Keindonesiaan Dalam Secakir Kopi-Huruf Kail

0
505
Peri Sandi Huizche

Oleh: Peri Sandi Huizche*

Keindonesiaan dalam secangkir kopi, menurut lema huruf kail adalah Ngasuh (menjaga) dan ngajayak (menerima/menyambut) segala hal tentang Indonesia dari berbagai sumber dengan cara bertukar-tangkap, termasuk konsep liar berupa teks spekulatif yang datang dari ruang entah (di sana), yang selama ini tak teratikulasikan, karena tidak mendapatkan ruang atau kehendaknya telah direpresentasi oleh kalangan tertentu,  termasuk oleh kepala kita yang diam-diam telah mengorder hasil representasi dan menjadikannya institusi.

Argumentasi bertukar-tangkap segala sumber tersebut ekuivalen dengan otomatisasi teks lagu: Disanalah akoe berdiri | Mendjaga Pandoe Iboekoe (1928); Disanalah aku berdiri | Djadi pandu ibuku (1958); dan, Di sanalah aku berdiri | Jadi pandu ibuku (versi modern) (Indonesia Raya, WR Supratman) serta satu teks lagu: di sana tempat lahir beta (Indonesia Pusaka, Ismail Marzuki). Bahwa diksi “di sana” pada lagu tersebut bisa dilebur dengan diksi “di sini”.

Peleburan ini bisa dirujuk juga pada konsep kosmologis Bangsa Indonesia, tentang hubungan antar subjek yang selalu dipersepsi Bhinekka Tunggal Ika, bahkan persepsi tersebut segirang-sebahagia dengan prinsip nalar masyarakat primordial Indonesia yang diuraikan Jakob Sumardjo dalam konsep Estetika Paradoks, bahwa prinsip nalar masyarakat Indonesia menerima pemisahan identitas dalam kesatuan yang utuh, misalkan adanya identitas malam, karena ada identitas siang; selain itu mereka menerima identitas ketiga secara simultan, semisal senja yang menampung identitas antara. Oleh karena itu, peluang membayangkan atau mendefinisikan keindonesiaan dari konteks setiap subjek seharusnya niscaya.

Namun realitas sosial itu tak selalu segendang-sepenarian dengan harapan, proses membayangkan setiap subjek akan selalu dihadapkan pada sekumpulan subjek yang memiliki modal (tak terbatas), yang tentu saja telah berhasil memproduksi, dan meyakini bahwa konsepnya merepresentasikan yang komunal sehingga berhasil pula mendistribusikan definisi “di sana” ke segala sektor bahkan kerap kali didistribusikan dengan cara-cara manipulatif. Sedangkan bagi subjek yang tak memiliki modal akan mengalami situasi berserak, atau bahkan menguap karena sebagian dari mereka telah mengorder kontruksi subjek bermodal dengan sikap sumerah-pasrah. Situasi ini pun ditimpilkan oleh argumen Dr. Robertus Robert dalam pengantar buku Proses Pembentukan Subjek, bahwa manusia di Indonesia selalu dianggap sebagai entitas yang ditentukan oleh faktor eksternal. Faktor yang melingkupinya. Bukan hanya sebagai manusia dalam konteks situasinya.

Perihal Indonesia Kini

Keindonesiaan akan dipahami sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan Indonesia. Salah satu isu yang sedang ramai dibicarakan adalah persiapan Indonesia Emas tahun 2045 yaitu Indonesia Maju, untuk mencapai visi tersebut, negara Indonesia membutuhkan transformasi ekonomi yang didukung oleh hilirisasi industri melalui pemanfaatan sumber daya manusia, infrastruktur, penyederhanaan regulasi, dan reformasi birokrasi.

Berita resmi statistik yang dikeluarkan tanggal 06 mei 2024 menyatakan bahwa pendapat dan pengeluaran negara masih dipersepsi aman, karena mengalami pertumbuhan sebesar 5,11 persen di seluruh lapangan usaha, hanya sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan yang terkontraksi sebesar 3,54 persen. Harapanya ekonomi Indonesia di tahun 2045 masuk lima besar dunia dan pada tahun itu diperkirakan produk domestik bruto (PDB) per kapita sebesar US$ 23.119.

