Sketsa Pilkada Serentak (16): Serangan Fajar, Apa Bisa?!
TUTUP layar. Alat peraga kampanye (APK) harus turun dari ruang publik. Berakhir masa kampanye Pilkada Serentak 2024.
Masa tenang tiga hari, jelang hari pemilihan. Masa tenang tak serta-merta “harap tenang” bagi calon. Alih-alih bisa rebahan untuk sekadar rehat atau relaksasi, usai masa kampanye. Jadual padat sebelumnya yang menguras tenaga, pikiran, waktu dan dana.
Ku tak bisa jauh, jauh darimu. Ada suasana hati, masa kampanye belum ingin berakhir. Padahal memang harus berakhir. Lantas lirik lagu Slank itu lanjut bertutur: Lalu mau apa lagi?!
Masa tenang di antara puncak harapan. Seolah masih ada kejaran yang perlu dilakukan. Aksi sembunyi. Konon opsi “Serangan Fajar” masih jadi andalan. Senjata pamungkas yang praktis memangkas integritas. Mendistorsi arti dan makna berdemokrasi. Menjauhkan harapan daulat rakyat yang hingga kini masih dalam bayang angan.
Nah, di spasi ini — giliran polisi pilkada tak boleh tidur hingga berakhir pencoblosan. Adalah pihak Bawaslu (atau panwaslu -pen) yang dituntut bergerak. Pengawas pemilu yang wajib mengawasi atau monitoring prilaku kontestan. Spasi injury time yang memungkinkan hal tak seharusnya, justru bakal terjadi. Potensial pelanggaran hingga perkara hukum.
Bawaslu tak sendiri dalam menjamin keberlangsungan pilkada luber dan jurdil. Langsung, umum, bebas, rahasia dan jujur adil. Ada desk pilkada di tingkat KPU setempat. Di tingkat nasional atau pemerintahan pusat (kemendagri), ada Desk Monitoring Pilkada 2024.
Wakil Mendagri, Bima Arya sebagai komando sistem monitoring itu. Sangat diharapkan aksi hingga tindakan lugas, tegas dan tuntas. Tak semata formalitas. Tim Bima Arya diharapkan pula siap begadang selama sekurangnya masa tenang hingga hasil akhir pilkada.
Masa tenang sebagai peringatan “harap tenang”. Cukup sudah masa proses pilkada. Tinggallah menunggu hasil perolehan suara.*
@ imam wahyudi (iW)