Kehadiran Aktivis di Kabinet Prabowo: Dilatarbelakangi Aktivisme 08 di Masa Muda?
Prabowo tampaknya mengharapkan para mantan aktivis ini bisa mengedepankan perspektif yang lebih berani dan kritis dalam proses pengambilan keputusan, serta menghadirkan suara-suara dari lapisan masyarakat yang kerap terpinggirkan.
Kabinet Presiden Prabowo Subianto memiliki komposisi yang menarik perhatian publik. Di antara nama-nama dalam kabinet ini, tampak sejumlah figur yang dahulunya dikenal sebagai aktivis pejuang perubahan sosial.
Nama-nama seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah, Ferry Joko Juliantono, Nezar Patria, Budiman Sudjatmiko, Mugiyanto Sipin, hingga Natalius Pigai, kini menjabat posisi strategis dalam pemerintahan. Kehadiran mereka memunculkan pertanyaan: Mengapa Prabowo mengumpulkan para mantan aktivis dalam kabinetnya? Apakah langkah ini ada kaitannya dengan masa mudanya yang juga pernah bersentuhan dengan dunia aktivisme?
Mengapa Para Aktivis Ada di Kabinet Prabowo?
Prabowo tampaknya memilih para aktivis ini karena pengalaman mereka yang relevan dengan tujuan pemerintahannya. Nezar Patria, sebagai contoh, adalah mantan aktivis yang pernah mengalami langsung penculikan pada masa Reformasi 1998. Kiprahnya di dunia pers dan komitmennya pada kebebasan berekspresi membuatnya cocok untuk mengisi pos di bidang komunikasi.
Sementara itu, Budiman Sudjatmiko yang dahulu dikenal dengan perjuangannya untuk hak-hak buruh dan rakyat kecil di masa Orde Baru, mungkin kini diharapkan bisa memperjuangkan program-program pembangunan yang pro-rakyat. Mugiyanto Sipin, seorang pejuang hak asasi manusia yang pernah mengalami penyiksaan, kini menjabat sebagai wakil menteri HAM, barangkali untuk memberikan sentuhan humanis dan empati pada kebijakan yang menyangkut perlindungan hak asasi manusia.
Pilihan Prabowo ini mungkin juga didorong oleh keinginan untuk merangkul pihak-pihak yang dahulu berseberangan atau menjadi oposan dalam sejarah panjang politik Indonesia. Prabowo tampaknya mengharapkan para mantan aktivis ini bisa mengedepankan perspektif yang lebih berani dan kritis dalam proses pengambilan keputusan, serta menghadirkan suara-suara dari lapisan masyarakat yang kerap terpinggirkan.
Masa Muda Prabowo dan Jejak Aktivisme
Sejarah Prabowo dalam dunia aktivisme memiliki akar yang cukup dalam. Ayahnya, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, adalah tokoh penting dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan aktif dalam berbagai gerakan anti-pemerintah yang digerakkan dari luar negeri pada masa Orde Lama.
Prabowo muda tumbuh dalam lingkungan yang dekat dengan idealisme dan pergerakan, bergaul dengan para aktivis seperti Soe Hok Gie. Hubungannya dengan Gie membawanya dalam lingkaran pergerakan mahasiswa yang kritis terhadap ketidakadilan saat itu.
Gie, dalam catatan hariannya yang fenomenal, Catatan Seorang Demonstran, menggambarkan Prabowo sebagai sosok yang ‘cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas namun masih naif’. Gie berperan sebagai mentor bagi Prabowo dalam mengenalkan gagasan-gagasan kritis.
Mereka bahkan pernah berdiskusi mengenai proyek idealis berupa Peace Corps ala Indonesia, yang bertujuan memberdayakan pemuda untuk pembangunan desa. Sayangnya, proyek ini gagal diwujudkan. Gie menilai bahwa rencana tersebut, meskipun penuh semangat, masih terlalu idealis dan kurang realistis untuk situasi di Indonesia saat itu.
Benarkah Prabowo Cerdas tapi Naif?
Pandangan Gie terhadap Prabowo muda adalah potret dari harapan sekaligus skeptisisme. Dalam catatan hariannya, Gie menggambarkan Prabowo sebagai sosok cerdas yang ‘kurang memahami realitas sosial masyarakat Indonesia’. Hubungan mereka yang diwarnai perbedaan pendapat itu menunjukkan bahwa Gie sebenarnya berharap Prabowo bisa mengembangkan perspektif yang lebih mendalam dan realistik dalam memandang persoalan bangsa.
Sikap kritis Gie, dalam banyak hal, adalah upaya untuk membentuk Prabowo menjadi seseorang yang lebih matang dan peka terhadap kehidupan rakyat biasa saat itu. Kesan ini menimbulkan refleksi mengenai bagaimana Prabowo melihat kepemimpinan dan aktivisme. Meski kini berada di ranah kekuasaan, Prabowo tampaknya masih menyimpan nilai-nilai idealisme yang pernah dibicarakan bersama Gie.
Dalam hal ini, pengumpulan para mantan aktivis di kabinetnya tampaknya merupakan bentuk upaya untuk menghadirkan suara dan perspektif yang lebih humanis dan kritis dalam proses pemerintahan.
