Ketika The Straits Times Menulis,”Goodbye, Jokowi!”

0
190
Presiden Jokowi dalam sebuah artikel The Straits Times. (Foto : Tangkapan layar The Straits Times)
Ketika The Straits Times Menulis,”Goodbye, Jokowi!”

“Goodbye” bukanlah ucapan perpisahan yang penuh kenangan indah, melainkan pernyataan yang seolah memberi jarak emosional dari warisan sekian banyak persoalan mendasar yang dia tinggalkan. Agak setara dengan pernyataan akhir dari sebuah perceraian dalam rumah tangga, atau putusnya hubungan yang disebabkan munculnya masalah. Seperti lirik sebuah lagu pop di awal-awal 2000-an, “I’m Sorry, Goodbye”

Pada 21 September 2024, hanya sebulan sebelum lengsernya Presiden Jokowi, media internasional yang berbasis di Singapura, The Straits Times<span;>, merilis sebuah artikel dengan judul provokatif, “Goodbye, Jokowi.”

Artikel tersebut menyoroti dua hal yang berseberangan diametral, yakni—katakan saja—prestasi Jokowi dalam 10 tahun memimpin Indonesia, serta kegagalannya yang bisa dirasakan siapa saja dalam kehidupan demokrasi Indonesia saat ini. Pilihan kata “Goodbye” dalam artikel tersebut menarik untuk dianalisis, mengingat sebelumnya, untuk tokoh-tokoh besar dan pemimpin pemerintahan, media-media internasional lebih memilih kata-kata seperti “The End of an Era” atau “Farewell” yang memberi kesan lebih hormat dan mendalam. Mengapa dalam kasus Jokowi, media memilih kata “Goodbye”?

Penggunaan kata “Goodbye” dalam konteks ini seolah mengindikasikan penutupan yang cepat dan langsung, tanpa nuansa penghormatan khusus. Hal itu mungkin karena meski Jokowi secara internasional dipuji karena pembangunan infrastrukturnya, dia telah menjadi sosok yang penuh kontradiksi di mata publik Indonesia dan bahkan dunia. Jika pada masa Soeharto ada rasa kebosanan mendalam karena rezim telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun, pada masa Jokowi, perasaan masyarakat mungkin lebih ambigu: terpecah antara rasa syukur atas infrastruktur yang lebih maju, tetapi kecewa karena kualitas demokrasi yang amat merosot, justru di usia negara yang seharusnya makin dewasa karena menua.

Barangkali pula, pilihan judul “Goodbye” dari <span;>The Straits Times<span;> itu juga bisa dibaca sebagai refleksi keterasingan Jokowi dari sebagian besar masyarakat dan para pengamat internasional. Umumnya mereka ini melihat Sang Presiden sebagai simbol dari presiden “populis”, yang akhirnya terperangkap dalam lingkaran kekuasaan yang membatasi kebebasan dan integritas demokrasi.

Dengan kata lain, “Goodbye” bukanlah ucapan perpisahan yang penuh kenangan indah, melainkan pernyataan yang seolah memberi jarak emosional dari warisan sekian banyak persoalan mendasar yang dia tinggalkan. Ini agak setara dengan pernyataan perpisahan dari sebuah perceraian dalam rumah tangga, atau putusnya hubungan yang disebabkan oleh munculnya masalah. Seperti lirik sebuah lagu pop di awal 2000-an, “I’m Sorry, Goodbye.”

“…Semakin hari semakin terungkap yang sesungguhnya

Kumakin kecewa ternyata kau penuh dusta

…Maaf kita putus. So thank you so much

I’m sorry goodbye…” inlh/Ewindo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.