Pidato Kekalahan Capres Amerika sebagai Budaya dan Keadaban Publik
Oleh Buni Yani
Filosofi pertandingan sama sekali tidak rumit. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah diajarkan sejak kita kecil, dan hampir semua budaya mengajarkan nilai-nilai baik yang sama.
Tidak gampang mengakui kekalahan dalam kontestasi, itulah yang terjadi di berbagai bangsa dan negara di dunia. Selalu ada cara untuk mendeligitimasi presiden atau perdana menteri terpilih. Karena pihak sini lebih baik, lebih berhak, dan pasti menang, sedang pihak sana lebih buruk, tidak berhak, dan harus kalah.
Sikap demikian tentu saja tidak terpuji dan harus dihindari. Inti dari demokrasi, sama seperti pertandingan olahraga, adalah sportivitas. Yang menang mesti menghormati yang kalah, dan yang kalah mesti menerima kekalahan. Yang menang belum tentu akan menang di pertandingan selanjutnya, sementara yang kalah bisa berlatih lebih keras agar bisa memperbaiki prestasi di masa mendatang.
Tidak ada yang rumit dan mesti didramatisir. Kalah-menang adalah hal biasa. Kemenangan bukanlah puncak dari segalanya yang kemudian memabukkan dan bikin lupa daratan, dan kekalahan pun bukanlah kiamat atau akhir dari dunia. Bukan. Karena pertandingan adalah pertandingan dan pertandingan bukanlah tujuan tetapi hanya alat.
Alat untuk apa? Yaitu alat untuk menggembleng mental para pemain, alat untuk memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang jujur, lurus, dan taat pada aturan pertandingan. Alat untuk mendidik si wasit agar berlaku adil dan jujur dalam memimpin pertandingan. Alat untuk mendidik penonton agar mereka ikhlas menerima apa saja hasil pertandingan.
Jadi pertandingan bukanlah tujuan, tetapi hanya alat untuk mendidik kita menjadi manusia yang punya integritas, menghargai prestasi dan meritokrasi, serta menaati nilai-nilai luhur yang menjadi fundamen kontestasi. Hanya dengan memahami filosofi ini dengan baik baru kemudian kita bisa legawa dan ikhlas menerima apa pun hasil pertandingan.
Filosofi pertandingan sama sekali tidak rumit. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah diajarkan sejak kita kecil, dan hampir semua budaya mengajarkan nilai-nilai baik yang sama. Kita diajarkan orang tua untuk berlaku adil kepada siapa saja, kita diajarkan untuk menaati aturan di sekolah, di rumah, dan di jalan. Kita diajarkan untuk menerima hasil lomba dan pertandingan dengan jiwa sportivitas yang tinggi.
Pertanyaannya, bila nilai-nilai luhur tentang keadilan, kebenaran, meritokrasi dan sportivitas sudah diajarkan sejak kita kecil, lalu dari mana asal-muasal perilaku menyimpang yang secara diametral melawan nilai-nilai tersebut setelah kita tumbuh besar dan dewasa? Yang menyebabkan kita melawan hasil pertandingan, berlaku tidak jujur dan tidak adil, serta melawan nilai-nilai sportivitas?
Jawaban untuk pertanyaan ini tidak tunggal dan tidak sederhana. Suatu perilaku menyimpang tidak atau jarang sekali berdiri sendiri, namun hampir selalu terkait dengan kejadian lain yang memicu penyimpangan tersebut. Penyimpangan nilai ini bisa jadi dipicu oleh ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak sana sehingga pihak sini bereaksi dengan kadar yang sama atau bahkan lebih keras.
Para sarjana ahli konflik berpendapat bahwa kekerasan, begitu juga keadilan, seperti cermin. Dia bisa memantul ke mana-mana ke seluruh masyarakat. Bila sumbernya baik dan adil, maka pantulannya juga akan baik dan adil. Sebaliknya, bila sumbernya buruk dan penuh ketidakadilan, hal yang sama juga akan memantul ke tengah masyarakat. Ada reaksi karena ada aksi. Jarang sekali, atau bahkan tidak mungkin, suatu perilaku menyimpang muncul begitu saja. Perilaku menyimpang dipercayai muncul sebagian besar karena ada pemicunya.
Melihat pola pencerminan atau “mirroring” yang terjadi di dalam masyarakat ini, maka bisa dipastikan hampir semua perilaku mempunyai proses yang sama. Satu orang atau sekelompok orang melakukan penyimpangan, maka akan ditiru oleh satu atau sekelompok orang lainnya. Atau, bisa juga satu atau sekelompok orang melakukan penyimpangan sebagai reaksi atas penyimpangan satu atau sekelompok orang lainnya.
Bila hukum sosiologi ini berlaku secara umum, maka dengan gampang kita bisa menjelaskan mengapa sekelompok orang menolak hasil pemilihan presiden, gubernur atau bupati – yaitu suatu penyimpangan serius dalam demokrasi. Maka kita bisa katakan bahwa penolakan ini kemungkinan besar merupakan reaksi dari penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok lain. Misalnya, karena terjadinya kecurangan, ketidakadilan dalam penyelenggaran pemilihan, dan praktik-praktik tidak terpuji lainnya.
Penolakan atas hasil pemilihan dilakukan karena pihak penolak melihat ada kecurangan dilakukan oleh kontestan lawan atau penyelenggara pemilihan. Kecurangan yang tentu tidak bisa ditolerir baik atas dasar moral ataupun politik. Karenanya, atas dasar kebenaran dan keadilan, maka penolakan ini sah adanya.
Namun tentu saja ini adalah gambaran umum yang terjadi di banyak tempat. Tentu ada perkecualian, dan perkecualian itu berasal dari Amerika Serikat.
Di AS, pertikaian besar yang diakibatkan oleh pemilihan presiden lalu menimbulkan perpecahan bangsa yang serius hampir tidak pernah terjadi. Kalaupun pernah terjadi, itu tidak berlarut-larut. Kasus pendukung Trump yang tidak menerima hasil pemilihan tahun 2020 lalu berusaha menduduki gedung DPR – Capitol Hill – pada Januari 2021 akhirnya berakhir dengan pengakuan atas kemenangan Biden.
Kasus Trump ini kasus yang sangat khusus dalam sejarah Amerika. Yang banyak terjadi justru diadakannya pidato kekalahan oleh calon presiden yang suaranya sudah tidak bisa lagi mengejar suara lawan. Pidato kekalahan ini sekaligus merupakan pernyataan pengakuan kemenangan kepada pihak lawan. Dalam tradisi Amerika, calon presiden yang kalah dalam kontestasi selain membuat pidato kekalahan juga biasanya akan menelepon calon presiden yang menang untuk mengucapkan kata selamat.
Baru-baru ini tak lama setelah melihat jumlah suaranya kalah oleh Trump, padahal penghitungan belum selesai dilakukan, capres Kamala Harris dari partai Demokrat langsung mengumumkan kekalahannya lewat pidato yang penuh motivasi kepada para pendukungnya. Kamala mengatakan jangan pernah berhenti berjuang karena kecintaan mereka yang besar kepada Amerika.
Kamala tampak tegar. Dia mengumbar senyum kepada pendukungnya. Tidak terlihat sedikit pun kebencian pada raut muka Kamala, padahal publik Amerika tahu bahwa kampanye kedua kandidat penuh berisi pernyataan keras dan saling menjatuhkan. Bahkan Trump sendiri dua kali mengalami percobaan pembunuhan selama kampanye yang entah dilakukan oleh siapa.
Kamala seperti mengubur luka yang masih basah dan menganga dengan senyum khasnya. Alih-alih menangis dan meneteskan air mata, dia justru berusaha menghibur pendukungnya dengan isi pidato yang berisi motivasi untuk berjuang kembali. Masih ada waktu, dan bukan tak mungkin pada 2028 mendatang kandidat dari partai Demokrat bisa kembali merebut kekuasaan.
Pidato Kamala Harris disampaikan di kampus Howard University di Washington, DC, kampus yang sebagian besar mahasiswanya berkulit hitam di mana Kamala adalah salah satu alumninya. Dibanding kampus lain di Washington, DC, Howard University tidaklah tergolong prestisius. Saya pernah beberapa kali lewat di depan kampus ini, bahkan pernah ikut tes GRE dan TOEFL berbasis komputer di sana pada tahun 2002. Kesan kurang terawat dan fasilitas yang terasa berbeda, itulah yang saya rasakan. Entah sekarang, setelah 22 tahun kemudian, bisa jadi kampus ini sudah jauh berkembang. Apa lagi salah satu alumninya telah menjadi Wakil Presiden Amerika, negara adidaya yang sangat kaya.
Kamala menolak untuk runtuh dan takluk. Dia mengobarkan semangat untuk terus berjuang. Tidak ada demo menolak hasil pemilihan, tidak ada orang bakar-bakar ban, tidak ada kerusuhan. Washington, DC tampak normal seperti hari-hari biasa. Gedung Putih masih dihuni Presiden Biden, Capitol Hill tak menunjukkan tanda-tanda abnormal. Semua berjalan seperti biasa.
Memang selama pemilihan presiden tahun 2024 ini ada insiden-insiden kecil terjadi, tapi tidak sampai menimbulkan chaos sebesar empat tahun sebelumnya. Orang Amerika mungkin menganggapnya sebagai kembang demokrasi semata yang biasa terjadi dalam urusan politik. Semacam riak kecil yang tidak akan pernah membuat oleng perahu. Amerika diyakini akan semakin kuat dengan dinamika politik seperti ini.
Mungkin banyak bangsa di dunia akan merasa iri dengan budaya politik Amerika yang mampu menghadirkan pertunjukan elegan seperti pidato kekalahan ini. Bagi negara-negara yang tergolong banana republic, ini bisa jadi seperti fiksi yang terlalu indah untuk terjadi.
Dari mana asal-muasal tradisi unik ini yang menjadikan Amerika sangat berbeda dengan negara-negara lain di dunia?
Suatu budaya atau tradisi tertentu tidak jatuh dengan sendirinya dari langit tanpa usaha pendukungnya. Budaya adalah kesadaran kolektif untuk menjalankan suatu perilaku dengan atau tanpa disadari. Budaya adalah kesepakatan bersama untuk menerima perilaku tertentu, baik yang positif maupun negatif, lalu dijadikan standar nilai.
Budaya politik Amerika sudah berumur ratusan tahun, dianggap usia yang sudah sangat matang dan akan stabil untuk seterusnya. Di awal-awal kemerdekaan pasca 1776, Amerika mengalami ujian yang tidak ringan. Di abad ke-19, terjadi perang saudara antara Amerika sebelah utara dan selatan. Amerika kenyang dengan pengalaman politik, perbedaan pandangan dan ideologi hingga pertumpahan darah.
Di awal terbentuknya Amerika, banyak sikap luhur dan terpuji dicontohkan oleh para pendiri bangsa. Sikap tanpa pamrih mereka akan terus dikenang oleh generasi berikutnya. Nilai-nilai yang baik yang dicontohkan para pendiri bangsa ini meresap ke dalam relung hati warga, terus hidup dalam memori kolektif, menjadi nilai-nilai luhur yang dipegang teguh, dan mewujud menjadi tindakan nyata dalam perilaku sehari-hari.
Mungkin inilah yang terjadi dengan pidato kekalahan yang agung itu, termasuk pidato kekalahan oleh Kamala harris. Dia muncul dari ketidaksadaran karena begitu halus bersemayam dalam pikiran dan kesadaran publik. Karena nilai yang bagus haruslah menjadi perilaku, dan perilaku yang baik ini haruslah dijadikan keadaban publik.
Tampilan website keren dan nyaman