Imam Wahyudi
Jurnalis Senior di Bandung
Perjudian itu diputar ulang. Celoteh seorang sejawat. Memasuki masa kampanye para caleg. Menuju hari pemilu 14 Februari 2024 mendatang.
Obrolan warkop yang serbalintas. Marak gambar caleg di banyak sudut kota. Tak kecuali di kawasan permukiman padat penduduk. Di batang pohon dan tiang listrik atau apa saja yang bisa dimanfaatkan untuk spasi publikasi. Lantas mengapa nyeleneh dengan frasa “perjudian”? Ya, sebuah pertaruhan yang di antaranya beraroma spekulasi. Siapa tahu lolos.
Tidak mudah dan mencerahkan dalam mendiskusikan hal-ikhwal itu. Utamanya aspek kompetensi dan kapasitas untuk memenuhi harapan rakyat yang kelak diwakilkannya. Sebuah lembaga parlemen (legislatif) yang berkualitas. Bila itu adanya, maka ruang dan peluang cenderung dominan bagi para aleg petahana. Sialnya pula, tidak ada pembatasan masa jabatan yang sama diberlakukan bagi pejabat publik (eksekutif). Hanya boleh dua periode masa bakti.
Faktual adalah regulasi KPU tentang kuota caleg di setiap tingkatan dan dapil. Pun soal gender dengan pemenuhan 30%. Tentu saja, tak ada masalah dan bersesuaian dengan tuntutan publik. Masalah kemudian muncul, justru pada proses rekrutmen. Tak semua bacaleg dalam kondisi siap tempur dengan berbagai prasyaratnya. Alih-alih bab kompetensi dan kapasitas. Cenderung kejaran pemenuhan kuota caleg.
Bagaimana pun, bingkai optimisme harus senantiasa digerakkan. Mungkin saja di antaranya bagai dalam posisi “maju kena mundur kena”. Utamanya persaingan dan kesiapan logistik. Meski bukan segalanya, tapi segalanya dengan minim logistik — tidaklah leluasa melangkah. Pasrah.
Hal penting lainnya perlu kehati-hatian, bahkan waspada. Dalam arti kejaran kemenangan sejalan siap dengan kekalahan. Perlu telaah mendalam akan realita di depan mata. Adalah probabilitas terhadap hasil akhir pileg nanti. Terkait peluang “hanya” sekira enam prosen dari jumlah kontestan. Meliputi semua tingkatan. DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/kota.