Pemilihan Kepala Keluarga
Jaya Suprana, Sandro Gatra Tim Redaksi
SEBAGAI penggagas Pusat Studi Kelirumologi serta penulis buku Kelirumologi Genderisme, saya berterima kasih atas prakarsa pemerintah menghadirkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Fakta membuktikan bahwa kaum perempuan dan anak Indonesia memperoleh perhatian khusus dari pihak pemerintah.
Namun kementerian berniat baik tersebut terkesan diskriminatif terhadap kaum lelaki karena de facto kodrati-sosial maupun biologis pada hakikatnya jenis kelamin bukan cuma perempuan. Bahkan masih ada jenis kelamin ke tiga, yaitu bukan lelaki sekaligus bukan perempuan.
Secara sosio-kultural lazimnya lelaki dan perempuan membentuk lembaga yang disebut sebagai keluarga yang justru merupakan unsur hakiki Gesselschaft dan Gemeinschaft sebagai inti dasar bukan hanya bangsa dan negara, namun juga umat manusia di planet bumi ini.
Bahkan jenis satwa tertentu juga membentuk keluarga secara monogamis maupun poligamis.
Pemerintah Jerman, India, Turkiye, Malaysia memiliki kementerian keluarga, maka terus terang saya merasa iri bahwa Indonesia tidak punya kementerian keluarga.
Secara de jure setiap warga Indonesia bukan hanya berhak, namun wajib memiliki KTP di samping setiap keluarga wajib memiliki kartu keluarga di mana tertera nama kepala keluarga.
Bicara tentang kepala keluarga ada sesuatu yang terkesan tidak atau minimal kurang demokratis terhadap kaum perempuan.
Sementara pemerintah Indonesia sebagai negara yang dianggap demokratis dengan biaya tidak murah menyelenggarakan pemilihan umum mulai dari kepala desa, kepala daerah sampai kepala negara ternyata sama sekali tidak menyelenggarakan pemilihan kepala keluarga.
Alasan tidak ada anggaran negara untuk menyelenggarakan pemilihan kepala keluarga pada hakikatnya absurd, maka tidak realistis sebab pemilihan kepala keluarga bisa diselenggarakan secara murah internal oleh masing-masing keluarga tanpa cawe-cawe pemerintah, tanpa bansos sambil tanpa biaya dalam waktu sesingkat-singkatnya secara bukan curang.
Sebagai penyandang jenis kelamin yang kebetulan lelaki, saya juga merasa lebih terhormat dan bergengsi demokratis apabila terpilih sebagai kepala keluarga melalui pemilihan kepala keluarga oleh para anggota keluarga termasuk pekerja rumah tangga ketimbang melalui rekayasa konstitusional apalagi secara tidak jujur dan tidak adil.
Silakan saya dianggap lebay membelah titian serambut menjadi tujuh puluh tujuh koma tujuh meski sebenarnya saya sekadar merasa ada sesuatu bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan sambil kurang demokratis pada penetapan kepala keluarga secara konstitusional di negeri kita tercinta ini.
Namun saya juga sadar bahwa sebenarnya ada masalah yang lebih penting serta gawat-darurat untuk ditanggulangi, yaitu menyelenggarakan pemilihan kepala desa, kepala daerah serta kepala negara secara benar-benar jujur dan adil bebas-merdeka dari praktik angkara murka politik duwit!