Putaran wacana penundaan Pemilu 2024 kadung menuai pro-kontra. Episode ini mirip “try and error”. Pada kesempatan pertama, saya pernah menulisnya. Bertajuk “Akhiri Wacana Penundaan”. Mengutip narasi Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah.
Sejalan itu, saya membuat perumpamaan serupa “uji coba lapangan”. Bernada sama, meski berbeda kostum. Masuk itu barang. Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan (ZulHas) — lantas bertindak sportif. Bolehlah disebut begitu. ZulHas tak membiarkan polemik berlanjut. Kontraproduktif, begitu pula substansinya.
Tak sulit untuk mencerna pernyataan ZulHas pada akhir pekan ini. Di Kota Medan, Sumut. Keluar dari jebakan “offside” jadi pilihan terbaik. Bisa jadi, berikutnya kembali memimpin sebagai “striker”. Membuat “on target” menghadapi kontestasi demokrasi 5 tahunan, Pemilu 2024.
Narasi publik sempat menunjuk “titik putih”. Potensial penalti. Bahwa wacana penundaan sulit bergulir. Tak mungkin terlaksana. Betapa pun setuju penundaan, sekali lagi — tak mungkin. Sisi ini, boleh dikata “fair play”. Tak berlanjut “pritt” wasit, apalagi teriak seorang penonton di tribun.
Ya, penundaan bukan perkara mudah. Itu ringkasnya. Sederet rintangan harus dilalui. Menghadang. Adalah langkah amandemen UUD ’45 yang memprasyaratkan 2/3 dukungan anggota MPR. Panjang berliku. Tanpa itu inkonstitusional. Hal serupa pernah bergulir pada periode 2014-2019, toh tak bisa. Jauh pula, bayangan lewat Dekrit — harus dengan alasan keadaan yang memaksa.
Apresiasi terhadap langkah ZulHas hari ini. Menghentikan wacana penundaan. Itu tadi, bakal panjang dan berliku. Giliran berlagu “The Long and Winding Road”, menebar sejuk akhir pekan.*
Imam Wahyudi
– Wartawan senior di Bandung