PETANI HARUS KAYA, SUPAYA NEGARA KUAT

0
255

PETANI HARUS KAYA, SUPAYA NEGARA KUAT

Oleh : Memet Hakim, Pengamat Sosial, Pertanian, Wanhat APIB & APP TNI

Selama 10 tahun Jokowi dalam melaksanakan kepemerintahannya menggunakan konsep Negara Penjajah, dibuktikan dengan tertindasnya rakyat. Penindasan secara Hukum, dengan mengusasai secara penuh seluruh aspek “Sumber Daya Hukum”, sejak Executif, Legislatif dan Yudikatif. Modus andalannya adalah dengan memberikan kesempatan mereka korupsi atau berbuat kesalahan, sehingga menjadi tahanan politik Jokowi, seperti mafia saja cara kerjanya. Ini memang diluar norma2 kepemerintahan, tentu di kampus termasuk IPDN juga diyakini tidak masuk kurikulum.

Ditilik dari “Sumber Daya Keuangan”, ada yang salah kelola, yakni memanjakan pengusaha termasuk investor, sehingga arus dana dari rakyat mengalir ke para pengusaha dan LN, padahal seharusnya dana mengalir ke rakyat kecil termasuk petani  dan pengusaha kecil. Wajar jika angka kemiskinan sejak 10 tahun yl tidak berubah.

Petani (Padi, Sawit, Karet, Nelayan, dll) diperkirakan jumlahnya 50 juta orang. Jika anggota keluarganya reratanya 4 orang saja, maka jumlahnya menjadi 200 juta orang. Petani terdiri dari 1. “Petani Gurem” (petani kecil yang memiliki luas lahan 0,25 ha). 2. Petani Modern Merupakan kelompok petani yang menggunakan teknologi dan memiliki orientasi keuntungan 3. Petani Primitif yakni yang bergantung pada sumber daya dan kehidupan berpindah. 4. Petani Pengusaha & konglomerat, yang menguasasi lahan puluhan sampai ratusan ribu ha bahkan kabarnya ada yang sampai jutaan ha (dalam bentuk Perusahaan) dan yang ke5 adalah Buruh Tani (melakukan kegiatan pertanian, tetapi tidak memiliki lahan)

Bisa juga dibagi 3 golongan yakni : 1.Petani Kaya : yakni petani yang memiliki luas lahan pertanian diatas 25 ha lebih, 2. Petani Sedang : petani yang memiliki luas lahan pertanian 2,5 – 25 ha, 3. Petani Miskin : petani yang memiliki luas lahan pertanian kurang dari 2.5 ha

Petani miskin dan sedang apabila mendapatkan uang hasil penjualan komoditinya, akan langsung dibelanjakan di daerah sekitarnya di DN. Petani asing yang menguasai Perkebunan, perbenihan misalnya akan mengirimkan labanya ke LN. Petani asing tidak membayar royalty apapun ke Pemerintah, artinya Negara dan Rakyat juga dirugikan. Petani kaya biasanya menggunakan Buruh Tani.

Importir pangan misalnya membeli pangan dari LN dan dijual di DN dengan difasilitasi Pemerintah, hasil penjualannya masuk kedalam kantong pengusaha itu sendiri, jadi tidak ada manfaatnya buat rakyat dan Negara. Hanya beberapa orang saja yang menikmati keuntungan dari impor pangan ini termasuk oknum pemerintahnya. Ini merupakan praktek nyata memiskinkan petani.

Masalah bahan pokok sangat tergantung dari “iklim usaha” yang diciptakan oleh pemerintah sendiri. Biasanya Pemerintah menentukan “Harga Dasar yang rendah” dengan alasan konsumen, padahal konsumen terbesar itu ya petani itu sendiri yang jumlah beserta keluarganya sekitar 200 juta orang. Misalnya saja padi, harga patokan idealnya adalah 60% dari harga beras dikurangi Biaya Giling, jika harga beras Rp 14.000 maka harga GKP (Gabah Kering Panen) menjadi Rp 8.000/Kg. Resminya skrg masih sekitar Rp 5.000 /kg, sehingga beras masih dianggap Rp 9.950 di Gudang Bulog. Harga impor dari Thailand sekitar 550 usd atau sekitar Rp 9.000, jika ditambah dengan biaya pengapalan dan Gudang tentu akan menjadi diatas 10.000 an. Selisih harga Rp 14.000-10.000 = Rp 4. 000/kg masuk kemanakah ? tentu masuk ke importir yang konglomerat itu. “Petani selalu dibodohi dan dirugikan oleh importir dan oknum Pemerintah”.

