Mengapa draf revisi UU Penyiaran dinilai bakal memberangus kebebasan pers? – ‘Aneh, ada larangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi’
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tersebar di masyarakat mendapat kritik tajam dari berbagai pegiat jurnalistik dan peneliti media. Sorotan utamanya adalah pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
PRIBUMINEWS.CO.ID – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengatakan kalimat pelarangan penayangan jurnalistik investigatif “membingungkan” dan menyebut pasal ini dapat “dimaknai sebagai pembungkaman pers”.
“Ini sungguh aneh, mengapa di penyiaran tidak boleh ada investigasi?” ujar Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, pada BBC.Com, Kamis (09/05).
Dalam draf rancangan RUU Penyiaran yang diterima BBC News Indonesia, tercatat ada pasal 56 ayat 2 poin c. Isinya melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Sejumlah anggota Komisi I DPR yang dihubungi BBC News Indonesia untuk mengonfirmasinya tidak memberikan tanggapan pesan tertulis yang kami kirimkan.
Anggota Komisi I DPR, Dave Laksono, hanya memberikan keterangan bahwa pihaknya tidak berniat membelenggu kebebasan pers. Dave tidak menjawab secara spesifik draf pasal itu.
jurnalistik investigasi karena banyak yang berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Beberapa contoh yang dikemukakan Komang antara lain liputan mengenai kekerasan seksual di lembaga keagamaan dan institusi pendidikan yang mendorong pengesahan UU Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga investigasi ihwal berbagai skandal korupsi.
“Investigasi mengenai sistem perlindungan pekerja migran di luar negeri, atau nelayan di laut lepas, memberi tekanan publik kepada pemerintah untuk berbuat sesuatu,” tutur Komang.
Wahyu menggarisbawahi peran jurnalisme investigasi adalah mengendus skandal pelanggaran kepentingan publik dan membongkarnya agar terjadi perbaikan.
Selain itu, pemberitaan di media massa arus utama juga hanya akan sebatas melaporkan apa yang tampak di permukaan kalau tidak ada jurnalisme investigasi.
“Ruang informasi publik akan hampa dan steril dari laporan mendalam yang membongkar kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang nyata,” ujar Wahyu.
Walaupun publik bisa saja menemukan cara alternatif untuk berkomunikasi dan bertukar informasi sensitif, peran verifikasi dan konfirmasi media arus utama tetaplah penting.
“Tanpa itu, maka kualitas dan kredibilitas konten di ruang-ruang digital alternatif ini akan amat bervariasi. Akibatnya, bisa-bisa ada kebingungan massal atau amnesia publik karena tidak ada kejelasan mana yang informasi terverifikasi dan mana yang tidak,” tegasnya.
Wahyu menegaskan penyensoran liputan investigasi eksklusif sama dengan membungkam oposisi, masyarakat sipil dan suara-suara kritis lainnya.
“Ini merupakan ciri negara diktator dan otoriter,” cetusnya seraya mendorong masyarakat sipil untuk mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi apabila benar RUU Penyiaran disahkan.
“Perlawanan harus dilakukan agar tidak ada sensor atas jurnalisme dan ekspresi publik apa pun,” tukasnya.
<span;>Dandhy Laksono: ‘Saya enggak peduli… karya investigatif harus semakin banyak dibuat’
Secara terpisah, salah seorang pendiri rumah produksi Watchdoc Documentary, Dandhy Laksono, mengaku dirinya “terkejut” dan “menyayangkan” pasal tersebut.
Dia khawatir, jika pasal itu tak dicabut dari draf revisi, masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk mendapat informasi yang diproses melalui kaidah jurnalistik yang benar.
“Sebagai filmmaker [pembuat film] dan jurnalis, [saya] enggak peduli. Saya mungkin akan melanggar hukum apabila [RUU] ini disahkan. Makin dilarang, sebaiknya semua content creator [pembuat konten], semua jurnalis harus semakin membuat karya investigatif, pembangkangan sipil terhadap [RUU] ini,” ujar Dandhy.
Bersama Andhy Panca Kurniawan, selama 14 tahun terakhir Dandy membuat ratusan judul film dokumenter antara lain Sexy Killers yang mengupas bisnis batu bara dan The Endgame mengenai polemik Tes Wawasan Kebangsaan KPK.
Film Dirty Vote yang dibuat Dandhy ramai dibicarakan publik sejak pertama kali ditayangkan di Youtube pada 11 Februari lalu.
Film berdurasi 117 menit ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara yang mengungkap apa yang mereka sebut sebagai kecurangan dalam proses pemilihan presiden tahun 2024.
Sementara itu, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Arif Zulkifli, menyebut Pasal 56 Ayat 2 Poin C mengenai larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi merupakan “kemunduran yang sangat serius” bagi kemerdekaan pers Indonesia.
“Saya tidak tahu kenapa DPR begitu bersemangat mengedepankan RUU ini. Apakah ingin membungkam pers dan kenapa harus sekarang? Apakah ada keinginan agar pemerintahan yang selanjutnya itu bisa berjalan tanpa kritik yang signifikan dari pers, dalam hal ini pers TV? Saya kira pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab,” ujarnya.
