Jangan Sampai Indonesia Jadi “Tong Sampah” Antariksa Starlink
Oleh: Uchok Sky Khadafi
Aktivis 98, Direktur Eksekutif Center for Budget Analisys (CBA)
Tak main-main, begitulah mungkin ungkapan yang tepat disematkan kepada Elon Musk pemilik perusahaan bernama Space X. Space X adalah perusahaan yang bergerak dibidang peluncuran roket untuk membawa satelit.
Space X sejak kelahirannya hingga saat ini sudah meluncurkan ribuan satelit ke orbit rendah bumi (setidaknya lebih dari 5.000 satelit diluncurkan). Itu makanya satelit mereka disebut Low Earth Orbit (Leo). Langkah tersebut dianggap sebagian orang sebagai langkah revolusioner.
Selain menghadirkan nuansa baru di bidang teknologi internet (yang tak gunakan fiber optik dalam operasionalnya) juga disebut-sebut dapat memberikan layanan internet super cepat. Itu baru sebatas klaim, belum ada data atau semacam survei kredible yang mengujinya (apakah benar kapasitas internetnya super cepat)?. Yang jelas dunia terkejut dan bahkan mengelu-elukannya.
Starlink dan Reaksi Masyarakat Dunia
Seiring berjalannya waktu, yang tadinya mengelu-elukan, kini sebagian masyarakat dunia mulai menyadari dan bereaksi bahwa revolusi yang diusung Elon Musk (teknologi satelit internet) dianggap berpotensi menimbulkan masalah besar ke depannya.
Mulai dari soal antariksa bakal dipenuhi sampah satelit milik Elon Musk, bahaya tabrakan dengan satelit penelitian, mengganggu jalur observasi astronomi dan sederet persoalan lainnya.
Meski digembar-gemborkan memiliki sejumlah keunggulan, faktanya belum banyak negara-negara kategori dunia pertama (AS, Eropa) hingga China yang mau menggunakan internet berbasis satelit milik Elon Musk itu. Jadi pertanyaan besar? Di tempat kelahirannya pun yakni Amerika Serikat, pengguna Starlink masih sangat rendah tak kurang dari 1,2 juta pengguna atau 0,39%. Padahal sudah empat tahun beroperasi.
Lain halnya dengan Indonesia, negara yang masuk kategori dunia ke-3, satelit milik Elon Musk Starlink justru disambut gegap gempita, mendapat sambutan hangat bahkan diberikan hamparan “karpet merah”. Entah apa alasannya? Dari sisi investasi juga nilainya tak sebesar sambutan meriah yang diberikan (Starlink berinvestasi hanya Rp30 milyar) tak sebanding dengan harga “karpet merah”. Belum lagi dari sisi serapan tenaga kerja, bagaimana mau serap tenaga kerja wong karyawan mereka saja di Indonesia hanya tiga orang, miris.
Umpan Sudah Dilempar
Sejak resmi masuk ke Indonesia pertengahan Mei 2024 lalu, kehadiran Starlink ke Indonesia digadang-gadang guna memberikan atau mengurai gap/kesenjangan akses internet bagi masyarakat yang ada di zona atau wilayah dengan kategori 3 T (terluar, terdepan, tertinggal).
Kabar berhembus, dibalik keputusan pemerintah memberikan “karpet merah” atau izin kepada Starlink untuk beroperasi di langit Indonesia tak lain sebagai pancingan agar Elon Musk mau berinvestasi di sektor nikel (untuk mobil listrik). Umpan sudah dilempar lalu dimakan. Hasilnya, yang kena umpan tak kunjung merespons (harapan agar Elon Musk berinvestasi di sektor nikel hingga tulisan ini dibuat atau rezim kekuasaan mau berakhir dalam beberapa bulan ke depan tak pernah terealisasi).
Indonesia Berpotensi Jadi “Tong Sampah” Antariksa
Indonesia sebuah negara yang di dalamnya terbentang gugusan pulau-pulau tentu tak cukup hanya disediakan satu, dua, tiga satelit Starlink, minimal seratusan satelit diperlukan di atas langit Nusantara ini untuk bisa memenuhi layanan internet.
Di atas sudah dipaparkan bagaimana ribuan satelit Starlink yang diluncurkan Elon Musk justru mendapat reaksi negatif dari sebagian masyarakat dunia. Selain kekhawatiran akan antariksa yang bakal dipenuhi sampah, juga berpotensi menimbulkan sederet masalah lainnya.
Naif rasanya jika Indonesia tidak melihat potensi atau dampak negatif (berkaca pada reaksi sebagian masyarakat dunia) yang bakal timbul ke depannya jika langit Nusantara ini dipenuhi satelit-satelit mungil Starlink.
Bukan tidak mungkin langit Indonesia akan dipenuhi sampah-sampah antariksa nantinya. Gaet investasi sah saja, tapi dampak dari investasi itu juga mesti dipikirkan secara matang ke depannya. Jangan sampai Indonesia hanya jadi “tong sampah” antariksa.**