Politik Formalitas vs Marshel dan Andrasoni

0
47

Politik Formalitas vs Marshel dan Andrasoni

(Kasus Tangsel dan Banten)

Oleh Uten Sutendi

Marshel, nama komedian ini kian populer setelah dimunculkan oleh Partai Gerindra sebagai Calon Wakil Walikota Tangerang Selatan. Hampir setiap hari muncul di medsos dengan segala aktivitasnya di tengah- tengah warga kota Tangsel. Mengunjungi rumah- rumah warga di pinggiran kota, menyalami setiap orang dengan wajah ceria dan tubuh membungkuk, seolah ia tak peduli dengan kritikan dan bulian teman-teman artis dan nitizen yang beberapa waktu lalu kerap muncul di medsos. Mereka menganggap Marshal tidak pantas jadi calon Wakil Walikota Tangsel. “Terlalu cengengesan dan urakan,” kata salah seorang nitizen.

Ia terus bekerja. Cara kerja politik Marshel sebagai figur politik baru seakan malah menawarkan angin segar.

Marshel hadir seperti untuk memecah kebekuan politik di wilayah Tangsel dengan strategi yang jauh dari kesan formal dan seremonial.

Gerindra, sebagai partai yang mencalonkan Marshel, cerdas membaca peluang sekaligus memberi pesan bahwa politik tidak selalu harus identik dengan seragam formal atau amplop putih.

Sebaliknya, kehadiran Marshel di tengah rakyat, bersalaman, dan menyapa warga secara langsung merupakan pendekatan yang lebih membumi dan mendobrak tradisi politik formalitas yang sudah lama berkembang di Tangsel.

Pertanyaan kemudian muncul, apakah strategi ini akan membawa kemenangan? Ya masih belum pasti juga, tergantung kepada bagaimana lawan-lawan politiknya merespons.

Jika pasangan Ben-Pilar (Benyamin Davnie -Pilar Saga Ichsan) tetap bertahan dengan cara-cara berpolitik yang elitis dan formal, tidak mustahil mereka akan tergulung oleh pendekatan baru yang lebih merakyat.

Dalam konteks yang lebih luas, situasi serupa juga terjadi di Banten.

Airin, dengan dinasti politiknya, merupakan simbol politik formalitas dan elitis yang seringkali dikesankan atau dianggap banyak mengandalkan pencitraan, kekuasaan, uang, selain kerja keras.

Perubahan zaman yang kembali mengarahkan praktek politik menuju akar rumput, pendekatan yang dilakukan kubu Airin ke depan mungkin tidak lagi relevan.

Andrasoni yang saat ini menjadi rival politik Airin, bukan berasal dari dinasti bisnis atau politik melainkan berasal dari rakyat biasa. Ia muncul sebagai sosok yang menantang dominasi politik bermindset lama.

Meskipun popularitas Airin sangat tinggi tapi dalam era politik dengan mindset baru hasil survei dan popularitas rasanya tidak bisa lagi menjadi ukuran utama.

Popularitas yang dibangun di atas pencitraan dan kekuasaan transaksional belumlah cukup untuk maju menjadi calon gubernur atau memenangkan hati para elite partai dan rakyat.

Politik dengan mindset baru menekankan bahwa politik seharusnya menjadi alat untuk membangun negeri dan daerah, bukan sekadar menyediakan kursi-kursi nyaman bagi penguasa.

Dalam kerangka berpikir ini, kekuasaan memang harus direbut, tetapi harus dengan tujuan yang jelas dan berdasarkan nilai luhur. Jika tidak, mengorbankan banyak orang untuk tujuan yang tidak bermakna menjadi sia-sia.

Seiring dengan berjalannya waktu, segala kemungkinan masih bisa akan terjadi dalam politik.

Namun, yang pasti, logika dan cara berpikir formalitas politik mungkin sudah tidak relevan lagi. Sudah saatnya semua pihak memakai kacamata baru dalam melihat realitas politik dan menjalankan kerja -kerja politik.

Sebab, pendekatan politik formalitas yang kaku sedang dan sudah berada di ambang batas usianya. (***)

**) Budayawan, tinggal di BSD city.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.