LAYAKKAH SOEHARTO BEROLEH GELAR PAHLAWAN?

0
52

LAYAKKAH SOEHARTO BEROLEH GELAR PAHLAWAN?

Oleh GT. Santoso*)

​Wacana memberikan gelar pahlawan nasional bagi mantan Presiden RI ke-2 kembali meruyak sebagaimana diwartakan dalam konteks acara Silaturahmi Kebangsaan MPR (28/9/2024). Soeharto, adalah salah satu tokoh paling kontroversial dalam sejarah politik Indonesia, memimpin negara ini selama lebih dari tiga dekade (1967–1998). Tak dapat dimungkiri bahwa Soeharto memainkan peran penting dalam stabilisasi ekonomi dan politik Indonesia setelah kejatuhan Soekarno, sekaligus memimpin masa Orde Baru yang terkenal dengan kebijakan pembangunan, sentralisasi kekuasaan, dan represi politik.
Dalam beberapa dekade sejak kejatuhannya, perdebatan senantiasa muncul mengenai apakah Soeharto layak diakui sebagai pahlawan nasional atau tidak. Sebelum menilai kelayakan Soeharto sebagai pahlawan nasional, penting untuk memahami kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan gelar ini dengan merujuk pada UU No. 20 Tahun 2009 sebagaimana telah diwartakan media ini.
Bila kita kilas balik secara jernih dan tidak subyektif, mengikuti saran Bamsoet alias Bambang Soesatyo yang akan segera menjadi mantan Ketua MPR, salah satu argumen utama yang mendukung kelayakan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah stabilitas politik dan ekonomi yang berhasil beliau wujudkan setelah masa pergolakan pada era Soekarno. Paska tragedi Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang mengarah pada kudeta gagal oleh kelompok yang dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Soeharto mengambil alih kekuasaan secara bertahap dan mengembalikan stabilitas di Indonesia yang dilanda kekacauan politik.
Di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia mengalami peningkatan stabilitas ekonomi melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang dirancang untuk memodernisasi perekonomian Indonesia. Pada era 1970-an hingga 1990-an, Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang signifikan, dengan sektor pertanian, manufaktur, dan ekspor minyak berkembang pesat. Inflasi berhasil ditekan, dan produk domestik bruto (PDB) negara meningkat secara substansial.
Selain stabilitas ekonomi, Soeharto berjasa dalam memperluas pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, jembatan, dan fasilitas publik lainnya. Ia juga memperkenalkan program-program pendidikan seperti Inpres (Instruksi Presiden) yang mempromosikan pendidikan dasar di seluruh Indonesia. Dengan pembangunan sekolah dan penempatan guru-guru di daerah pedesaan, angka melek huruf di Indonesia meningkat secara signifikan selama kepemimpinan Soeharto.
Secara obyektif pula, kita yang pernah hidup di era Orde Baru tak dapat mengesampingkan kompleksitas masa pemerintahan Soeharto. Meskipun ada banyak prestasi, terdapat sejumlah besar pelanggaran hak asasi manusia, represi politik, dan korupsi yang mencederai masa pemerintahannya.
Rezim Soeharto dikenal dengan tindakan represif terhadap lawan politik dan kebebasan berekspresi. Setelah insiden G30S, diperkirakan lebih dari 500.000 orang yang dianggap terkait dengan PKI dibunuh dalam kampanye pembersihan komunis yang dilakukan oleh militer. Pada masa kekuasaannya, Soeharto juga mengekang kebebasan pers, membatasi partai politik, dan mengendalikan masyarakat melalui struktur otoriter yang ketat. Organisasi mahasiswa, serikat buruh, dan LSM yang menentang kebijakan pemerintah sering kali mengalami intimidasi atau penindasan.
Berdasarkan laporan dari Amnesty International (1999), ribuan tahanan politik dipenjara selama masa pemerintahan Soeharto tanpa proses hukum yang jelas, dan banyak di antaranya mengalami penyiksaan. Operasi militer di daerah-daerah seperti Aceh, Papua, dan (dulu) Timor Timur menyebabkan ribuan korban jiwa.
​Selain pelanggaran HAM, Soeharto juga dihubungkan dengan korupsi yang merajalela selama masa pemerintahannya. Laporan dari Transparency International tahun 2004 dengan tajuk ‘Global Corruption Report: Focus on Political Corruption’ secara seksama memperkirakan bahwa Soeharto dan keluarganya telah menyalahgunakan dana negara antara US$ 15 hingga 35 miliar melalui berbagai yayasan dan monopoli bisnis. Korupsi yang meluas ini berdampak negatif terhadap pembangunan jangka panjang dan menyebabkan ketidakadilan sosial di banyak sektor.
​Menimbang kedua sisi dari argumen ini, tampaknya pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto akan tetap menjadi topik yang kontroversial dan sensitif. Secara ilmiah, berdasarkan kriteria yang ada untuk gelar pahlawan nasional, terutama dalam hal integritas moral dan keteladanan, tampaknya sulit untuk memberikan gelar ini kepada Soeharto tanpa mempertimbangkan beban sejarah yang mengiringi kepemimpinannya. Meskipun demikian, penting untuk tetap menghargai aspek positif dari pemerintahan Soeharto dan menjadikannya bagian dari pelajaran bagi generasi mendatang yang amat dikhawatirkan buta (atau dibutakan kelak?) sejarah bangsanya. Pada titik ini, knowledge management bisa menjadi salah satu ‘terapi pengobatan’ agar kita tidak lupa.

28 September 2024
*) GT Santoso, doctor on Knowledge Management yang dulu demo anti Orde Baru tahun 1998, kini menjadi akademisi dan berbagi pengetahuan di beberapa universitas.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.