KOBOY POLICY, VERSUS KONSULTASI PUBLIK
“Zaman Menteri KKP Susi Pudjiastuti Budaya Konsultasi Publik Sebelum Membuat Kebijakan Hilang (Terhapus). Namun, Edhy Prabowo Lakukan Pembangkitan Budaya Tersebut. Sebelum Mengambil Kebijakan, Edhy Prabowo Menginstruksikan Kajian-Kajian Akademik, Forum Konsultasi, Focus Group Discussion (FGD) dan dialog: Diskusi Publik, Seminar dan Survei.”
Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI)
________________
Dari berbagai sudut pandang, konsultasi publik dianggap menjadi istilah yang populer dengan berkembangnya proses-proses partisipatif dalam penentuan kebijakan dan perumusan/ penyusunan peraturan perundang-undangan yang tentunya akan berdampak bagi nelayan dan masyarakat yang bertumpuan hidupnya di sektor Kelautan dan Perikanan (KP).
Istilah ini sering terkait dengan proses yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), meskipun sebenarnya asosiasi nelayan juga dapat melakukan konsultasi publik di daerah-daerah untuk memperoleh masukan mengenai suatu rancangan peraturan perundang-undangan yang sedang disusunnya.
Tetapi, ada hal yang berbeda. Bahkan masalah yang paling krusial zaman Menteri KKP Susi Pudjiastuti, membuat Peraturan dan/atau kebijakan tanpa ada kajian akademik, tanpa ada dialog pakar, ahli dan meminta pendapat masyarakat.
Zaman Edhy Prabowo: membuat kebijakan yang sangat baik dan disambut gegap gempita oleh oara stakeholders kelautan dan Perikanan. Melalui Instruksi Nomor B.717/MEN-KP/XI/2019 tentang kajian terhadap peraturan bidang Kelautan dan Perikanan. Tentu, proses pengambilan keputusan melibatkan partisipasi publik dengan sentral kegiatan konsultasi.
Selama 2 bulan ini, Edhy Prabowo Menteri KKP berhasil menggelar kegiatan konsultasi Publik berdurasi 2 kali dalam seminggu. Dalam kegiatan konsultasi publik itu: mengundang para pakar untuk ikut memberi masukan terkait kebijakan yang sebaiknya diambil pemerintah. Sebab, yakini para pakar merupakan pihak yang lebih tahu soal kebijakan yang bisa bermanfaat.
Tetapi, pada periode lalu, mantan Menteri KKP Periode 2014 – 2019 mengambil kebijakan sangat “koboy policy”. Saya menyebut “Koboy Policy” sebagai gambaran bahwa proses pengambil kebijakan dan keputusan membuat peraturan itu tanpa ada konsultasi publik, tanpa meminta pendapat para ahli, tanpa memanggil nelayan sebagai perasa akibat peraturan dan tanpa bertabayyun kepada pengusaha perikanan.
Praktek “Koboy Policy” banyak disukai oleh netizein, tetapi secara fakta dan meluas mematikan dunia usaha kelautan dan perikanan. Zaman Menteri KKP Susi Pudjiastuti sektor kelautan dan perikanan hancur lebur.
Maka patut, mengingatkan agar kebijakan dapat di diambil, tidak dilakukan dengan asal. Sebab, yang terpenting adalah memberikan nilai tambah bagi pemahaman masyarakat nelayan dan bisa berpartisipasi menentukan arah masa depannya.
Periode Edhy Prabowo: usaha-usaha pengambilan keputusan tidak aur-auran, yang benar dilanjutkan dan yang lemah diperbaiki serta yang salah diluruskan. Para pakar-pakar dilibatkan sehingga nelayan dapat manfaat dan nilai tambah dari kebijakan.
Konsultasi publik yang bangkitkan oleh Edhy Prabowo sangatlah beragam. Secara umum instruksi untuk kajian-kajian tentang peraturan sebelumnya, baru sekarang ditemukan dari sudut pandang relasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan masyarakat.
Proses pembangkitan budaya Konsultasi publik itu sendiri diartikan sebagai cara, mekanisme, dan proses melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan baik oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Jalan metodologi Edhy Prabowo dalam mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan publik, sudah dinilai benar. Namun, ini bukan berarti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat menetapkan kebijakan tanpa sepengetahuan stakeholders: nekayan, masyarajat dan pengusaha.
Semangat instruksi menteri Edhy Prabowo memaknai bahwa publik memiliki hak untuk dimintai pendapatnya, memperoleh penjelasan, mengajukan usulan dan mengoreksi secara terus menerus setiap keputusan dan kebijakan yang diambil. Bahkan, jika dianggap perlu, misalnya untuk menyikapi hal-hal yang sangat kritis, publik juga perlu terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan menjelaskannya diberbagai ruang media massa.
Di sini, peran penting asosiasi nelayan dan para pemangku kepentingan lain yang diakui oleh pemerintah. Konsultasi publik yang dilakukan pemerintah untuk melibatkan stakeholders dalam merumuskan sebuah kebijakan atau peraturan yang akan membangun terjadinya hubungan dua arah antara pemerintah dan nelayan.
Periode Menteri Edhy Prabowo sangat rasional, terbuka dan objektif. Hampir tidak ada ruang untuk menentukan keputusan sendiri, selalu melibatkan masyarakat: nelayan, pengusaha dan pesisir disektor kelautan dan Perikanan. Artinya tidak akan ada lagi “KOBOY POLICY.”[Redaksi NLS]
Perairan NTB Surganya Lobster Indonesia
Sebanyak empat dari tujuh jenis lobster unggulan di Indonesia yang memiliki harga jual tinggi di pasar domestik maupun mancanegara saat ini, ada di wilayah perairan NTB. Jenis lobster itu, yakni Lobster pasir (Panulirus homarus), Lobster Mutiara (Panulirus ornatus), Lobster batu atau yang lazim dikenal lobster karang (Panulirus penicillatus) dan Lobster Bambu (Panulirus versicolor). Tak heran pembudidayaan lobster sungguh menjanjikan. Apalagi, Sekali panen, ratusan juta hingga Rp 1 miliar bisa diraup oleh para nelayan di wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.
