Semua Ada Akhirnya

0
72

Oleh: Gamawan Fauzi

SUDAH biasa orang berceloteh, bahwa waktu terasa berjalan begitu cepat. Rasanya baru kemaren kita menjalankan ibadah Ramadhan, sekarang sudah tiba pula Ramadhan baru.
Ada juga yang mengatakan, rasanya seperti baru kemaren kita masih remaja, tiba tiba rambut di kepala sudah memutih dan kini sudah kepala enam dengan sekian anak cucu.
Tapi dalam situasi tertentu, ada juga orang merasakan waktu berjalan begitu lambat, gak tahan menunggu hanya beberapa hari lagi untuk sebuah momen yang diharapkan.
Soal waktu yang terasa berjalan cepat atau lambat, dapat dilihat dari berbagai dimensi, seperti agama, psikologi dan dimensi lainnya.
Rasulullah dalam hadis beliau yang diriwayatkan Abu Hurairah RA mengatakan, tidak akan datang kiamat sehingga waktu semakin berdekatan, setahun seperti sebulan, sebulan seperti sejumat, sejumat seperti sehari, sehari seperti sejam dan sejam terasa hanya sekejap.
Dari aspek psikologi, pada saat hati riang dan senang, waktu berjalan begitu cepat .
Secara teoritis, kenapa orang merasa waktu berjalan begitu cepat atau terasa lambat, dipengaruhi oleh kondisi otak yang disebut supramarginal gyrus. Banyak teori yang muncul tentang waktu terasa cepat atau lambat. Salah satu teori menyebutkan bahwa hal itu terjadi bukan waktu mengalami perubahan, tapi ditentukan oleh persepsi, karena otak akan membentuk gambaran terhadap waktu yang didasarkan ekspektasi manusia, sebagaimana dimuat laman live science.
Menurut Dr. Michael Shadlen, dari Columbia University, New York, otak dapat memperkirakan sesuatu akan terjadi dan mengingat bahwa hal itu belum terjadi. Dijelaskan oleh Shadlen, bahwa pemikiran memiliki horizon , yaitu batasan akan persepsi, pengalaman atau minat seseorang yang berbeda-beda.
Jika kita senang menjalani sesuatu kegiatan, maka otak akan mengantisipasi gambaran besar sehingga dapat melihat horizon dengan dekat dan jauh sehingga waktu terasa cepat berjalan. Tapi saat manusia merasa bosan, dia akan mengantisipasi horizon yang lebih dekat, sehingga waktu terasa lebih lambat.
Berbagai teori tentang waktu dirasakan begitu cepat atau lambat saat ini, bukanlah sesuatu yang ingin dikupas dalam tulisan ini, melainkan saat ini ada 3 kelompok manusia di Indonesia yang berbeda menunggu tanggal 20 Oktober 2024 dalam hubungannya dengan hidup berbegara.
Kelompok pertama, adalah mereka yang tengah berduka, karena Presiden yang selama ini dipuja puji bak dewa akan menyudahi kedigdayaannya. Waktu bagi mereka terasa begitu cepat berlalu. Kalau bisa tambahlah 5 tahun lagi, atau setidak tidaknya berilah perpanjangan waktu seperti pertandingan sepak bola, disebabkan adanya free kick yang memakan waktu lama mengeksekusinya, dan free kick itu adalah covid 19 yang terjadi sekitar 2 tahun itu. Setidak tidak tambahlah kekuasaan presiden 2 tahun lagi. Kelompok ini pantas dikasihani karena sedang berduka berat .
Kelompok kedua, adalah mereka yang merasakan waktu berjalan begitu lambat, padahal tinggal hanya hitungan hari. Mereka seperti tak tahan menunggu saatnya tiba. Mereka sudah memiliki sejumlah agenda hebat untuk menyambut “raja baru” dengan sukacita. It’s time for us. Kini hari kita, hari yang sudah lama dinanti nanti. Baju baru sudah dipesan jauh jauh hari, latihan senyum dan tawa sudah tinggal diledakkan di gelanggang yang ramai. Pokoknya tak ada hari yang sebaik tanggal 20 Oktober 2024.
Bersamaan dengan itu ada juga kelompok yang tak menunggu raja baru, tapi menunggu menyaksikan seperti apa “Raja Jawa” setelah turun dari singgasana? Seperti apa kesetiaan para kelompok yang selama ini memuja? Masihkah adakah gelak tawa yang membahana? Atau busung dada dan masih kah setia seperti sebelumnya?
Visualisasi sikap itu akan ditonton khalayak dalam layar lebar Indonesia atau ratusan ribu media sosial, baik mengenai kurenah-nya, yaitu kelakuannya dan ucapannya ataupun sikapnya.
Kalau sebelumnya ada pasukan berani mati yang membela, maka setelah setelah tahta bukan lagi miliknya, kesetian itu akan seperti apa wujudnya?
Semua itu memerlukan kesabaran untuk mencermatinya. Namun seperti kata pepatah, cewang di langik tandokan paneh, gabak di hulu tandokan hujan. Tanda tanda sudah terbaca dalam banyak peristiwa dalam pekan pekan terkhir inl.
Pada 1 Oktober lalu, pada acara pelantikan anggota DPR RI, saat pimpinan sidang sementara memberikan kata pengormatan untuk Presiden Jokowi, tak ada lagi tepuk tangan untuknya, seperti lazimnya selama ini.
Presiden terlihat murung bersandar di kursi, yang masih sebesar dulu. Matanya teduh dan rautnya dingin tanpa ekspresi, tak ada senyum bergantung di wajahnya. Ruangan pun hening seperti rumah tinggal. Sejujurnya saya sedih melihat momen itu.