Lebih lanjut negara mempersepsi bahwa Ibu Kota Negara Jakarta tidak akan mampu mendukung transformasi ini, sehingga pada 29 April 2019, Presiden Jokowi memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota Negara ke luar Pulau Jawa, tepatnya di Pulau Kalimantan, dan ini dicantumkan dalam RPJMN 2020-2024.

Pemindahan Ibu Kota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) disinyalir akan menjawab tantangan di masa depan, yaitu keluar dari jebakan berpendapatan menengah (middle income trap), selain itu hadirnya IKN baru yang berada di tengah-tengah kepulauan Indonesia, dianggap akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan merata, terutama di Kawasan Timur Indonesia, sebagaimana dirujuk dari Direktorat Jenderal Keuangan Negara.

Dari uraian perihal Indonesia tersebut, kita sebagai subjek akan selalu berada dalam mode otomatis ketika dihadapkan pada visi Inonesia Emas karena subjek terikat oleh status kependudukan, budaya, bangsa khususnya negara. Baik subjek yang terpapar, yang menolak atau tak perduli akan mendapatkan konsekuensi yang sama. Namun apakah visi Indonesia Emas ekuivalen dengan kehendak subjek? Lebih jauh, adakah kehendak subjek di sana? Jika ada, bagaimana posisinya?

Tindakan Huruf Kail

Oh iya, terlebih dahulu saya perlu mempertajam terkait lema huruf kail, huruf kail diidentikan dengan huruf abjad J, ia dibayangkan seperti mata kail yang bisa dibentuk menjadi alat untuk memancing, sehingga perlu diberi umpan. Huruf kail adalah alat jebak untuk menangkap suatu objek yang terus bergerak bahkan kemunculannya unpredictable. Oleh karena itu huruf kail perlu dioperasikan di ranah-ranah yang spekulatif seperti halnya seorang pemancing yang memilih tempat potensial, tapi bisa juga sebaliknya. Spekulasi ini memungkinkan subjek melakukan tindakan-tindakan umum atau alternatif yang dapat mengumpan dan menarik objek, untuk kemudian disingkap. Huruf kail bisa berati lema yang didudukan sebagai kerangka strategi untuk menangkap dan menyingkap objek yang terus-terusan bergerak.

Untuk menarik subjek yang berserak, huruf kail akan menggunakan umpan pertanyaan: “jika kalian harus membuat konsep Indonesia di masa depan, kalian akan merumuskannya dalam kata atau kalimat apa?” Teks umpan ini dimaksudkan untuk membuka jalur kehendak setiap subjek, yang mungkin saja dirumuskan dari kebutuhan ruang personalnya. Jalur ini pun bisa dimunkinkan sebagai penghubung dengan visi Indonesia Maju.

Teks umpan tersebut akan dilemparkan di media sosial (instagram), selama 24 jam. Hasilnya akan dikumpulkan dan kemudian akan didistribusikan dalam kegiatan yang bertajuk “Indonesia Dalam Secangkir Kopi” rancangan teman-teman pasca sarjana ISI Surakarta. Dalam hal ini pendistribusian akan diproses dengan dua tahapan: pertama, pengunjung café diminta untuk membaca dan menafsirkan rumusan kata atau kalimat yang mengandung konsep Indonesia di masa depan; kedua, argumen pengunjung café akan direkam. Rekaman argumen-argumen itu akan dipintal ke dalam video-video pendek, selanjutnya akan kembali dilemparkan di media sosial (instagram) untuk memunculkan inside-inside baru. Proses pendistribusian kembali ini dibayangkan menjadi jalinan mata-rantai yang panjang dan tak terputus, seperti teks lagu “sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia”.

Pengumpulan data ini akan memungkinkan setiap subjek untuk terus mengidentifikasi yang berserak ke dalam konteks kemelekatan masa lalu, kini dan peroyeksi ke masa depan secara simultan dan wawas.***

*Seniman Banten, kini berdomisili di Surakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.