Hanya saja, badai keuntungan bagi para nelayan bakal tergoncang kembali menyusul ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024, Edhy Prabowo oleh tim KPK beberapa hari lalu.
Wajar jika perairan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa memiliki luas wilayah total sebesar 20.153,15 km persegi disebut sebagai surganya lobster. Oleh karena itu, salah satu kekayaan laut yang dimiliki oleh negara NTB adalah area terumbu karang yang sangat luas dan merupakan habitat utama lobster. Lobster dianggap sebagai salah satu komoditas laut NTB yang memiliki peranan penting baik dari segi ekologi maupun ekonomi.
Ketua Umum Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI) Rusdianto Samawa mengatakan, bahwa spesies lobster dari perairan kedua pulau di NTB itu ( Lombok dan Sumbawa) adalah lobster mutiara, pasir, karang, dan bambu.
“Lobster karang, bambu, pasir dan mutiara bernilai tinggi dan berorientasi ekspor. Potensi ini tentu, dapat diakses secara terbuka untuk mendatangkan keuntungan ekonomi,” kata Rusdianto dalam siaran tertulisnya, Senin (30/11).
Ia menyatakan, zonasi lokasi spesifik untuk budidaya lobster di Pulau Sumbawa dan Lombok terdapat di Teluk Jukung-Telong Elong, Teluk Ekas, Teluk, Labuhan Bontong, Labangka, Labuhan Pidang, Penobo, Sili, Maci, Mata dan Sape. Dimana, sesuai data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB tahun 2013 dan 2014, maka potensi benih lobster di NTB mencapai 10 juta ekor induk.
Untuk itu, Rusdianto meminta pada jajaran Pemprov melalui Diskanlut setempat agar mulai melakukan intervensi paket kebijakan untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat melalui pemanfaatan, penangkap benih bening, dan pembudidayaan benih lobster.
“Starting point-nya adalah pemantapan strategi dan kerjasama investasi lobster dan benih lobster. Masyarakat lebih memilih menangkap benih lobster untuk diekspor karena dihargai tinggi dibandingkan untuk input budidaya,” jelas Rusdianto.
Data Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu (BKIPM) dan Keamanan Hasil Perikanan Mataram, tercatat total nilai pengiriman lobster untuk ukuran konsumsi dari NTB ke daerah lain mencapai Rp7,4 miliar selama periode Januari-Juni 2019.
Sementara itu, Pakar crustacea Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI), Rianta Pratiwi dalam keterangan resmi laman LIPI mengatakan, bahwa lobster tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Penyebaran itu pun hampir merata karena lobster hidup di perairan dangkal hingga kedalaman 100-200 meter di bawah permukaan laut dengan kisaran suhu 20-30 derajat celcius. “Mereka biasanya menyenangi daerah terumbuh karang, bersembunyi di dalam lubang atau dibalik batu-batu karang yang airnya dangkal di daerah tropis ataupun semi tropis,” jelas Rianta.
Menurut Riana, saat ini Indonesia mempunyai tujuh jenis lobster. Yakni, Lobster pasir (Panulirus homarus), Lobster batik (Panulirus longipes), Lobster batu (Panulirus penicillatus), Lobster Pakistan (Panulirus polyphagus), Lobster Mutiara (Panulirus ornatus), Lobster Bambu (Panulirus versicolor) dan Lobster Batik (Panulirus femoristriga)
“Lobster mutiara dan lobster pasir menjadi lobster yang paling potensial untuk dikembangkan melalui sistem budidaya perikanan yang ada di Indonesia,” ungkapnya.
“Meskipun memiliki morfologi yang sama, tetapi habitatnya berbeda-beda tergantung jenisnya,” sambung Rianta.
*20 Miliar Ekor
Terkait potensi benih lobster alam di laut Indonesia? Rianta mengatakan, potensi benih lobster alam di laut Indonesia sangat besar dan diperkirakan mencapai 20 miliar ekor per tahun. Namun, bukan berarti potensi ini akan aman di lautan, karena banyak hal yang sangat mungkin memengaruhi keberadaan dan ekosistem lobster alam.
“Faktor alam yang mencakup dinamika oseanografi dan klimatologi sangat memengaruhi keberadaan dan stok benih lobster alam di laut Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, kualitas lingkungan perairan laut dan aktivitas penangkapan juga ikut andil memberikan pengaruh terhadap keberadaan stok benih lobster di alam. “Namun, hingga saat ini, hampir belum ada informasi yang memadai terkait faktor mana yang paling menentukan keberadaan dan stok benih lobster di alam,” ungkapnya.
Lobster atau yang lebih dikenal dengan ‘udang karang atau udang barong’ memiliki nilai ekonomi dan konsumsi yang tinggi sebab dagingnya yang gurih, halus, lezat dan kaya akan protein.
Rianta menegaskan, lobster bukan hanya komersial di Indonesia namun juga hampir di seluruh dunia. “Lobster merupakan jenis yang komersial di sepanjang pantai utara dan selatan Amerika, Afrika Mediteranean, India, Australia, Selandia Baru, dan perairan Indo-Pasifik, termasuk perairan Indonesia,” ujarnya.
Raup 700 Juta-Rp 1 Miliar
Terpisah, salah satu nelayan asal Lombok Timur, Sapardi mengatakan, Teluk Jukung merupakan salah satu surganya lobster di Lotim. Sapardi memiliki dua buah keramba di sana. Yang didatangi ini adalah keramba kedua. Dimana, satu keramba memiliki 25 lubang. Tahun ini, 40 lubang diisi lobster pasir. Sebanyak 10 lubang lobster mutiara. Ukuran per lubang 3×3 meter. “Memang luas. Tapi di laut ukuran seperti ini tetap saja kecil,” katanya.
Harga lobster pasir per kilo saat itu berkisar antara Rp 125 sampai Rp 150 ribu. Panen. pertamanya, ia mendapat Rp 2,5 juta. Dikurangi modal Rp 750 ribu, bersih ia kantongi Rp 1,75 juta. Uang segitu tentu sangat besar bagi remaja sepertinya.
“Keuntungan tidak saya pakai belanja. Tapi untuk mengembangkan keramba,” katanya.
