KENAPA HASYIM ASYA’RI EKS KETUA KPU TIDAK DIRAJAM SETELAH TERBUKTI BERHUBUNGAN BADAN DENGAN CAT?

0
126

KENAPA HASYIM ASYA’RI EKS KETUA KPU TIDAK DIRAJAM SETELAH TERBUKTI BERHUBUNGAN BADAN DENGAN CAT?

Oleh : *Ahmad Khozinudin*
Sastrawan Politik

Eks ketua KPU Hasyim Asya’ri telah terbukti melakukan hubungan badan dengan CAT. Begitu, salah satu bunyi pertimbangan hukum Majelis Hakim Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam putusannya.

Terminologi hubungan badan, maksudnya adalah hubungan seksual. Hubungan seksual yang dilakukan tanpa akad nikah syar’i adalah zina.

Hasyim Asyari diketahui, bukan suami CAT. Sebaliknya, CAT bukan istri Hasyim Asya’ri. Hasyim hanya berjanji akan menikahi CAT setelah menceraikan istrinya, begitu diantara janji manis Hasyim kepada CAT setelah melakukan hubungan badan dengan CAT, selain sejumlah janji manis lainnya.

Dalam Islam, kasus perzinahan adalah kasus pelanggaran berat syariat. Pelakunya, harus di had (disanksi) sesuai kehendak Allah SWT. Zina, terkategori pelanggaran hudud, yang sanksinya telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Zina, bagi pelakunya yang sudah menikah (mukhson) sanksinya dirajam sampai mati. Bagi yang belum menikah (ghairu mukhson), didera 100 kali dan diasingkan selama setahun.

Hukuman ini, tidak boleh diganti dengan bentuk sanski yang lain, seperti diganti sanksi penjara, denda, atau menikahinya. Hudud adalah jenis pelanggaran Syara’ tertentu dengan sanksi tertentu. Dalam Islam, diantara pelanggaran hukum yang terkategori hudud adalah berzina, murtad dan mencuri.

Bagi yang berzina, dirajam. Bagi yang murtad, dibunuh. Bagi yang mencuri, dipotong tangan.

Namun, penerapan sanksi hudud ini tidak bisa serampangan diterapkan. Harus memenuhi kualifikasi dan syarat sebagai berikut:

*Pertama,* zina yang dilakukan adalah zina yang jelas, berupa hubungan badan (seksual) antara lelaki dan perempuan tanpa ikatan nikah yang syar’i. Kalau aktivitasnya baru sebatas mencium, meraba, memeluk, dan seterusnya, tanpa ada atau belum sampai pada perjumpaan kelamin lelaki ke kelamin perempuan, seperti timba masuk kedalam sumur, maka pelanggaran seperti ini tidak terkategori hudud dan tidak bisa disanksi rajam.

Jika aktivitasnya baru mencium, meraba, memeluk, dan seterusnya, tanpa ada atau belum sampai pada perjumpaan kelamin lelaki ke kelamin perempuan, maka pelanggaran ini terkategori ta’jier. Maksiat seperti ini tetap harus diberikan sanksi hukum, tetapi belum bisa sampai dirajam. Sanksinya bisa berupa didera, diasingkan, atau dikurung untuk waktu tertentu, tergantung ijtihad dari qadly (hakim).

*Kedua,* zina yang dirajam adalah zina yang berdasarkan putusan pengadilan berdasarkan hukum pembuktian dalam Islam (ahkam Al Bayyinah). Karena dalam Islam, tidak ada sanksi tanpa putusan pengadilan, semua orang bersih dari segala tuduhan, hingga ada putusan pengadilan.

Pengadilan dimaksud adalah pengadilan dalam sistem Khilafah, yang menerapkan Islam secara kaffah. Bukan peradilan sekuler yang menerapkan KUHP warisan Belanda.

Pembuktiannya, juga berdasarkan hukum pembuktian dalam Islam (bukan berdasarkan KUHAP), yakni bisa dengan pengakuan, atau keterangan 4 orang saksi laki-laki dibawah sumpah, yang menyatakan bahwa mereka melihat langsung zina itu, yang sampai pada keadaan ‘timba masuk kedalam sumur’.

Pembuktian dalam Islam, tak membutuhkan dua alat bukti seperti dalam KUHAP. Jika seseorang telah mengaku berzina, maka berdasarkan pengakuan tersebut, qadly (hakim) bisa memutus bahwa pelaku telah melakukan perbuatan zina dan memberikan sanksi padanya.

Hal ini, sebagaimana Rasulullah Saw saat mengadili perkara Maiz, yang mengaku berzina. Maiz, disanksi rajam sampai meninggal hanya berdasarkan pengakuan. Meskipun, saat itu wanita yang berzina dengan Maiz menampik/membantah pengakuan Maiz.

Rasulullah Saw tetap memberi sanksi Maiz, dalam rangka membersihkan dosa Maiz, yang telah mengaku berzina. Dan setelah dirajam, dikabarkan Maiz telah diampuni dosanya dan masuk surga. Sedangkan wanita yang tidak mau mengaku, dibiarkan oleh Rasulullah Saw.

*Ketiga,* penerapan rajam bagi pezina dilakukan oleh penguasa yang menegakkan Islam, yakni Khilafah. Pimpinan Ormas, ulama, kiyai, bahkan keluarga pezina, tidak berwenang mengeksekusi rajam bagi pezina.

Masalahnya, hari ini Daulah Khilafah yang menjaga hukum Syara’, yang menjadi sarana para pezina membersikan dosa, yang menjadi sarana untuk mencegah rakyat melakukan perbuatan keji ini, tidak ada. Saat ini, hukum sekuler demokrasi malah membebaskan zina, bahkan melindunginya sebagai Hak Asasi Manusia (HAM).

Inilah, urgensi umat Islam segera memiliki Khilafah. Agar hudud Allah SWT ditegakkan, dan agar bumi ini mengeluarkan berkah, langit menurunkan berkah, dan Allah SWT ridlo pada seluruh penduduk negeri ini. Mari, lipatgandakan perjuangan untuk menegakkan Khilafah. Allahu Akbar ! [].

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.