Lalu saya berpikir, di mana anggota partai partai yang secara formal hingga saat ini masih bergabung mendukukung presiden? Seperti itu betulkah politik? Seperti itu betulkah mereka memandang matahari akan tenggelam? Seperti itu betulkah yang namanya kepentingan ? Padahal di antara anggota DPR itu terdapat sejumlah nama yang dulu pernah diberi jabatan oleh presiden, bahkan sebagian besar anggota anggota DPR itu bernaung di bawah partai yang mayoritas pendukung Presiden Jokowi.
Sebaliknya, tatkala nama Prabowo Subianto, Presiden terpilih disapa oleh ketua sementara DPR RI, tepuk tangan pun gemuruh bak menyambut pahlawan yang pulang dalam kemenangan.
Saya kira itu wajarlah, karena Prabowo adalah “matahari” yang sedang naik atau rising star. Tentu banyak yang kemudian berharap untuk masa lima tahun ke depan, bahkan partai partai yang kalah dalam kompetisi Pilpres pun tanpa malu sudah bergegas merapat. Masyarakat tentu tak tahu, apakah tepuk tangannya lebih keras atau bertepuk seadanya sambil malu-malu.
Pemandangan ini mengajarkan bangsa dan anak cucu kita, bahwa persahabatan politik bukanlah pertemanan yang setia, melainkan simpati yang dibungkus kepura-puraan. Saat berkuasa disanjung-sanjung dan dibela dengan segenap jiwa raga, tapi saat panggung kekuasaan mulai dilepas, tepuk tanganpun enggan diberikan.
Ketika sidang paripurna itu ditutup, presiden saya saksikan di layar kaca, berjalan sendiri dengan wajah muram, tak ada yang mendekat sekedar menunjukkan rasa hormatnya. Tapi di sekeliling presiden terpilih, ramai yang mendekati.
Ternyata memang tak ada teman yang abadi, kecuali kepentingan yang abadi. Adagium politik seperti itu nyata dibuktikan dalam hari-hari terakhir tahta Presiden Jokowi. Kata-kata bijak menyebutkan, jatuh itu perlu, supaya kita tahu siapa yang bertepuk tangan dan siapa yang mengulurkan tangan, adalah hikmah yang yang amat berguna saat-saat seperti itu.
Pada bagian lain, panggung politik bangsa kita masih dihiasi ungkapan palsu, bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beradab, bangsa yang beretika, bangsa yang berbudi luhur, bangsa yang pandai menghargai orang lain, bangsa yang arif bijaksana. Pokoknya hebatlah.
Belajar dari drama politik 1 Oktober itu. Mungkin bisa menjadi pelajaran pula bagi kepala daerah yang akan mengakhiri tugasnya dan kepala daerah yang akan terpilih. Anda bukanlah di dunia persahabatan, anda di atas panggung politik. Bagi yang akan mengakhiri tugasnya, tak perlu perharap terima kasih ataupun penghargaan. Serahkanlah jabatan dengan ikhlas dan rasa syukur. Karena pernah memiliki kesempatan mulia untuk memimpin seuatu daerah, karena amat sedikit di antara masyarakat yang berkesempatan memilikinya.
Dan bagi pejabat baru yang kelak mungkin terpilih, maka sejak awal awal ini mungkin patut ditanamkan dalam hati dan pikiran, bahwa teman teman yang di sekeling Anda, belum tentu mereka adalah sahabat. Mereka ada yang teman ketawa dan kesetiannya adalah bersifat struktural.
Esok setelah Anda pergi, loyalitasnya beralih kepada pejabat pengganti anda. Mereka ini umumnya adalah aparatur sipil negara. Bagi mereka, siapapun kepala daerahnya, dia akan loyal. Kata orang Minang, siapa laki mande awak, dia adalah bapak awak.
Tapi ada juga ragam teman lain, yaitu mereka yang berteman karena punya kepentingan, ada udang di balik batu, dan amat sedikit di antaranya adalah sahabat, yaitu mereka yang akan selalu bersama anda dalam suka dan duka. Mereka tak berharap apa-apa, mereka menyukai secara ikhlas, karena ada rasa simpati dalam hati mereka. Karena itu, sejak awal awal ini, pahamilah bahwa dunia politik itu beda dengan kehidupan sehari hari.
Tapi sungguhpun begitu, sebagai bangsa bermartabat , bermoral dan berbudi pekerti, janganlah keterlaluan. Sepantasnya pula orang yang pernah berbuat baik kepada diri atau bangsa diberikan rasa simpati yang wajar. Seperti sewajarnya pula memberikan penghargaan dan rasa hormat kepada figur yang akan terang bintangnya.
Tuhan tak suka kepada orang yang berlebih- lebihan. Kata orang Minang, malabiahan rancak- rancak, mangurangi sio-sio.
Sikap seperti itu sejalan dengan hukum dunia, semua ada akhirnya. Seterang terangnya bintang, pada saatnya nanti akan redup juga. Karena tak ada satupun di dunia ini yang abadi. Bahkan Allah dalam kitab sucinya mengatakan bahwa hidup itu dipergilirkan.
Tulisan ini bukan soal pro dan kontra kepada Presiden Jokowi atau Prabowo sebagai Presiden terpilih 2024- 2029. Tapi tulisan soal moral, budi pekerti dan soal taratik, kata orang Minang.
Semua itu bukan untuk diperkatakan atau sekedar dipidatokan supaya terpandang hebat, tapi soal pengamalan, soal sesuatu yang seharusnya nyata dalam kehidupan berbangsa, soal adab sebagaimana dinukilkan dalam ideologi Pancasila. (*)
Jakarta 7 Oktober 2024

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.