Sejak saat itu, per dua tahun ia menambah dua lubang. Sampai pada 2009, ia sudah memiliki 6 lubang. Hasilnya tentu semakin besar. “Ditambah lagi peraturan menteri KKP belum keluar. Kita masih bisa jual kapanpun,” jelasnya.
Sampai di sana, Sapardi memperlihatkan raut wajah haru mengenang masa sulitnya. Saat ayahnya meninggal dunia, ia harus putus sekolah. Dia mengaku sempat merasa terkucilkan karena kondisi ekonominya saat itu. Melihat ia rajin bekerja pun, para remaja di kampungnya di Desa Pare Mas, Kecamatan Jerowaru cenderung menghindar. “Jarang ada yang mau berteman sama saya,” kenangnya.
Lobsterlah yang membuat kehidupan Sapardi berubah. Perubahan itu drastis. Ia seperti dibawa terbang ke langit oleh lobster-lobster yang ia budidaya di keramba miliknya. Meski di tahun 2009, modalnya sempat melayang untuk membiayai pernikahannya
Berbicara laba, harga lobster tergantung dolar. Dengan 25 lubang keramba yang ia miliki, ia bisa meraup sekitar Rp 350 juta sekali panen. Dengan rincian, satu lubang lobster pasir rata-rata menghasilkan Rp 6 juta. Lobster mutiara Rp 20 juta. Perlubang kita lepas 100 ekor. Dipanen saat beratnya 200 gram,” terangnya.
Tahun lalu, dengan keuntungan yang ia miliki, ia membuat lagi satu keramba dengan 25 lubang. Jadi ada dua keramba dengan 50 lubang. Jika 25 lubang menghasilkan Rp 350 juta, maka sekali panen ia bisa meraup keuntungan Rp 700 juta. (*).
Kegagalan Kinerja Sektor Kelautan – Perikanan: Menteri KKP Dituntut Mundur
Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)
Kondisi sosial ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia saat ini, dalam keadaan tidak baik. Betapa banyak masalah yang tak kunjung usai. Muncul lagi masalah baru yang berpotensi melibatkan negara-negara di dunia.
Terutama Indonesia, kebijakan seputar kelautan dan perikanan sangat naif yang diakibatkan oleh regulasi – regulasi tidak pro pada masyarakat pesisir. Alih-alih meningkatkan ekonomi, malah menyulitkan putaran ekonomi perikanan.
Potensi resesi kelautan dan perikanan sangat mungkin terjadi. “Kalau kita evaluasi dalam dua tahun terakhir ini, sosial ekonomi perikanan mengalami kondisi stagnan sehingga berdampak pada memburuk pendapatan masyarakat. Potensi resesi sangat mungkin terjadi.”
Data Badan Pusat Statistik tahun 2020 triwulan II pertumbuhan hanya pada angka 0,36 persen dan triwulan III terkontraksi 1,03 persen. Hanya bertaut beberapa persen saja. Tentu, kondisinya sangat memburuk dan prihatin. Meskipun pertumbuhan ekonomi triwulan II – 2021 capai 7,07%.
“Namun, belum ada tanda – tanda aktivitas ekonomi perikanan menggeliat. Salah satu faktornya adalah terbitnya berbagai regulasi yang menyulitkan masyarakat pesisir: nelayan, pembudidaya dan petani garam. Terutama pada regulasi PNBP PP 85 tahun 2021.”
Mestinya sadari lebih awal, bahwa selama pandemi, sektor kelautan perikanan sudah nampak berat dan serba sulit. Walaupun pemerintah hadirkan investasi Shrimp estate dibeberapa wilayah Indonesia. Tetapi, belum bisa memulihkan kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir.
“Malahan memunculkan banyak masalah, seperti pelanggaran terhadap reforma agraria yang membuat masyarakat pesisir kehilangan tanah. Apalagi sudah mulai terjadi deforestasi lahan – lahan pesisir laut yang menyebabkan hilangnya hutan mangrove.”
Pemerintah berupaya menggenjot investasi dan ekspor. Supaya ekonomi kelautan membaik dan kesejahteraan nelayan meningkat. Namun, kebijakan yang diambil kerapkali menimbulkan polemik dan konflik antar masyarakat pesisir. Misalnya regulasi PNBP naik 400% maupun tumpang tindihnya regulasi penataan ruang laut pesisir.
Terbitnya beraneka ragam regulasi dalam bentuk PP, Kepmen, Permen, Insmen, dan peraturan teknis lainnya sebagai turunan UU Cipta Kerja No 11/2021 membuat banyak pihak kesulitan dalam berusaha dan beraktivitas. Cilakanya ada pula aturan bertentangan dengan UU sektoralnya, seperti peraturan PNBP dan penataan ruang laut pesisir.
“Menurunnya daya serap pasar terhadap produk hasil perikanan, lemahnya etos tenaga kerja sangat rendah, manajemen koperasi perikanan alami pelemahan, dan minimnya hasil ekspor perikanan. Perhatian pemerintah masih minim, tidak bisa tangkap peluang pemulihan ekonomi pada subsektor kelautan dan perikanan.”
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak memiliki kepekaan untuk ciptakan lapangan pekerjaan di tengah situasi seperti sekarang. Walaupun banyak program strategis seperti shrimp estate. Tetapi belum bisa dimanfaatkan untuk saat ini sebagai andalan strategi pemulihan ekonomi sosial perikanan. Karena investasi shrimp estate bisa berjalan pasca 2025 nanti.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) anggap food estate (FE) dan shrimp estate (SE) program pemulihan. Namun, program tersebut, tak bisa intervensi problem sosial ekonomi kelautan dan perikanan dari hulu ke hilir. Program yang dicanangkan itu sangat parsial dan tidak memiliki kejelasan investasi, sehingga tidak akan memberi manfaat kesejahteraan bagi masyarakat pesisir.
Pemerintah perlu evaluasi seluruh program dan regulasi yang sudah diterbitkan sehingga bisa menjadi signifikan bagi upaya pemulihan sektor perikanan. Perlu juga menyadari kondisi selama dua tahun pandemi covid, aktivitas masyarakat pesisir pun nyaris lumpuh, meski pemerintah telah menggelontorkan ragam bantuan sosial dan afirmasi kebijakan program. Kenyataannya belum pulih. Bahkan melemah.