Potret Prabowo Subianto muda (kiri) dan aktivis 1966 Soe Hok Gie. (Foto: istimewa)
Apa yang bisa diberikan seorang aktivis? Dalam literatur kepemimpinan, aktivisme sering kali dinilai sebagai pengalaman berharga dalam membentuk karakter seorang pemimpin. Buku The Art of Leadership karya George Manning dan Kent Curtis menyebutkan, para aktivis memiliki ketajaman moral yang tinggi dan keberanian untuk melawan sistem yang tidak adil. Mereka tidak hanya peka terhadap persoalan masyarakat tetapi juga memiliki keberanian untuk menghadapi risiko dalam membela keadilan.
Lebih lanjut, dalam Leading Minds: An Anatomy of Leadership, Howard Gardner menjelaskan bahwa pemimpin yang berasal dari kalangan aktivis sering kali memiliki empati yang tinggi dan pemahaman mendalam tentang kondisi sosial-politik masyarakat. Aktivisme membantu mereka dalam membangun perspektif yang kuat, sehingga mereka mampu membuat kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
Perspektif ini relevan dalam konteks kabinet Prabowo yang diisi oleh tokoh-tokoh seperti Ferry Juliantono dan Nezar Patria, yang diharapkan membawa pengalaman perjuangan mereka ke dalam proses pengambilan keputusan.
Di sisi lain, Richard Wolin dalam The Wind from the East: French Intellectuals, the Cultural Revolution, and the Legacy of the 1960s mengungkapkan bahwa aktivisme memberikan pemahaman terhadap dinamika sistem dan struktur sosial. Dengan kata lain, mereka yang memiliki latar belakang aktivisme biasanya lebih kritis terhadap ketidakadilan struktural dan lebih adaptif dalam menghadapi tantangan di lapangan.
Tantangan di Balik Idealisme dan Realitas
Meskipun kehadiran para mantan aktivis ini membawa harapan akan pemerintahan yang lebih demokratis dan inklusif, mereka tidak terhindar dari dilema yang cukup rumit. Para aktivis yang bergabung dengan pemerintah sering kali dihadapkan pada situasi yang menguji idealisme mereka. Mereka harus memilih antara mempertahankan prinsip atau berkompromi demi kepentingan politik.
Pengalaman ini pernah dirasakan oleh beberapa aktivis yang masuk ke dalam pemerintahan, bahkan di awal Orde Baru tahun 1966. Saat itu, kita tahu, Rahman Tolleng, Sarwono Kusumaatmadja, Akbar Tandung, Cosmas Batubara, Abdul Gafur, Fahmi Idris, misalnya, masuk dengan tekad ‘transformation within’ alias mengubah dari dalam. Terserah interpretasi sejarah apakah mereka sukses atau tidak. Yang jelas, Tolleng tak lama berada di dalam, dan belakangan justru menjadi oposan Soeharto di garda depan.
Juga para aktivis era Reformasi 1998. Banyak dari mereka merasa terjebak dalam dilema antara memperjuangkan nilai-nilai idealisme atau berkompromi dengan kepentingan pragmatis demi stabilitas pemerintahan. Hal ini menjadi tantangan besar bagi para mantan aktivis di kabinet Prabowo, untuk tetap konsisten dalam memperjuangkan prinsip-prinsip yang dahulu mereka bela.
Dampak bagi Indonesia ke Depan
Masuknya mantan aktivis dalam kabinet Prabowo bisa memberikan warna baru dalam pemerintahan. Mereka diharapkan mampu menciptakan kebijakan yang lebih akomodatif terhadap aspirasi rakyat, serta mampu memberikan suara-suara yang biasanya terpinggirkan dalam lingkup kekuasaan.
Dengan bekal pengalaman mereka menghadapi represivitas dan ketidakadilan, para aktivis ini bisa menjadi suara yang lebih kritis dan berani dalam melawan kebijakan yang tidak adil.
Dalam banyak hal, pemerintahan yang terbuka terhadap kritik dan aspirasi rakyat adalah langkah penting untuk menjaga kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam konteks ini, kehadiran mantan aktivis di kabinet diharapkan mampu mendorong terciptanya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan.
Sejarah persahabatan Prabowo dengan Soe Hok Gie di masa lalu, meskipun singkat, tampaknya memiliki dampak yang cukup dalam pada cara pandangnya terhadap aktivisme dan kepemimpinan.
Gie yang dikenal dengan idealisme tanpa kompromi dan sikap kritisnya terhadap ketidakadilan, menjadi inspirasi bagi Prabowo dalam memandang arti perjuangan dan perubahan sosial. Warisan nilai dan pemikiran Gie, yang selalu menekankan keberpihakan pada rakyat, kini tampaknya dilanjutkan oleh Prabowo melalui komposisi kabinet yang diisi oleh para mantan aktivis.
Namun, tantangan terbesar masih ada di depan mata. Reformasi birokrasi yang efektif, penegakan HAM yang konsisten, serta kebijakan pro-rakyat menjadi ujian sejauh mana kabinet ini dapat memberikan perubahan nyata. Mengingat tantangan besar yang dihadapi Indonesia saat ini, kehadiran para aktivis dalam kabinet ini mungkin bisa menjadi harapan baru untuk menciptakan pemerintahan yang lebih tanggap dan berpihak pada masyarakat luas.
Sumber: inilah.com