Ketidakpekaan dan Ketidakpedulian: Sebuah Paralel Sejarah dan Kontemporer

0
72

Ketidakpekaan dan Ketidakpedulian: Sebuah Paralel Sejarah dan Kontemporer

Ki Semar Badranaya

Sepanjang sejarah, ada pemimpin-pemimpin yang ketidakpekaan dan ketidakpeduliannya terhadap penderitaan rakyatnya telah menyebabkan kejatuhan mereka.

Salah satu contoh paling terkenal adalah pemerintahan Louis XVI dan istrinya, Marie Antoinette, yang ketidakpekaannya yang begitu mendalam terhadap kesulitan yang dihadapi oleh rakyat Prancis pada akhirnya memicu Revolusi Prancis. Ketidakpedulian mereka dan kegagalan untuk menangani krisis di negara mereka, meskipun bukti yang melimpah akan perlunya tindakan, merupakan faktor kunci dalam kejatuhan tragis mereka. Contoh sejarah ini memberikan pengingat yang jelas tentang konsekuensi dari ketidakpedulian seorang pemimpin, sebuah pelajaran yang bergema dalam berbagai konteks, termasuk situasi geopolitik saat ini yang melibatkan Indonesia dan sikapnya terhadap konflik internasional.

Kisah Tragis Louis XVI dan Marie Antoinette

Pemerintahan Louis XVI dan Marie Antoinette ditandai dengan ketidakpekaan yang mengganggu dan, kadang-kadang, memancing kemarahan terhadap krisis yang meningkat di Prancis. Louis XVI, meskipun tidak jahat secara inheren, adalah pemimpin yang lemah dan ragu-ragu. Dia tampak lebih tertarik pada hobi pribadinya, seperti berburu dan merakit kunci, daripada menangani masalah keuangan dan sosial yang serius yang mendorong kerajaannya menuju kehancuran. Ketidakmampuannya untuk mengambil tindakan tegas, bahkan ketika ekonomi Prancis berada di ambang kehancuran, menunjukkan tingkat ketidakpekaan yang mengejutkan terhadap penderitaan rakyatnya.

Marie Antoinette, di sisi lain, menjadi simbol dari ekses kerajaan dan ketidakpedulian. Gaya hidupnya yang mewah di Istana Versailles, lengkap dengan pengeluaran berlebihan untuk mode, hiburan, dan kemewahan, sangat kontras dengan kemiskinan dan kelaparan yang dialami oleh rakyat biasa. Ketidakpeduliannya yang terkesan serta ucapan terkenalnya, “Biarkan mereka makan kue,” meskipun kemungkinan besar tidak benar, menangkap rasa frustrasi dan kemarahan publik yang semakin besar. Kegagalan pasangan ini untuk mengenali dan menangani kebutuhan mendesak rakyat mereka hanya memperburuk semangat revolusioner yang akhirnya mengarah pada eksekusi mereka.

Ketidakpekaan dan ketidakpedulian mereka bukan hanya kegagalan pribadi tetapi juga kegagalan politik. Ketidakmampuan mereka untuk merasakan penderitaan warga mereka dan penolakan mereka untuk melakukan reformasi yang diperlukan dianggap sebagai penghinaan terhadap rakyat yang seharusnya mereka pimpin. Ketidaksesuaian antara monarki dan rakyat ini menjadi katalis utama bagi revolusi yang pada akhirnya membawa akhir dari monarki Prancis.

*Paralel Kontemporer:*

*Respons Indonesia dan Sikap AS terhadap Krisis Palestina*

Pelajaran dari pemerintahan Louis XVI dan Marie Antoinette dapat dilihat jelas dalam politik global kontemporer, di mana pemimpin-pemimpin masih bisa menunjukkan ketidakpekaan dan ketidakpedulian serupa.

Dalam konteks respons Indonesia terhadap konflik yang sedang berlangsung di Palestina, khususnya dampak dahsyat terhadap Gaza, terdapat paralel yang mencolok yang dapat ditarik.

Konstitusi Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, dengan jelas mengamanatkan bangsa untuk turut serta dalam memelihara perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Indonesia secara historis telah memainkan peran aktif dalam diplomasi internasional, dan berusaha untuk menegakkan prinsip-prinsip ini melalui partisipasi dalam organisasi internasional dan menjalin hubungan diplomatik yang bertujuan menjaga perdamaian.

Namun, meskipun ada mandat konstitusional ini, ada persepsi yang berkembang bahwa kepemimpinan Indonesia saat ini, terutama Presiden Joko Widodo, mengambil sikap yang lebih normatif dan pasif terhadap situasi di Palestina. Meskipun Indonesia dapat mengambil tindakan yang lebih tegas—seperti menutup Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bagi kapal-kapal dagang yang berafiliasi dengan Israel—presiden tampaknya lebih terobsesi dengan proyek-proyek domestik, khususnya pembangunan ibu kota baru (IKN). Fokus yang terlalu besar pada IKN, yang mirip dengan obsesi seorang manajer real estate, telah menyebabkan tuduhan bahwa presiden menjadi tidak sadar terhadap kekejaman yang dilakukan oleh Israel, yang telah mengakibatkan kematian sekitar 186.000 warga Gaza, termasuk anak-anak, ibu-ibu, orang tua, dan non-kombatan lainnya.

Ketidakpekaan yang dirasakan ini mencerminkan ketidakpedulian historis Louis XVI dan Marie Antoinette. Sama seperti ketidakpedulian monarki Prancis terhadap penderitaan rakyatnya menyebabkan ketidakpuasan luas dan akhirnya revolusi, begitu pula pemimpin modern bisa menghadapi reaksi keras jika mereka dianggap acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain, terutama dalam situasi di mana ada kewajiban moral dan konstitusional untuk bertindak.

Lebih jauh lagi, sikap normatif yang serupa dapat dilihat dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap konflik ini. Meskipun AS sering mengklaim bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak untuk menghentikan aksi kekerasan Israel, sikap ini sering kali dilihat sebagai kedok yang memungkinkan Israel untuk terus melakukan pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain, seperti yang terjadi di Lebanon, Iran, dan Suriah, serta pembunuhan terbaru terhadap pemimpin Hamas di Iran. Ketidakmampuan AS untuk menahan sekutunya, atau keengganannya untuk melakukannya, hanya memperburuk situasi dan menciptakan ketidakstabilan lebih lanjut di wilayah tersebut.

Akhir tragis Louis XVI dan Marie Antoinette berfungsi sebagai pengingat abadi akan bahaya ketidakpekaan dan ketidakpedulian terhadap realitas yang dihadapi rakyat.

Dalam pengaturan kontemporer, di mana para pemimpin mungkin terganggu oleh ambisi domestik atau kewalahan oleh kompleksitas politik global, pelajaran ini tetap relevan. Situasi saat ini di Indonesia, dengan ketidakpedulian yang dirasakan terhadap krisis Palestina, merupakan paralel modern terhadap kegagalan para pemimpin masa lalu.

Hal ini juga tercermin dalam sikap normatif Amerika Serikat yang cenderung menutup mata terhadap kekejaman yang dilakukan oleh Israel. Ini menekankan pentingnya empati, tindakan tegas, dan kepatuhan terhadap mandat konstitusional dalam menavigasi kompleksitas kepemimpinan di dunia yang penuh gejolak.

Tanpa kualitas-kualitas ini, sejarah mungkin akan terulang kembali, dengan para pemimpin menghadapi penilaian keras dari rakyat mereka karena gagal bangkit menghadapi keadaan ketika itu paling dibutuhkan.**

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.