Kinerja kelautan dan perikanan mengalami pasang surut. Cenderung melemah dan mengalami stagnasi. Kita bisa analisis dari beberapa lembaga yang mengeluarkan hasil risetnya menandakan sektor kelautan dan perikanan melemah.
Badan Pusat Statistik (BPS, 2021) merilis pertumbuhan ekonomi sektor perikanan triwulan II – 2021 mencapai 9,06%. Angkanya lebih tinggi ketimbang triwulan yang sama 2021 sebesar 6,41%. Produk domestik bruto (PDB) perikanan berdasarkan harga konstan 2010 triwulan I-2021 sebesar Rp 63.649,9 miliar, turun dibandingkan periode sama 2020 sebesar Rp 64.494,5 miliar.
Produk Bomestik Bruto (PDB) nasional tumbuh 7,07 secara tahunan (year on year /yoy) pada kuartal II-2021. Realisasi ini menjadi yang tertinggi sejak kuartal IV-2021. Tercatat pada periode April-Juni 2021, ekspor tumbuh sebesar 31,78 persen yoy, didukung oleh kenaikan permintaan negara mitra dagang utama. Kemudian, konsumsi rumah tangga untuk pertama kalinya tercatat tumbuh positif sejak kuartal II-2020 sebesar 5,93 persen yoy, jauh membaik dari kinerja kuartal I-2021 -2,22 persen yoy.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi nasional pada triwulan II-2021 mengalami pertumbuhan 7,07% dari triwulan II-2020 (yoy). Dalam capaian tersebut, usaha perikanan termasuk sektor yang mengalami pertumbuhan signifikan. Sementara itu, PDB perikanan sepanjang triwulan II-2021 sebesar Rp 67.729.80 miliar, naik dibanding triwulan II-2020 sebesar Rp 61.748,40 miliar (BPS, 2021).
Hanya saja, kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional hanya 2,83% (BPS, 2021). Artinya, stagnan dan tidak mengalami perubahan signifikan. Sektor perikanan menunjukkan kenaikan sebesar 9,69% pada kuartal kedua 2021 meski dalam masa pandemi. Kenaikan dipicu meningkatnya produksi perikanan budidaya dan perikanan tangkap karena cuaca yang mendukung.
Adapun data BPS menyebutkan, nilai produk domestik bruto (PDB) perikanan pada triwulan II sebesar Rp 188 triliun atau 2,83% terhadap nilai PDB nasional. Nilai PDB tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan triwulan I sebesar Rp 109,9 triliun atau 2,77% terhadap nilai PDB nasional. Pertumbuhan ini telah menyebabkan nilai PDB riil pada triwulan II telah melampaui nilai PDB riil pada triwulan IV 2019, sebelum terjadinya pandemi Covid-19.
Sementara, laporan Bank Indonesia (BI, 2021) tentang hasil survei kegiatan dunia usaha triwulan II-2021 terjadi akselerasi ketimbang triwulan I-2021. Indikatornya pada nilai saldo bersih tertimbang (SBT) melonjak dari -0,1% triwulan I-2021 menjadi 0,17% triwulan II-2021. Namun, Bank Indonesia (BI, 2021) juga perkirakan nilai SBT bakal turun lagi sebesar -0,06% triwulan III-2021 akibat Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat hingga PPKM level 3 dan 4 di wilayah Jawa-Bali hingga saat ini.
Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM, 2021) merilis data bahwa sektor usaha UMKM yang paling terdampak Covid-19 antara lain 35,88 persen penyedia akomodasi dan makanan minuman, kemudian 23,33 persen pedagang besar dan eceran, serta 17,83 persen industri pengolahan kelautan dan perikanan. Artinya, terjadi penurunan yang sangat drastis dari 2,83% menjadi 0,17% akhir tahun 2021 ini.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM, 2021) melaporkan bahwa investasi penanaman modal asing (PMA) sektor perikanan sepanjang triwulan I dan II-2021 stagnan di angka US$ 5,2 juta atau setara Rp 72,8 miliar. Angka ini jauh dibandingkan triwulan I-2020 sebesar US$ 34,7 juta dan triwulan II-2020 sebesar US$ 65 juta.
Pada triwulan II- 2021, Kapasitas Produksi Terpakai (KPT) perikanan 76,58%, lebih tinggi ketimbang triwulan II-2020 sebesar 66,39%. Angka ini mengindikasikan industri perikanan nasional tak dihantui krisis bahan baku ikan. Begitu pula SBT tenaga kerja perikanan triwulan II-2021 sebesar -0,06%, lebih tinggi dibandingkan periode sama 2020 sebesar -0,26%.
Nilai ini diperkirakan turun hingga triwulan III-2021 sebesar -0,18%. Berarti penggunaan tenaga kerja sektor perikanan hingga triwulan II-2021 diperkirakan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga sektor perikanan prediksi turun drastis dan terjadi pengangguran.
Kemudian, analisis tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir diukur dari Nilai Tukar Nelayan (NTN) sebesar 104,38 dibanding periode sama 2020 sebesar 98,80. Sementara, NTPi, triwulan II-2021 sebesar 102,54, juga melonjak drastis dari 99,55 dalam periode sama 2020.
Padahal, negara tujuan ekspor komoditas perikanan seperti Amerika Serikat (AS) yang bukukan transaksi sebesar USD 1,1 miliar (44,4%) dari total nilai ekspor. Disusul Tiongkok sebesar USD 382,9 juta (14,8%) dari nilai ekspor total dan Jepang sebesar USD 278,9 juta (10,8%). Kemudian negara – negara ASEAN sebesar USD 270,1 juta (10,4%), Uni Eropa sebesar USD 132,0 juta (5,1%), dan Australia sebesar USD 55,2 juta (2,1%).
