TANGKAP DULU, BUKTI BELAKANGAN. TERSANGKAKAN DULU TOM LEMBONG, SOAL RINCIAN KERUGIAN NEGARA, HITUNG BELAKANGAN?
Oleh : *Ahmad Khozinudin*
Sastrawan Politik
Saya setuju, pernyataan Kejagung bahwa untuk menyidik Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, tidak dibutuhkan pembuktian aliran dana ke Tom Lembong. Kecuali, Tom Lembong di tersangkakan dengan Pasal 12 UU Tipikor.
Karena konstruksi Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, tak harus menguntungkan diri sendiri. Bisa menguntungkan orang lain, atau korporasi.
Jadi, Tom bisa saja tak kecipratan duit, tak dapat untung dari kasus ini. Tapi, korporasi yang mengimport gula yang diuntungkan dari kasus ini.
Namun, asas dari pembuktian Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, itu adanya kerugian Negara. Kerugian itu harus nyata, dihitung secara rinci, dan dilakukan oleh lembaga yang berwenang.
Sebelum mencari unsur perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, unsur pertama yang harus dipastikan ada adalah adanya kerugian Negara. Jika tak ada kerugian negara, tak relevan lagi membahas unsur perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi.
Untuk membuktikan adanya kerugian Negara, perhitungannya bukan atas dasar hitungan Jaksa, melainkan auditor negara dari BPK. Dalam kasus Tom, Jaksa hanya menjelaskan dugaan kerugian negara Rp.400 miliar, tanpa menjelaskan asal usul kerugian, rincian kerugian dan siapa yang menghitung kerugian tersebut.
Celakanya, audit BPK yang dijadikan rujukan pada kasus import gula, menurut Ari Yusuf Amir selaku pengacara Tom Lembong, tidak menyimpulkan adanya kerugian Negara. Hanya memberikan rekomendasi, agar dirjen import dan Dirjen perdagangan luar negeri melakukan perbaikan.
Bisa saja, auditor BPK belum diperiksa, atau baru diperiksa menyusul setelah penetapan tersangka. Sehingga, nilai tersebut menyesuaikan kesimpulan Jaksa.
Atau diperiksa, dalam rangka menggiring kasus. Karena, kasus ini sudah 9 tahun berlalu. Jelas, terbaca motif politiknya. Jika murni penegakan hukum, semestinya sejak 2015 atau 2016 diusut.
Saya tidak terlalu cawe-cawe dalam kasus korupsi dengan dasar Pasal 12 UU Tipikor, apalagi hasil OTT. Clear, kasus seperti ini murni korupsi. Karena orang yang dapat suap atau gratifikasi, sudah tak ada alasan untuk cari salih tidak korupsi.
Namun, kasus yang dijerat dengan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, bisa sangat subjektif dan politis. Ini pula, yang terjadi pada kasus Tom Lembong. Sangat kontras nuansa politisnya, yakni yang disasar adalah pihak oposisi.
Kalau mau bersih-bersih, setengah dari kabinet Merah Putih Prabowo, semestinya dicopot karena kasus korupsi. Namun, kasus mereka tak diusut karena berada di lingkaran kekuasan. Sebut saja, Airlangga yang lolos dari kasus ekspor minyak goreng.
Kalau di kalangan umum, dikenal adagium polisi melakukan proses hukum dengan kaidah ‘tangkap dulu, bukti belakangan’. Dalam kasus Tom Lembong ini, Jaksa nampaknya menggunakan adagium ‘Tetsangkakan Dulu Korupsi, soal kerugian Negara hitung belakangan’.
Miris dan sedih, dengan kondisi hukum di republik ini. [].