TENTARA HUMANIS TAPI POLISI BRUTAL
SAAT MENGAWAL DEMONSTRASI, KENAPA ?
Oleh : Memet Hakim
Pengamat Sosial, Wanhat APIB & APP TNI
Ditengah maraknya demonstrasi di Jakarta dan banyak sekali daerah, tentara sering sekali diikut sertakan atau di BKO (Bawah Kendali Operasi) kan kepada polisi agar turut serta menjaga demonstrasi agar tetap tertib dan aman. Artinya pihak Kepolisian yang bertanggung jawab atas operasi ini. Akan tetapi polisi dan tentara masing-masing bertanggung jawab juga kepada atasan yang memberikan perintah.
Ada perbedaan yang sangat fundamental diantara keduanya yakni: Polisi selalu dibekali senapan dan laras pendek lengkap dengan amunisinya (karet atau tajam), gas air mata, water canon, tameng dan lapis baja. Tentara di perbantukan tidak membawa senjata api apapun atau tangan kosong.
- Dengan demikian secara psycologis polisi merasa kuat dan ada keinginan untuk menyerang, apalagi jiga seandainya mereka diberikan perangsang, “demonstran dianggap sebagai lawan yang harus dikalahkan atau dilumpuhkan”. Tidak heran jika peserta demo banyak yang ditangkap, dikeroyok, digebuk, ditendang dan ditahan. Tidak jelas apakah tindakan penahanan, menembakan gas air mata dan pemukulan itu merupakan parameter prestasi pasukan polisi yang ditugaskan ?
- Berbeda dengan tentara merasa lebih nyaman, karena menjaga saudaranya yang dianggap sedang memperjuangkan nasib mereka dan keluarganya. “Demonstran dianggap rakyat atau saudaranya yang harus dilindungi” sesuai dengan “Delapan Wajib Tentara” yakni 1. Bersikap ramah tamah terhadap rakyat, 2. Bersikap sopan santun terhadap rakyat, 3. Menjunjung tinggi kehormatan Wanita, 4. Menjaga kehormatan diri di muka umum 5. Senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan kesederhanaannya, 6. Tidak sekali-kali merugikan rakyat, 7. Tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat, 8. Menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.
Fakta di lapangan seperti pada demo di DPR tanggal 22 Agustus kemarin mengapa rombongan Dalmas polisi dilempari dan dicemooh ? Pada saat yang sama rombongan tentara malah disambut dengan baik. Ini menjadi cerminan bahwa polisi tidak disukai rakyat dan tentara disukai rakyat. Ini harus menjadi cermin bagi kepolisian yang katanya aparat sipil, tetapi sifatnya brutal dan jahat pada para pendemo ini. Seperti biasa pada umumnya pada saat akhir demo akan bubar massa mulai berkurang polisi menembaki para demonstran dengan gas air mata, bahkan dimasa lalu ditembaki dengan peluru karet dan tajam.
Sering terjadi polisi menyusupkan intelnya kedalam barisan pendemo untuk ikut memprovokasi dari dalam supaya terjadi kerusuhan. Langkah lain adalah menyiapkan atau sengaja menyusun agar ada demo tandingan yang maksudnya sama supaya terjadi kerusuhan, sehingga polisi mempunyai alasan formal menangkapnya. Doktrin dan cara ini jelas keliru besar. Memang di dalam slogan polisi PRESISI tidak tercantum adanya pengayoman, perlindungan buat rakyat, tapi jelas ada “Setia kepada NKRI dan senantiasa merawat kebhinnekaan” (Bukan setia pada presiden, tapi pada Negara).
Tercatat Polres Jaktim menangkap 159 pelajar yang diduga akan ikut demonstrasi Kawal Putusan MK di Senayan (tempo Metro, 22..08.2024). Sedikitnya 20 orang ditangkap 3 orang peserta demo luka serius(Tempo.co 22.2024). Ada juga 11 jurnalis yang menjadi korban kekerasan (Tempo.co. 25.08.2024). Di Bandung ada 31 korban keganasan polisi (Berita PR 25.08.2024 ada 11 orang), di Semarang 26 mhs terluka dan entah di kota lainnya.
Bayangkan akan hadir diacara demo saja sudah dihadang dan ditangkap. Tanpa disadari polisi telah melanggar UUD 45 yang menghadang masyarakat akan menyampaikan pendapatnya. Nah jika UUD saja mereka langgar, tentu untuk melanggar UU dan aturan dibawahnya sangat mudah dilaksanakan. Memukul, menyiksa masuarakat yang ingin menyampaikan aspirasi melanggar HAM juga. Tapi itulah cara Polisi yang mengawal demonstran. Polisi memiliki SOP yang SALAH BESAR dalam menangani demonstran.
Tapi Pojokbaca.Id, 22.08,2024 mewartakan perlakuan yang berbeda pada demonstran, bahwa personel tentara dari Kodam Jaya tampak melayani mahasiswa demonstran dengan “humanis di halaman kompleks parlemen”, sejumlah mahasiswa juga dibiarkan masuk ke halaman depan untuk sekedar berfoto di depan Gedung DPR/MPR/DPD RI, itulah sebabnya mengapa tentara (TNI) selalu dicintai rakyat, tidak heran tentara terlihat dekat dengan mahasiswa atau peserta demo.
Ini mungkin yang menjadi pembeda atau polisi (Aparat Sipil Bersenjata) dan tentara yang memang dilatih untuk membunuh atau dibunuh. Seandainya polisi memiliki semboyan seperti 8 wajib tentara, tentu doktrinnya akan berbeda. Polisi ini lupa jika Polisi kehidupannya, kesehatannya itu dibayar oleh rakyat, bukan oleh presiden atau parlemen, tapi perilakunya menyakiti rakyat.
Sebenarnya kepolisian harus “memfasilitasi agar perwakilan demonstran dapat bertemu dengan ketua dpr, sehingga ada solusi”. Bukan membuat barikade menghalangi demontran masuk, apalagi Gedung DPR, MPR dsan DPD itu kan rumah rakyat, jadi rakyat bisa kapan saja datang ke rumahnya. Prinsipnya bukan dihalangi, dihadang bahkan ditangkap tetapi harus difasilitasi.
Banyak sekali video dan foto2 yang beredar bagaimana polisi mengeroyok peserta demo dan menyiksa kemudian menahannya. Di tahanan tentu bermacam cara penyiksaan dan intimidasi dilakukan untuk memiliki keterangan yang dibutuhkan atas sesuai alur yang diperlukan. Ini sudah menjadi rahasia umum. Kapankah polisi akan belajar ke tentara khususnya TNI AD dalam menangani dan melindungi rakyat ?
Disarankan agar ada SOP baru bagi polisi yang menganggap peserta demo itu adalah rakyat yang harus dilumpuhkan dan dikalahkan , menjadi harus dilindungi, dijaga keselamatannya. Fasilitasi agar tuntutan atau aspirasinya dapat diterima oleh DPR, Pemerintah, Perusahaan. Bahkan jika mungkin menjadi penengah atau negosiator. Polisi yang akan diturunkan cukup dengan tangan kosong, bawa minuman dan makanan, perbanyak polwan yang ditugaskan. Hasilnya tentunya akan sangat berbeda. Ingat rakyat bukan musuh polisi, rakyat harus dilindungi dan diayomi. Perintah presidenpun dapat diabaikan jika perintahnya untuk melumpuhkan rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi.
Bandung, 26.08.2024