Sementara, Nilai ekspor komoditas Udang mencapai USD 1 miliar atau 40,1% terhadap total nilai ekspor. Kemudian, Tuna, Cakalang, Tongkol sebesar USD 334,7 juta (12,9%), Cumi, Sotong, Gurita sebesar USD 268,6 juta (10,4%), Rajungan, Kepiting sebesar USD 256,6 juta (9,9%), Rumput Laut sebesar USD 144,6 juta (5,6%) dan Layur sebesar USD 44,2 juta (1,7%).
Kemudian, menurut koran tempo, 2021 per Agustus bahwa ekspor kategori ikan layur (13,37%), kerapu (19,77%), ikan hias (22,49%), lobster (24,87%), baraccuda (27,28%), bulu babi (29,21%), kakap Merah (31,56%), mutiara (37,61%), ubur – ubur (39,55%), ikan pari (43,86%), sirip hiu (70,51 %), sea bream (150,10%), cobia (159,98%) dan ikan pipil (43,56%).
Padahal menurut data ITC, 2021 Per November bahwa kontribusi terbesar ekspor perikanan Indonesia triwulan II-2021 tetap didominasi udang, tuna, tongkol, cakalang dan mengalami penurunan drastis sehingga volume triwulan II-2020 hanya 12,20% dibandingkan triwulan II- 2020. Begitu pula ekspor udang triwulan II-2021 turun 2,36 % dibandingkan triwulan II-2020
Namun, data yang disuguhkan diatas sangat kontra produktif dengan hasil Peneriman Negara bukan pajak (PNBP) hingga Juli – November 2021 ini, baru capai Rp 324,79 miliar (33,93%) dari target dalam APBN 2021 sebesar Rp 957,19 miliar. PNBP perikanan hingga November 2020 capaiannya Rp 358,50 miliar (39,82%) dari target APBN 2020 sebesar Rp 900,4 miliar.
Artinya, tidak seimbang dan tidak cocok sama sekali antara nilai ekspor, NTN, NTPi dan PNBP yang dicapai. Logikanya tak masuk akal. Berarti peraturan PP No 85 tahun 2021 tentang kenaikan PNBP tidak berdampak sama sekali akan pertambahan nilai pemasukan pendapatan bukan pajak maupun kesejahteraan masyarakat pesisir.
Data Kemenkeu, 2021 bahwa pertumbuhan PNBP sangat negatif -8,65% dibandingkan hingga Juli 2020 sebesar 25,7%. Artinya, PNBP perikanan tidak optimal dan semakin merosot. Justru menariknya, investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) justr u melonjak 58,98%, dari Rp 191,4 miliar (triwulan I-2021) naik menjadi Rp 415,9 miliar (triwulan II-2021).
Faktanya, tidak selalu positif karena investasi domestik jauh lebih ketimbang asing. Setidaknya: penelitian Wiradana et al (2021) bahwa transportasi laut yang berperan dalam rantai pasok (supply chain) mengalami penurunan ekspor dan impor kargo hingga 14-18% ke Tiongkok, Singapura dan Korea Selatan selama pandemi Covid-19. Otomatis rantai pasok ekspor maupun impor barang dan jasa kelautan terganggu.
Berarti, apapun bentuk kebijakan pemerintah untuk menyusun strategi pemulihan. Nampaknya tidak memiliki efek signifikan. Pemerintah kucurkan dana bantuan sebesar Rp123,46 triliun. Dana bantuan terdiri dari subsidi bunga Rp35,28 triliun, dana restrukturisasi Rp78,78 triliun, belanja Imbal Jasa Penjaminan (IJP) Rp5 triliun, jaminan modal kerja Rp1 triliun, PPh final ditanggung pemerintah Rp2,4 triliun, dan pembiayaan investasi kepada koperasi lewat Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kemenkop UKM Rp1 triliun.
Data kemenkop UKM, 2021 mencatat penyaluran beragam dana bantuan pada 7 Oktober 2020 hingga Oktober 2021 yakni penyaluran subsidi bunga telah terrealisasi sebesar Rp3,69 triliun, kemudian realisasi penempatan dana untuk rerstrukturisasi capai Rp78,78 triliun, realisasi belanja IJP capai Rp52,94 miliar. Kemudian, realisasi PPh final sebesar Rp410 miliar dan realisasi pembiayaan investasi kepada koperasi sebesar Rp1 triliun.
Banpres tahap awal dianggarkan sebesar Rp22 triliun kepada 9,1 juta pelaku usaha mikro, sedangkan untuk tahap lanjutan dianggarkan menjadi Rp28,8 triliun bagi 12 juta pelaku usaha. Realisasi bantuan tersebut sebagaimana tercatat per 6 Oktober 2020 telah tersalurkan sebesar Rp21,86 triliun atau hampir 100 persen kepada 9,1 juta pelaku usaha mikro hingga saat ini Oktober 2021.
Selama pandemi kinerja kegiatan usaha berimbas terhadap kapasitas produksi terpakai (KPT) dan penggunaan tenaga kerja (PTK) sektor perikanan. Pemerintah hingga saat ini, masih sibuk berlakukan PPKM Level 1 – 4 khusus Jawa – Bali, artinya permintaan komoditas hasil sektor kelautan perikanan di pasar internasional maupun lokal bakal menurun dan mempengaruhi demand serta pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Upaya habis-habisan pemerintah dalam memulihkan sektor perikanan ini, tak menemukan solusi yang baik. Padahal kelautan dan perikanan salah satu pilar ekonomi nasional yang sangat penting. Sayangnya di masa krisis pandemi Covid-19, kali ini sektor perikanan: PDB, NTN, NTPi, UMKM, IKM Koperasi dan bantuan modal khusus perikanan tak bisa diangkat dan sangat terpukul.
Tumbangnya kelautan – perikanan dalam krisis kali ini dikarenakan pandemi Covid-19 telah menghajar sisi suplai dan demand, sehingga membuat sektor ini terpojok dan tidak berdaya dalam membantu pemulihan ekonomi nasional. Namun, Kementerian Kelautan – Perikanan selalu menyampaikan data – data diluar rasionalitas dan fakta lapangan.