Arif juga mempertanyakan KPI menjadi mediator sengketa pers. Dia menyebut UU Pers 40/1999 sudah mengatur sengketa pers ditangani Dewan Pers.
“Tentu saja kita bisa berspekulasi kenapa ada upaya untuk membawa ke KPI. Spekulasi yang sangat masuk akal adalah KPI anggotanya dipilih oleh DPR, sementara Dewan Pers anggotanya dipilih dan ditentukan oleh komunitas pers itu sendiri,” tegasnya.
Senada, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bayu Wardhana, mengatakan kalimat pelarangan penayangan jurnalistik investigatif “membingungkan” dan menyebut pasal ini dapat “dimaknai sebagai pembungkaman pers”.
“Ini sungguh aneh, mengapa di penyiaran tidak boleh ada investigasi?” ujar Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, pada Kamis (09/05).
Bayu mengkhawatirkan potensi dampak pasal RUU Penyiaran terhadap kualitas berita yang nantinya ditayangkan televisi dan radio. Masyarakat hanya akan mendapat berita-berita seremoni alih-alih berita-berita yang kritis, jelasnya.
BBC News Indonesia memperoleh salinan dari RUU Penyiaran berikut naskah akademiknya. Dalam pantauan BBC News Indonesia, pasal yang menjadi perhatian adalah pasal 56 Ayat 2 Poin C.
Pasal 56 Ayat 2 sendiri memuat larangan-larangan Standar Isi Siaran atau disingkat SIS sementara Poin C menyebut “penayangan eksklusif jurnalistik investigasi”.
Larangan-larangan lainnya dalam SIS antara lain adalah Poin G yakni “penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender”.
Apakah RUU Penyiaran berniat membelenggu kebebasan pers?
Peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael, mengatakan Pasal 56 Ayat 2 Poin C dalam RUU Penyiaran “ambigu dan membingungkan”.
Heychael menilai tampak ada keinginan untuk mencegah produk-produk jurnalistik investigatif tertentu – beberapa contoh yang dilontarkannya antara lain program Bocor Alus dari Tempo atau karya besutan jurnalis dan pembuat film Dandhy Laksono, Dirty Vote, yang mengulas tuduhan kecurangan pemilu.
“Ini kan melawan seluruh prinsip jurnalistik, ya? Justru jurnalistik itu bukan hanya harus akurat dan benar, tetapi informasi itu harus aktual,” tutur Heychael.
Sekjen AJI Bayu Wardhana mengatakan bahwa kepercayaan publik terhadap televisi sangat tinggi berdasarkan riset AJI dan pusat studi media dan komunikasi Remotivi. Hal ini membuat dampak RUU Penyiaran terhadap kualitas berita yang ditayangkan televisi dan radio dapat dimaknai sebagai pembungkaman pers.
Lebih lanjut, Bayu juga mengkritisi pasal-pasal yang memberikan kewenangan penanganan sengketa pers khusus di bidang penyiaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Padahal, menurut Bayu, sudah ada Dewan Pers yang menangani kasus tersebut. Selain itu, mengingat RUU Penyiaran ini merupakan inisiatif dari DPR, Bayu mengatakan maka RUU Penyiaran ini dapat disebut “upaya DPR untuk melemahkan Dewan Pers”.
“Upaya untuk melemahkan Dewan Pers sebenarnya sudah lama terjadi. Seperti ketika RUU Omnibus Law Cipta Kerja, ada bab soal pers yang menjadi menjadi pasal melemahkan. Syukur saat itu bab pers dihapus dari draf RUU Ciptaker. Upaya itu muncul kembali di RUU Penyiaran ini,” tutur Bayu.
“Yang dinikmati masyarakat saat ini adalah platform-platform digital, seperti di youtube, live IG, live Tiktok, Netflix, Disney, Prime Video, dan lainnya. Sedangkan di sana belum ada aturan yang mumpuni untuk kemudian bisa menjaga dan melindungi masyarakat dari konten-konten yang tidak sesuai dengan norma dan budaya Indonesia, seperti konten LGBT, SARA dan hal negatif lainnya,” katanya.
“Belum lagi dari aspek bisnisnya, apakah kemudian platform digital yang sangat besar itu dan mayoritas asing hanya mengambil pasar 270 juta penduduk, lalu apa kontribusinya bagi negara?” katanya.
“Kalau kemudian ada yang gelisah media baru itu diatur akan menghambat kreativitas, nanti akan sama seperti TV dan radio, ini menurut kami kekhawatiran yang tidak berdasar karena tentunya pasti akan berbeda skenario dan skema peraturannya,” ujarnya.
Tulus juga berharap agar segala masukan dari beberapa kelompok masyarakat ini bertujuan untuk menyempurnakan isi dari draf RUU Penyiaran, bukan malah menolak RUU secara keseluruhan.
“Yang tidak setuju 1-2 poin-poin tertentu, tapi yang diungkapkan ingin menolak RUUnya. UU Penyiaran umurnya sudah 22 tahun, banyak perkembangan yang harus diikuti dan butuh pengaturan yang lebih komperhensif dan jelas,” katanya.**