan aturan tadi dilanggar maka sama saja aturan tadi tidak ada.
Akhirnya antara rival yang satu dengan lainnya saling serang, saling menjatuhkan, dan nyaris menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan (for a strategy of winning by any means necessary (p. 9).
Polarisasi terus terjadi dan polarisasi itulah yang secara ekstrim dapat membunuh demokrasi itu sendiri.
Mampukah Indonesia keluar dari polarisasi antara pendukung pemerintah dan kelompok oposisi dalam meraih kemenangan?
Jika keduanya saling “ngotot” mempertahankan prinsip tanpa membuka peluang untuk dialog, dan bahkan pemerintah cenderung bertindak otoritarianisme terhadap rakyat dan kelompok oposisi, maka tidak menutup kemungkinan perang sipil (civil war) akan terjadi.
Jika perang sipil terjadi, mungkin kita bisa membayangkan betapa dahsyat pertarungan antara dua kubu yang masing-masing dipimpin oleh seorang “hero“. Adegan-demi adegan dalam film “Captain America: Civil Wars” mungkin benar-benar akan terjadi.
Dalam film yang laris ditonton mulai 27 April 2016, Steve Rogers, sang Captain America (Chris Evans), kembali beraksi menunjukkan otot kuatnya. Jangan bayangkan sang super hero akan melakukan tugasnya secara solo. Ia akan dibantu beberapa rekannya, termasuk Hawkeye, Scarlett Witch, dan Falcon.
Sesuai dengan judulnya, Captain America: Civil War memang menampilkan pertarungan sengit antara Captain America dengan Iron Man. Di poster filmnyapun terlihat deretan pahlawan super yang saling berhadapan. Satu tim dipimpin Captain America, sementara yang lain dimotori Iron Man. Tetapi itu hanyalah film.
Semoga civil war tidak terjadi di Indonesia. Dialog, masihkah dialog menjadi obat mujarab untuk menghindari perang sipil di negeri ini?
Potensi terjadinya perang sipil sangat besar ketika ada upaya untuk terus menghadap-hadapkan TNI dengan rakyat (sebagian umat Islam pembela HRS). Yang pasti, rakyat akan terbelah untuk menggeser koordinatnya, apakah ia bersama TNI yang menempatkan HRS sebagai musuh ataukah mereka bersama HRS membela kebenaran dan keadilan yang berbasis agama? Tentu hal ini kontraproduktif terhadap keutuhan dan persatuan bangsa dan negara.
*
Ancaman terhadap matinya demokrasi sangat besar ketika penguasa, dalam hal ini termasuk pemerintah dan DPR, berlaku semakin otoritarian menghadapi rakyat dalam menuntut keadilan dan kebenaran. Konflik bisa makin meluas.
Jika sumber utama konflik adalah penolakan secara meluas terhadap UU Omnibus Law CLBK maka solusinya tidak lain mencabut UU ini. Ongkos yang paling murah dan sederhana adalah dengan pernerbitan PERPPU oleh Presiden.
Mengujinya di Mahkamah Konstitusi (MK) tampaknya juga bukan langkah yang tepat, mengingat sekitar 79 UU yang ada dalam UU Omnibus Law yang harus direview oleh MK. Sedang mereview satu UU saja membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga tahunan.
Perlu diambil langkah strategis dan akurat untuk keluar dari konflik ini. Menurut keyakinan saya, Indonesia tidak akan ambruk tanpa Omnibus Law CLBK. Bukankah kita masih lengkap mempunyai 79 UU itu?
Selain masalah UU Cipta Kerja dan sejenisnya, kita berharap penyelenggara negara tidak mengumbar arogansi sikap otoritarianisme di hadapan rakyat yang sekarang tengah di rundung berbagai kesulitan hidup.
Jangan paksa rakyat terbelah dalam menyikapi kebijakan penguasa yang terkesan melampaui kewenangannya dan justru tidak taat pada hukum. Kembalikan tugas dan pokok fungsi Polri, TNI, dan pejabat negara lainya pada ketentuan UU.
Hindari provokasi yang mengadu domba dan membuat rakyat terbelah. Jika ada kekeliruan rakyat, ajak dialog, duduk bersama membicarakan masalah bersama.
Semua ini kita lakukan untuk mencegah “polarisasi kekuatan rakyat” yang diprediksikan akan memicu terjadinya perang sipil, yang pasti akan menimbulkan korban yang tidak ternilai harganya.
Tabik…!!!
*Penulis adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila