Nama-nama “Mabuk Agama” di Dunia: Piknikmu Kurang Jauh, Bro!
Mereka benci sekali melihat celana cingkrang, baju koko, baju gamis, jilbab, niqab, dan tanda hitam di kening bekas sujud. Mereka akan menghina secara terang-terangan bila umat Islam melakukan tablig akbar, pengajian di tempat umum, pawai takbiran malam lebaran, dan banyak lagi kegiatan yang juga sudah dianggap sebagai tradisi turun-temurun.
Oleh Buni Yani
Sejak 10 atau 12 tahun terakhir ini muncul kelompok yang menyebarkan kebencian secara masif kepada orang-orang beragama, yang tidak terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kelompok ini diorganisir secara rapi yang melibatkan pendanaan dari kelompok yang sudah tidak asing lagi, dan juga mendapatkan dukungan politik dari kalangan yang tidak perlu lagi disebutkan karena sudah sangat jelas siapa-siapa saja mereka.
Sikap ini jelas sangat nista dan terkutuk karena Indonesia didirikan oleh para pendiri bangsa berdasarkan ketuhanan yang maha esa yang tercantum pada sila pertama Pancasila. Tidak cuma itu, pada batang tubuh konstitusi ditegaskan kembali bahwa warga negara Indonesia bebas menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing.
Karenanya, setiap usaha untuk melakukan pelabelan buruk terhadap kelompok agama tertentu mesti diproses secara hukum karena melanggar konstitusi. Konstitusi harus ditegakkan, dan Undang-Undang serta aturan di bawahnya harus dijalankan untuk menjamin kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan pada relnya.
Kelompok pembenci agama ini sangat tidak senang melihat kesalihan dipertunjukkan di ruang publik. Mereka sangat benci melihat umat Islam menggunakan ekspresi yang berbau Arab. Mereka terganggu mendengar kata-kata masya Allah, alhamdulillah, insya Allah, dan banyak lagi ungkapan lainnya yang sudah sangat lazim dipakai umat Islam sejak berabad-abad yang lalu.
Mereka benci sekali melihat celana cingkrang, baju koko, baju gamis, jilbab, niqab, dan tanda hitam di kening bekas sujud. Mereka akan menghina secara terang-terangan bila umat Islam melakukan tablig akbar, pengajian di tempat umum, pawai takbiran malam lebaran, dan banyak lagi kegiatan yang juga sudah dianggap sebagai tradisi turun-temurun.
Mereka melabeli umat Islam yang menjalankan agamanya sebagai “mabuk agama” – istilah peyoratif yang mengandung unsur kebencian bila dilihat secara budaya. Kata “mabuk” mempunyai arti “tidak sadar” akibat keracunan oleh unsur atau zat beracun. Bila menjalankan agama sebagai wujud dari kesalihan dianggap akibat dari keracunan ajaran agama jelas ini penistaan. Karena ajaran agama Islam bukan racun, tetapi petunjuk kepada pemeluknya menuju keselamatan dunia dan akhirat.
Seharusnya labelisasi dan stigmatisasi demikian tidak perlu terjadi bila kelompok pembenci ini cukup literasi, membaca sejarah dengan benar, lalu memahami secara bijak hikmah di balik ajaran yang dibencinya itu. Karena dalam sepanjang lintasan sejarah, kita akan bisa menemukan istilah-istilah berbau agama hampir di semua tempat di seluruh dunia. Istilah berbau agama ini bisa kita temukan pada nama tempat, nama manusia, nama makanan, nama upacara dan tradisi, dan banyak lagi.
Nama-nama tempat dan manusia di Eropa dan Amerika sampai hari ini masih banyak yang berbau agama. Di Prancis, negeri yang terkenal dengan kebijakan anti Islam-nya, nama-nama kota dan tempat masih berbau Katolik. Ada kota bernama Saint Etienne, dan di pinggir kota Paris, ada kawasan namanya Saint-Denis. Kata “saint” berarti orang suci atau dalam Bahasa Indonesia kita mengenalnya sebagai Santo dan Santa, istilah yang sangat berbau agama Katolik.
Nama-nama orang Prancis juga masih sangat kental berbau agama Kristen. Filsuf eksistensialis ateis terkenal, Jean-Paul Sartre, dalam namanya terkandung dua tokoh penting agama Katolik, yaitu Jean (John, Johannes, Yahya) dan Paul (Paulus). Pada nama intelektual besar Michel Foucault terdapat nama malaikat Mikail (Michael) yang jelas sangat Katolik dan Kristen. Pada nama sosiolog dan filsuf Pierre Bourdieu terdapat nama salah satu dari 12 murid Yesus, yaitu Pierre (Peter).
Nama-nama tempat dan manusia di Spanyol, Italia dan Portugal yang mayoritas Katolik sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Katolik. Di Rusia, yang mayoritas memeluk agama Kristen Ortodoks juga sama. Salah satu kota besar dan terpenting Rusia bernama Sankt-Peterburg (Saint Petersburg).
Nama-nama tempat di Amerika masih banyak sekali berbau Katolik. Kita akan menemukan nama-nama Saint Louis, Santa Fe, San Diego, Santa Barbara, dan San Francisco. Nama-nama orang Amerika pun masih sangat kental berbau Kristen. Pada nama Presiden Abraham Lincoln terdapat nama salah satu nabi Kristen, yaitu Nabi Abraham (Ibrahim). Pada nama salah satu founding father Amerika Benjamin Franklin terdapat nama salah satu nama anak Nabi Ya’kub (Jacob) yaitu Benjamin (Bunyamin).
Amerika Latin yang mayoritas Katolik karena pernah dijajah oleh Spanyol dan Portugis lebih-lebih lagi. Hampir semua bidang dan nama terkait dengan agama Katolik. Ada negara bernama El Salvador yang berarti “juru selamat” (the savior) yang diatributkan ke Yesus Kristus. Kota terbesar dan terpadat Brazil bernama São Paulo (Santo Paulus), nama yang dipercayai sebagai rasul dan murid Yesus.
Di Bangkok, Thailand, ada taman kota bernama Lumpini Park. Kata ini besar kemungkinan berasal dari kata Lumbini yang merupakan tempat kelahiran Buddha Gautama. Kata ini sangat terkenal dalam ajaran agama Buddha yang bahkan bisa ditemukan sampai Hyderabad, India dan Sumatra Utara, juga dijadikan nama taman. Nama bandar udara Suvarnabhumi di Bangkok diambil dari teks agama Buddha yang berarti “negeri emas”.
Lebih dua tahun tinggal di kota kecil Athens di Ohio, AS, saya menyaksikan sendiri warga masih banyak yang pergi ke gereja. Suatu ketika ada orang di jalan memberikan khotbah agama Kristen yang anti aborsi. Pasca tragedi 911, dua bulan kemudian yaitu bulan November 2001 saya berada di “ground zero” di kota New York. Dari lokasi gedung WTC yang sudah rata dengan tanah sampai ke Wall Street menuju ke Battery Park, saya menyaksikan sendiri banyak orang berpidato, berkhotbah, dan mengajak kembali ke Tuhan.
Sudah jadi pemandangan umum di New York orang-orang Yahudi berjenggot panjang, mengenakan kippah, dan atribut Yahudi lainnya berjalan di jalan raya. Pastor Katolik juga sama, mereka juga masih mengenakan baju kepastorannya bahkan setelah keluar dari gereja. Tidak ada warga Amerika berkomentar negatif terhadap pemandangan unik ini. Mereka menganggapnya manifestasi biasa saja dari “e pluribus unum” atau bhinneka tunggal ika.
Pertanyaannya, apakah orang-orang yang menunjukkan identitas keagamaannya secara spontan ini bisa disebut mabuk agama? Apakah negara-negara yang masih menggunakan nama-nama dari kitab suci sebagai ciri kebudayaan dan identitas bisa disebut sudah diracuni oleh kitab suci mereka?
Karena budaya diturunkan dari satu generasi ke generasi sambung-menyambung sehingga nilai-nilai penting dan ciri khasnya tetap utuh, maka mengubah satu nilai atau kebiasaan bukanlah perkara gampang dan sederhana. Suatu tradisi akan dipertahankan bila dianggap masih mengandung relevansi dengan semangat zaman kekinian. Itulah sebabnya kebiasaan yang sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun akan tetap bisa ditemukan wujudnya.
Suatu kebiasaan umum saja akan susah dihilangkan, apa lagi bila berhubungan dengan nilai-nilai agama yang dianggap sakral dan berasal dari Tuhan. Inilah yang menjelaskan mengapa nama-nama dan kebiasaan yang kental sekali bernuansa keagamaan masih dipertahankan. Meskipun, misalnya, di suatu masyarakat ajaran agama tersebut sudah tidak lagi dijalankan.
Contohnya, meskipun banyak sekali orang Belanda jadi ateis dan tidak lagi beribadah ke gereja, namun ritual hari Natal tetap dirayakan. Mungkin mereka sudah tidak lagi menjiwai perayaan Natal sebagai tradisi keagamaan yang mengandung ritual dan pemujaan ke Tuhan, tetapi hanya sebatas sebagai tradisi yang berulang dari tahun ke tahun.
Sedangkal apa pun proses penghayatan dan penjiwaan warga masyarakat tersebut, namun kegiatan kasat matalah yang paling diingat dan mempunyai pengaruh ke masyarakat luas. Kita akan menemukan hampir di setiap rumah dan tempat-tempat umum seperti stasiun kereta api dan pusat perbelanjaan ada pohon Natal yang dihias lampu.
Pertanyaan tadi kembali kita ajukan, apakah kaum ateis yang nama dirinya berasal dari kitab suci dan merayakan Natal ini sebagai mabuk agama?
Kalau dijawab ya, maka jelas si penjawab tidak mengerti proses budaya yang sedang berlangsung. Tetapi kalau dijawab tidak, maka kelompok agama lainnya, termasuk kaum muslimin di Indonesia, juga tidak bisa disebut mabuk agama. Orang ateis yang merayakan “ritual” keagamaan saja tidak bisa disebut mabuk agama, apa lagi orang-orang Islam yang secara sadar dan mengerti apa yang mereka lakukan.
Negara Pancasila ini terlalu indah untuk dirusak oleh kelompok pembenci agama yang entah menamakan diri kaum ateis, liberal, atau sekuler. Orang Islam yang mendalami agama dan menjalankan agamanya dengan baik pasti tidak akan nyolek-nyolek kepercayaan orang lain karena itu dilarang dalam Islam. Lakum diinukum waliyadiin (bagimu agamamu, bagiku agamaku), begitu kitab suci al-Qur’an mengajarkan.
Para pendiri bangsa memiliki visi yang jauh ke depan, memimpikan sebuah negara yang akan diisi oleh manusia dari berbagai macam latar belakang. Kemajemukan adalah hukum alam dan pasti akan menjadi ciri negara modern seperti Indonesia. Atas dasar inilah maka mereka merumuskan Pancasila sebagai dasar negara, dan menempatkan aspek ketuhanan atau agama sebagai sila pertama atau yang terpenting.
Hanya dengan berketuhanan atau dengan memiliki landasan agama, baru kemudian orang bisa mempunyai kemanusiaan yang adil dan beradab, dan seterusnya sampai sila kelima. Kita harus akui bahwa para pendiri bangsa adalah orang-orang yang sangat visioner, bisa melihat bangsa ini akan menjadi seperti apa di masa depan.
Jadi tidak ada yang mabuk agama, mereka, saudara sebangsa kita itu, hanyalah menjalankan agamanya dengan benar. Kalaupun mereka memang mabuk agama, jelas itu lebih baik daripada mabuk miras dan narkoba. Lebih baik daripada mabuk kebiasaan korupsi dan perbuatan-perbuatan terkutuk lainnya.
Buni Yani
kbaNews.com