Sketsa Pilkada Serentak (2):
Memilah dan Memilih
PILKADA mestinya dibaca sesuai maknanya sebagai Pemilihan Kepala Daerah. Mengandung konsekuensi harapan akan figur dan performa kepemimpinan lima tahun mendatang. Keutamaan gerak pembangunan secara sinambung melalui berbagai kebijakan populis. Untuk dan atasnama peningkatan kesejahteraan warganya.
Narasi itulah yang kerap kita dengar hari-hari ini, sejalan tahapan Pilkada Serentak 2024. Betapa pun klise dan nyaris standar. Tapi itulah pesan yang paling populer dan relatif “aman”. Dibanding janji-janji spesifik dan fokus. Terlebih aspek “kesejahteraan” dapat di-_break down_ lewat banyak nomenklatur kebijakan dan kegiatan. Mirip _sewir_ opor ayam di Simpang Lima Semarang. Sekadar sarapan pagi pun nyaman.
Aspek serentak pilkada memicu serentak pula jumlah peminat. Tak cuma mendominasi daerah tertentu. Berlaku pula di sejumlah lingkup pilkada. Agenda Pilkada untuk Wali Kota Bandung, tak kurang dari 20 orang muncul di ruang publik. Menjajakan aspek figur bakal calon untuk berproses hingga dapat diusung parpol koalisi.
Sependek ini tak masalah. Demokrasi yang bersifat terbuka untuk semua warga negara. Tak kecuali lintas domisili. Tak melulu mesti asli. Namun bersamaan itu muncul pertanyaan klasik. Seputar kompetensi, kapasitas dan kapabelitas. Lantas _tas, tas, tas_ lainnya, seirama “isi tas”. Mengalir tanpa hilir.
Publik sangat berharap hadirnya sebuah kompetisi bersesuaian harapannya. Tak semata seremoni demokrasi. Melahirkan pemimpin mumpuni yang menjanjikan sederet inovasi. Kelak, secara periodisasi — publik bakal merindukan putaran tradisi. Bukan pula semata tradisi itu sendiri.
Pileg dalam Pemilu Serentak kemarin telah cukup memberi catatan. Tak cukup argumen “serentak” bareng pilpres, yang kadung menyisakan perdebatan. Pileg bukan pertaruhan yang semata kesiapan amunisi. Tak kecuali aspek probabilitas yang cuma sekira enam prosen. Sejatinya, sebuah kompetisi yang prasyaratkan kompetensi. Selebihnya daya tarik caleg, bobot sosialisasi dan bekal jaringan sebagai potensi.
Sejumlah caleg yang tersisih menoleh kompetisi demokrasi berikutnya. Arena pilkada. Mengejar peruntungan, bahkan kembali pertaruhan. Tak cuma melanjutkan daerah pemilihan (dapil) pileg yang dikalkulasi sebagai modal suara. Ada pula yang terbang ke daerah lain. Tak jarang alasan tempat kelahiran dan atau dibesarkan, atau silsilah keluarga. Cocokologi. Lebih dari itu, bacalon pilkada tak ragu berganti atribut partai yang mengusungnya di pileg.
Parpol punya peran dan kendali dalam mengusung dan atau mengusung. Publik mewakilkan harapannya. Seleksi demi teliti. Memilah dan memilih. Tak berkutat pada aspek figuritas semata. Pilkada hendaknya tidak diartikan sebuah festival atau ajang pansos.
Publik menanti lahir sejumlah pasangan calon kepala daerah yang secara kualitas menjadi andalan dan unggulan. Pada titik ini, siapa pun yang kelak terpilih — tetaplah dalam standar kualitas dan pantas. Semoga. ***
– imam wahyudi (iW)
– jurnalis senior di bandung