Dari sisi suplai, permasalahan yang dihadapi sektor kelautan – perikanan, yakni produksi dan distribusi yang terhambat dan sulitnya mengakses tambahan permodalan. Sedangkan, permintaan, pembatasan aktivitas dan kekhawatiran masyarakat atas penularan Covid-19 yang begitu masif menjadi faktor utama penurunan permintaan konsumen atas produk-produk hasil olahan perikanan.
Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga alami kegagalan dalam menekan kerusakan lingkungan. Dampak terhadap masyarakat pesisir sangat rentan terhadap berbagai ancaman pencemaran baik yang berasal dari aktivitas investasi, deforestasi, domestik (marine debris), industri (pengolahan perikanan), perhubungan laut seperti tumpahan minyak (oil spill), banjir, maupun aktivitas lainnya.
Pencemaran ini akibatkan dampak buruk yang menyebabkan kerusakan masyarakat pesisir sehingga berbahaya bagi kesehatan, sosial ekonomi dan pendapatan maupun pencemaran lingkungan.
Menurut data The Global Change Institute and The Boston Consulting Group (2015), nilai aset kelautan dunia capai 24 triliun dollar AS yang terdiri dari potensi yang diambil langsung dari perikanan, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun sekitar 6,9 triliun dollar AS, transportasi laut 5,2 triliun dollar AS, penyerapan karbon 4,3 triliun dollar AS, dan jasa lain 7,8 triliun dollar AS. Hampir dua pertiga produk kelautan tersebut bergantung pada laut yang sehat.
Sementara FAO merilis data tahun 2021 bahwa sekitar 90 persen stok perikanan dunia dalam kondisi mengkhawatirkan: 61 persen sudah mengalami tangkap penuh (fully exploited) dan 29 persen sisanya tangkap lebih (over exploited). Begitu pula tingkat kerusakan mangrove 3-5 kali dari laju deforestasi. Sekitar 29 persen padang lamun juga telah rusak. Begitu pula kerusakan terumbu karang dunia mencapai 50 persen; dan pada 2050, dengan kenaikan suhu seperti saat ini, terumbu karang akan musnah.
Saat ini, bagi pemerintah, berarti harus lakukan konservasi 31 juta hektar diseluruh wilayah pesisir. Sementara, target Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam program penanaman mangrove hanya berkisar 15 juta hektar. Namun, target tersebut jauh panggang dari api. Untuk mencapai target tersebut saja, sangat susah.
Kegagalan demi kegagalan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu menjadi atensi semua pihak. Jelas, tergantung pada pemimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mampu atau tidak?. Kalau menghitung waktu kedepan, serasa tidak akan mampu untuk bekerja lebih baik dalam perbaikan sektor – sektor kelautan dan perikanan.
Apalagi, masalah penyelsaian regulasi, evaluasi kebijakan, sosial ekonomi, nilai ekspor rendah, PNBP rendah, PDB rendah hingga kerusakan lingkungan terjadi. Artinya, sektor kelautan dan perikanan mengalami masalah yang cukup berat dan tidak akan mampu memperbaiki situasi saat ini, apabila bukan orang yang tepat memimpin kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Maka, sangat wajar banyak stakeholders organisasi kelautan dan perikanan tidak merasakan kesejahteraan dari kebijakan KKP selamanya. Hanya dapatkan ketidakmampuan membenahi sektor kelautan dan perikanan. Jadi solusi dari kegagalan kinerja sektor Kelautan – Perikanan: Menteri KKP harus segera di ganti dengan orang yang lebih professional.”
Himapikani: Kebijakan KKP Membebani Nelayan dan Pembudidaya https://www.biem.co/read/2017/10/27/3070/himapikani-kebijakan-kkp-membebani-nelayan-dan-pembudidaya/
Pelaporan Menteri Kelautan dan Perikanan kepada Bareskrim atas dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan Rusdianto Samawa terus berlanjut. Kali ini, giliran Sekretaris Jenderal Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (Himapikani), Afan Arfandia, yang memberikan kesaksian. Ia membenarkan bahwa kehidupan nelayan saat ini semakin berat.
“Kami mencermati, melihat langsung ke lapangan, berbagai kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sungguh memberatkan kehidupan nelayan dan pembudidaya ikan laut,”
“Beberapa kebijakan yang kurang tepat justru berpotensi menjauhkan Nelayan dan Pembudidaya dari kesejahteraan, meningkatnya angka pengangguran akibat kebijakan larangan sejumlah alat tangkap dan terjadinya kemunduran yang signifikan di sektor budidaya terus menjadi perhatian kami” ujar Afan di Direktorat Tipidsiber Bareskrim, Senin (23/10),
Ada dua Permen KP yang terkait langsung dengan kemunduran sektor budidaya, yaitu Permen KP No. 32 tahun 2016 Perubahan, Permen KP No. 15 tahun 2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup, dan Permen KP No. 56 tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) dari wilayah NKRI.
Sebagai contoh disektor budidaya, ekspor kerapu budidaya pernah mencapai 5600 ton pada tahun 2012, tahun 2015 hanya 3500 ton, tahun 2016 > 2000 ton dan 2017 diprediksi > 1000 ton, kondisi ini merupakan dampak di hambatnya kapal pengangkut ikan hidup di perairan Indonesia. Sebagian besar kawasan budidaya juga sudah menutup usahanya seperti daerah Belawan, Sibolga, Buton, Kendari dan akan menyusul daerah-daerah lain setelah Panen terakhir ini.
“Dalam penyidikan juga saya ungkapan berbagai fakta tersebut mulai potensi meningkatnya pengangguran hingga adanya indikasi nelayan berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS pasca kebijakan Permen KP,” Demikian ungkap Afan setelah menjalani pemeriksaan sebagai saksi atas kasus Rusdianto yang dilaporkan oleh Menteri Susi Pudjiastuti.
“Kebijakan KKP seperti Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 yang melarang sejumlah Alat Tangkap, Permen Tentang Lobster, dan Permen lainnya di era Menteri Susi, pada faktanya telah melahirkan masalah baru. Kami berharap Pemerintah Peka terhadap kondisi yang sesungguhnya. Jangan sampai Publikasi KKP Itu menjadi ‘Berita di atas Derita’ Nelayan,” demikian diungkapkan Wakil Ketua Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI), Sutia Budi.
Afan memberi kesaksian atas ceramah yang disampaikan Rusdianto di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) beberapa waktu yang lalu dalam acara Seminar yang diselenggarakan Himapikani.
Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur: PNBP dan Harga Patokan Ikan (HPI)
Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur: PNBP dan Harga Patokan Ikan (HPI)
Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)
Kebijakan penangkapan ikan terukur telah memasuki tahapan realisasi. KKP memberikan izin kepada beberapa perusahaan dalam negeri sebagai mitra dalam penangkapan ikan. Sejauh mana kebijakan ini dapat direalisasikan?.
Kebijakan tersebut, kontras dengan visi poros maritim dunia yang menjaga lingkungan, sumberdaya hayati, keanekaragaman dan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana tidak? perusahaan yang diberikan izin oleh KKP melakukan mobilisasi nelayan dan kapal dalam jumlah ratusan ribu. Izin penangkapan ikan diberikan dalam jangka waktu panjang sekitar 30 tahun kedepan. Apabila pengusahanya kuat bertarung dalam plasma bisnis. Izin bisa juga jangka waktu pendek, apabila perusahaan tidak pandai mengelola tantangan dan manajemen nelayan sebagai basis perolehan bahan baku.
Kebijakan penangkapan ikan terukur diperuntukan menjaga ekosistem laut supaya tetap bersih, sehat dan sumberdaya ikan tidak terjadi overfishing. Namun, kebijakan ditengah jalan direvisi yakni perusahaan membayar PNBP sebelum produksi dan/atau sebelum penangkapan ikan (operasi) menjadi bayar pasca produksi. Beberapa perusahaan yang mendapat izin operasional membayar PNBP sebelum beroperasi.
Namun, setelah melihat kondisi pengusaha yang dipengaruhi keuangan global dan rantai bisnis perikanan sangat menyulitkan. Maka pembayaran PNBP diputuskan kembali pada konsep awal yakni pembayaran PNBP Pasca Produksi.
Pertanyaan yang muncul? Kemana uang pengusaha yang telah membayar PNBP diawal. Apalagi pembayaran tersebut syarat mutlak mendapat kuota tangkap berbagai jenis ikan. Pengeluaran izin kuota tangkap dominasi perusahaan swasta nasional. Kemudian, membentuk sejumlah paguyuban dibawah kendali perusahaan yang bersifat terikat secara langsung dengan kelembagaan nelayan.
PNBP Naik dalam Setahun? Aneh binti Ajaib
Pada tahun 2022 bulan April dan Mei, perkiraan ketersediaan ikan tangkapan dan budidaya sebesar 2,99 juta ton. Benarkah?. Menurut KKP kinerja pembangunan perikanan tangkap pada tahun 2022 tunjukkan trend positif. Rata-rata nilai tukar nelayan (NTN) sampai bulan November 2022 adalah 106,56. Jumlah produksi perikanan tangkap hingga triwulan III tercatat sebesar 5,96 juta ton dengan nilai produksi capai 182,59 triliun.
Sementara, angka penerimaan bukan pajak (PNBP) telah mencapai Rp 1,79 triliun di 2022 berasal dari sumber daya alam (SDA) perikanan sebanyak Rp1,1 triliun, non-SDA Rp611,8 miliar, serta BLU Rp44,3 miliar. Sedangkan volume produksi perikanan sampai triwulan III tahun 2022 capai 18,45 juta ton yang terdiri dari hasil tangkapan sebanyak 5,97 juta ton, hasil perikanan budidaya 5,57 ton, dan rumput laut sebanyak 6,9 juta ton.
Aneh binti Ajaib kan dari semua angka diatas, sementara penetapan PNBP Pascaproduksi diatur dalam PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Bagaimana mungkin kenaikan PNBP begitu radikal dalam kurun waktu setahun, padahal kebijakan Penangkapan Ikan Terukur baru dilaksanakan tahun 2023 ini. Karena baru saja Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah tentang Penangkapan Ikan terukur.
Baca Juga: PD (Tinggi) IP (Rendah)!
Banyak faktor pendukung indikasi kebocoran data soal kenaikan PNBP yang bergantung pada nelayan, kapal, perlengkapan, dan lainnya. Heran dalam 1 tahun bisa naik tiga kali lipat. Padahal penangkapan ikan terukur melestarikan sumberdaya ikan, bukan eksplotasi.
Kalau kebijakan lelang kuota tangkap pada amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sifatnya melindungi, melestarikan dan memelihara sumber daya ikan. Tanpa harus di eksploitasi sistem kuota sehingga tidak terjadi overfishing kedepan. Namun, regulasi kebijakan ini, mendasarkan pertimbangan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sementara UU Cipta Kerja sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi untuk diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun kedepan.
Walaupun, satu sisi penerapan PNBP Pasca produksi didukung oleh infrastruktur teknologi salah satunya aplikasi e-PIT yang akan dipakai pelaku usaha untuk menginput jumlah hasil tangkapan. Dari sistem ini jugalah, pelaku usaha akan mengetahui secara otomatis besaran PNBP Pascaproduksi yang harus dibayarkan ke negara. Hal ini tidak akan maksimal. Karena tidak setiap Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) terdapat timbangan secara online. Apalagi disetiap PPN hanya disediakan satu dua timbngan online yang tersambung dengan aplikasi e-PIT itu.
Sementara, KKP tetap meminta nelayan untuk patuh dan taat terhadap regulasi yang sudah diterbitkan. Namun, tidak di imbangi oleh tingkat pencapaian kesejahteraan nelayan. Mestinya, pemerintah yang telah menetapkan kebijakan penangkapan ikan terukur ini, tidak bertentangan dengan semangat gotong royong dan welfare fishing. Penting pertimbangkan ulang kebijakan ini, karena kedepan akan persempit ruang gerak bagi nelayan – nelayan berkapasitas kecil karena harus bersaingan dengan penggunaan alat tangkap (produksi ikan) yang jauh lebih besar.
Populasi nelayan kecil diberbagai pulau-pulau di Indonesia, masih menggunakan alat tangkap seadanya untuk bekerja dalam mencukupi kebutuhan dasar keluarga. Sedangkan nelayan modern dan/atau industri yang dimiliki perusahaan yang mendapat kuota tangkap menggunakan alat tangkap yang jauh lebih eksploitatif. KKP menerbitkan Kepmen penangkapan kuota ikan demi menghidupkan 77 pelabuhan perikanan di Indonesia yang akan menambah pundi – pundi PNPB untuk negara dan kapal perikanan yang sudah mengantongi izin PNBP Pasca produksi per Februari sebanyak 576 kapal.
Baca Juga: Catat, Ini Cara Gampang Perpanjang STNK dari Rumah
Sejauh ini, KKP belum lengkap jumlah kapal yang beroperasi. Sebenarnya sudah ratusan ribu kapal nelayan yang sudah jalan melakukan penangkapan ikan. Bekerjasama dengan perusahaan. Namun, tidak MoU kontrak kerjasama secara tertulis. Karena pada prinsipnya perusahaan tidak mau membayar seluruh proses pengurusan izin kapal nelayan. Padahal perusahaan harus mengurus izin seluruh kapal yang bekerjasama dalam penangkapan ikan berbasis kuota. Namun data KKP hanya mencatat data – data kapal sejumlah 576 kapal yang di daftarkan oleh perusahaan masing – masing. Bagaimana kapal nelayan yang lain, tidak diurus izin oleh perusahaan, padahal mestinya harus diurus, semacam wajib sesuai peraturan yang telah diterbitkan oleh KKP.
Menurut KKP bahwa pungutan PNBP pada dasarnya berupa harga acuan ikan sehingga semakin banyak ikan yang tangkap, maka PNBP yang diterima akan semakin besar. Hal ini belum tentu, karena potensi kebocoran sangat besar, misalnya dari jumlah kapal yang dioperasikan dan jumlah tangkapan yang terhitung dan/atau tidak terhitung saat pendaratan. Kebocoran itu sangat perlu dipelajari dan diantisipasi. Karena terkait perolehan PNBP yang sangat besar sekali, misalnya ada sejumlah 10 juta ton setahun dengan rata-rata Rp 40.000 per kilo, maka PNBP yang diperoleh sekitar Rp 280 triliun-an.
Penetapan PNBP pasca-produksi diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. KKP telah menerbitkan lima peraturan turunan dalam melaksanakan pungutan PNBP Pascaproduksi.
Pertama, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penetapan Nilai Produksi Ikan Pada Saat Didaratkan. Kedua, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengenaan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada KKP yang Berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam Perikanan.
Ketiga, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor No. 4 Tahun 2023 Tentang Penetapan Pelabuhan Pangkalan Yang Telah Memenuhi Syarat Penarikan Pasca Produksi Atas Jenis PNBP yang Berasal dari Pemanfaatan SDA Perikanan.
Keempat, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor No. 21 Tahun 2023 Tentang Harga Acuan Ikan. Kelima, Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan No. B.1337/MEN-KP/XII/2022 tentang Penggunaan Aplikasi Penangkapan Ikan Terukur Secara Elektronik (e-PIT).
Harga Patokan (Acuan) Ikan (HPI)
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 21 Tahun 2023 Tentang Harga Acuan Ikan yang terbit pada 20 Januari 2023 perlu dianalisis secara keseluruhan. Kepmen ini, merugikan nelayan dan tidak memberikan ruang kenaikan harga pada hasil tangkapan dan produksi hasil nelayan.
Harga acuan ikan yang diterbitkannya tidak sertakan berbagai masukan dari stakeholders. Apalagi, sisi gelap harga ikan dalam pandangan pengusaha. Intinya, tak ada satupun pengusaha (perusahaan) yang mendapatkan kuota izin tangkap ingin harga lebih tinggi. Jelas inginkan harga lebih murah, bila perlu tidak ada harga. Itulah prinsip perusahaan yang mendapatkan kuota penangkapan ikan terukur.
Atas dasar pelaku usaha yang memberikan perlengkapan infrastruktur kapal nelayan dan modal operasional nelayan dalam melaut. Namun, harga tetap diminta potongan 50% dan ditambahkan 30% potongan modal operasional. Hal ini yang membuat nelayan merasa tertindas. Hanya 20% sisa harga ikan yang dinikmati oleh nelayan. Apa yang bisa diperbuat nelayan?. Makin sengsara dan dapurnya rubuh.
Kalau benar, harga acuan ikan pertimbangkan harga pokok produksi atau biaya operasional. Maka, keputusan Menteri KKP harus dirubah dan diperjelas standarnya, sehingga produktivitas perikanan tangkap berjalan meningkat. Karena standar perusahaan ikan, tetap memotong hasil penjualan ikan sekitar 50% dan memotong 30% dari harga ikan.
Sebaiknya sumber daya perikanan berupa ikan, cumi, kepiting, lobster, rajungan dan lainnya, yang ditangkap oleh perusahaan yang mendapat izin kuota melalui skema kerjasama dengan nelayan harus ada rumusan pembagian yang berkeadilan. Karena sistem penangkapan ikan berbasis kuota sangat dominan melakukan penindasan oleh perusahaan. Hal itu tidak jauh beda nelayan bekerja seperti masa kerja romusha (kerja paksa) dan penjajahan Belanda. Ketetapan harga acuan ikan, tidak perhitungkan biaya ongkos kerja nelayan saat melaut. Tentu, hal ini akan berpengaruh pada besaran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pembagian porsentase sebagai penunjang kesejahteraan nelayan.
Misalnya ada sejumlah 10 juta ton setahun dengan rata-rata Rp 40.000 per kilo, maka PNBP yang diperoleh sekitar Rp 280 triliun-an. Dengan 40.000 harga patokan ikan itu, KKP tidak pertimbangkan perilaku perusahaan yang sering memotong harga ikan. Apalagi, KKP telah merubah sistem pengawasan, dari input control ke output control. Artinya, pengusaha perikanan akan dikenakan pungutan hasil perikanan (PHP) sesuai dengan jumlah ikan yang ditangkap. Sebelumnya, PNBP dikenakan pra-produksi, di mana pungutan hasil perikanan (PHP) dilakukan sebelum melaut.(MT)