Gimik Mendukung Marketing
Jaya Suprana, Sandro Gatra Tim Redaksi
AKHIR-akhir ini muncul istilah gimik yang berasal dari bahasa Amerika Serikat “gimmick” di mana industri hiburan memang berperan utama membangun peradaban popular, bukan terbatas di Amerika serikat, namun seantero dunia termasuk Indonesia.
Di alam semesta marketing, gimik menjadi satu di antara sekian banyak strategi pemasaran produk dengan menggunakan cara-cara yang tidak biasa agar cepat dikenal dan banyak diminati.
Gimik juga dapat merujuk pada fitur produk yang membuatnya lebih menarik, meski tidak berfungsi sebagai informasi tentang mutu produk itu sendiri.
Hal ini juga dapat merujuk kepada jenis tertentu iklan dimaksudkan untuk meningkatkan penjualan produk, yang disebut gimik iklan.
Di industri hiburan, gimik merupakan cara untuk menarik perhatian penonton dengan beragam cara seperti membuat adegan khusus, dandanan khas, musik, yel-yel, nyanyian, atau aktivitas lainnya.
Maraknya agen penonton bayaran menunjukkan bahwa acara hiburan di televisi membutuhkan penonton dalam jumlah besar yang dibayar untuk berteriak, ikut bernyanyi, menari-nari, dan bertepuk tangan demi meyakinkan para pemasang iklan bahwa acara yang disokong sangat meriah sebab banyak penontonnya. Padahal penonton berbayar.
Di ranah politik pun tak jarang ditemukan gimik yang dilakukan dalam bentuk peristiwa yang mengharukan, menyentuh perasaan, dengan harapan menarik simpati sebanyak-banyaknya dari konstituen, meskipun peristiwa itu sudah diatur sebelumnya.
Satu di antara gimik kampanye yang terbukti sukses mendukung pilpres adalah bansos.
Di Amerika Serikat, Donald Trump ditembak telinga, maka memperoleh gimik mendukung elektabilitas akibat pemberitaan sehingga Joe Biden membatalkan rencana nyapres kembali.
Fakta membuktikan bahwa Taylor Swift sudah berhasil mengguncang dunia sehingga muncul fenomena “Swiftomania” yang melahirkan para fan fanatik fundamentalis die hard yang disebut dengan aneka ragam gelar mulai dari Swifties sampai Swiftians.
Tim marketing Taylor Swift kreatif menciptakan berbagai gimik untuk mendongkrak popularitas menyelinap masuk ke bawah sadar psikososial peradaban umat manusia di planet bumi ini.
Gimik terbaru adalah jurus caper dengan mengganti nama kota penyelenggara konser Taylor Swift, semisal, di Amerika Serikat dari Glendale menjadi Glenswift serta Santa Clara menjadi Swiftie Clara.
Bahkan wabah Swiftomania menular ke Jerman yang lazimnya tidak mudah terpengaruh budaya impor.
Kota Gelsenkirchen di kawasan Ruhr secara khusus mengganti nama diri menjadi Swiftkirchen.
Sebenarnya ganti nama kota hanya untuk sementara saja terbatas pada satu-dua hari sekitar jadwal pergelaran Tatlor Swift di kota industri Jerman tersebut.
Namun harus diakui dampak Gelsenkirchen ganti nama menjadi Sfiftkirchen menimbulkan dampak psikopolitikultural cukup heboh bagi masyarakat Jerman yang sedang menderita resesi ekonomi cukup parah pascapagebluk Covid-19 beserta para variannya.
Termasuk saya terpengaruh gimik Swift sehingga menulis naskah tentang gimik mendukung marketing merupakan bukti bahwa gimik juga memiliki potensi menggelindingkan dampak bola salju.
Fakta pasar membuktikan bahwa gimik sebagai metode public relations memang memiliki potensi cukup dahsyat sakti mandraguna bukan hanya memengaruhi, bahkan membentuk selera publik sehingga mampu menggairahkan syahwat konsumtif demi meningkatkan omzet pemasaran produk yang sebenarnya biasa-biasa saja menjadi luar biasa.