Hak Asasi Satwa
Jaya Suprana,
Sandro Gatra Tim Redaksi
SEBENARNYA saya tidak berhak bicara tentang Hak Asasi Satwa selama saya masih karnifora, penggemar berat sate kambing dan sate sapi.
Yang lebih berhak adalah kaum vegetarian yang secara nyata menjunjung tinggi Hak Asasi Satwa agar tidak dibunuh demi dimakan oleh manusia.
Sungguh munafik apabila saya sok bicara tentang Hak Asasi Satwa sambil lahap menyantap sate kambing.
Di Indonesia sudah ada kelompok yang menghormati Hak Asasi Satwa, semisal, mereka yang tergabung di Perhimpunan Penyayang Binatang dan Asosiasi Kebun Binatang di samping para penyayang binatang yang secara individual rame ing gawe sepi ing pamrih merawat para satwa domestik, peternakan maupun yang berkeliaran di jalan.
Perserikatan Bangsa-bangsa memang sudah memiliki lembaga yang berusaha melindungi hak asasi manusia, yaitu Komisi Hak Asasi Manusia PBB (United Nations Commission on Human Rights, disingkat UNCHR) sebagai komisi fungsional dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
UNCHR adalah lembaga di bawah UN Economic and Social Council (ECOSOC) yang juga dibantu oleh Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR). Solusi Global Konflik Manusia-Satwa Liar
Komisi ini adalah mekanisme utama PBB dan forum internasional yang menangani perlindungan hak asasi manusia. Pada 15 Maret 2006, Sidang Umum PBB memutuskan untuk menggantikan UNCHR dengan Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Namun PBB belum kunjung resmi sepakat mendirikan Dewan Hak Asasi Satwa PBB berhubung Dewan Hak Asasi Manusia PBB saja masih belum didukung oleh Amerika Serikat, Kepulauan Marshall dan Israel dengan alasan yang kurang jelas.
Mungkin karena mereka masih butuh kesempatan untuk melanggar hak asasi manusia.
Juga masih terbelah pendapat tentang satwa jenis apa saja yang perlu dilindungi dan satwa jenis apa saja yang tidak perlu dilindungi akibat manusia menganut paham diskiminatif terhadap satwa.
Pendek kata, saya pribadi kurang layak menuntut perlindungan Hak Asasi Satwa berhubung terbukti saya sama sekali tidak berdaya mencegah, apalagi menanggulangi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang nyata dilakukan terhadap masyarakat adat dan rakyat miskin di Kampung Pulo, Kali Jodo, Bukit Duri, Kendeng, Wadas, Rempang, Tulang Bawang, pedalaman Kalimantan, NTT, Papua dan lain-lain kawasan.
Sungguh memilukan lubuk sanubari yang masih punya sanubari bahwa setelah nyaris 80 tahun berhasil bebas merdeka dari belenggu penindasan kaum penjajajah ternyata kini masih ada masyarakat adat dan rakyat miskin ditindas justru oleh sesama warga Indonesia sendiri.**