Sama halnya dengan gula, harga dasar ditetapkan Rp 12.500/kg dan harga di pasar eceran menjadi sekitar 17.500/Kg, bandingkan di Australia negara penghasil Gula, harga ecerannya Rp 31.000/kg, di Singapur dan Belanda yang gak punya pabrik gula harganya Rp 22.000/kg dan Rp 30.000/kg. Nah dari sini saja terlihat bahwa pemerintah dan importir berkolaborasi untuk memeras petani, sehingga petani  sapi perahan para naga dan oknum pemerintah. Inilah suatu bukti bahwa iklim usaha tani selalu dibuat tidak normal, hanya untuk membuat kaya para importir dan pemberi ijin impor.

Seandainya, pemerintah baru yad datang ingin mensejahterakan rakyatnya, perkaya saja petani dengan iklim usaha yang baik, produktivitas komoditi akan naik dengan sendirinya.

Petani kaya, Negara kuat.

Artinya uang akan beredar di pedesaan, kecamatan dan kabupaten dimana tempat orang miskin berada. Tindakan ini akan memperkecil “ketimpangan kesejahteraan” dan “mengurangi angka kemiskinan”.

Dorong dan aktifkan kembali Koperasi Unit Desa, Koperasi Konsumsi untuk membuat toko Koperasi membantu memperbaiki perekonomian Desa. Jangan ijinkan jaringan mini market menembus Desa dan Kecamatan, karena uang akan disedot ke pusat ke kantong pengusaha (non pri). Ini tidak sehat buat perekonomian bangsa, jika toko Koperasi yang dibangun, uang akan beredar di Desa dan Kecamatan tersebut. Begitu juga KUD menerima Gabah, Jagung, Gaplek dari petani, sehingga uang akan beredar di daerah. Dan tentunya angka kemiskinan akan turun.

Tugas Menteri Koperasi menjaga Koperasi tidak digunakan untuk mencari keuntungan sesaat dan pribadi. Tugas Menteri pertanian, membuat jaringannya untuk memberikan penyuluhan berbagai  hasil penelitian agar produktivitas padi, gula, jagung, ubi kayu, dll segera meningkat. Kementerian teknis seperti ini janganlah sampai diduduki oleh para politisi apalagi yang bukan ahlinya.

Ini tantangan buat presiden baru apakah akan mengikuti Jokowi yang hanya memperkaya para Naga ? ataukah akan memperkaya Petani di daerah sehingga Negara menjadi kuat.

Contoh perhitungan :

 

Selisih akibat Kenaikan Produktivitas saja sekitar Rp 638.5 trilyun, dari potensi total 3 komoditi diatas sebesar Rp 1,812.9 trilyun. Ditambah dengan komoditi lainnya mungkin mencapai Rp 2.200 Trilyun, jika semua beredar di pedesaan tentu daerah akan Makmur. Sementara ini daerah hanya menerima sekitar 30 % dari APBN yakni 900 trilyun saja. Tidak salah akhirnya yang menikmati APBN hanya segelintir orang saja dan konglomerat. Pendapatan pemerintah dalam bentuk PPN juga akan meningkat dengan adanya kebaikan volume “barang olahan” dari semua komoditi pertanian.

Nah Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan harus berpikir produktif, bukan hanya pintar bikin aturan pajak yang mencekik rakyat. Jika lahan/sawah produktif milik para pengembang dijadikan lahan kosong (tidak produktif) ini boleh sekali diberikan pajak yang tinggi, karena telah merugikan Negara dan Rakyat. Begitu pula diperkirakan sekita3-4 juta ha lahan kelapa sawit belum atau tidak ditanami,  dan lahan HGU lainnya serta HPH/HTI yang tidak ditanam ulang ini perlu di berikan pajak tinggi, sehingga mereka termotivasi untuk menjadikan lahan yang tidak produktif menjadi produktif.

Pajak Regresif juga dapat dijadikan sumber pendanaan bagi Negara. Lahan yang produktivitasnya tinggi bisa dibebaskan dari pajak atau pajanya kecil, tetapi lahan kosong atau yang produktivitasnya rendah dikenakan pajak lebih tinggi. Jutaan ha lahan pemiliknya di kota, membuat lahan menjadi tidak produktif, ini merugikan Negara dan rakyat secara keseluruhan.

Nah akhirnya kembali kepada niat presiden terpilih, apakah mau mengadi pada rakyat, mengabdi kepada pengusaha atau memperkaya diri. Saat ini  jawabannya masih menunggu dari  rumput yang bergoyang

Bandung, 5 Agustus 2024

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.